Kamis, 12 Maret 2009

MENUJU GURU PENDIDIKAN JASMANI YANG PROFESIONAL

Oleh:
Wilian Dalton

A. PENDAHULUAN

Apabila kita mengharapkan sebuah pekerjaan dilakukan dengan baik, apakah itu di rumah sakit, di pasar, di kantor, di kampus, atau di sekolah, kita pasti berbicara tentang perlunya perilaku yang profesional. Di dalam arti kata itu terkandung makna bahwa perilaku itu didasarkan atas pengertian yang benar mengenai hal yang harus dilaksanakan, dan pengertian itu dilengkapi dengan kemahiran yang tinggi. Tindakan yang lahir dari gabungan kedua sifat itu, mencerminkan lebih kurang tingkat profesionalisme yang diharapkan dimiliki seseorang.
Apabila pengertian ini kita terapkan di dalam kehidupan secara luas, maka di semua segi kehidupan diperlukan profesionalisme, walaupun kita belum terbiasa mendengar apa arti suami profesional, misalnya. Rupa-rupanya aspek kemahiran yang tinggi itulah yang dimaksud apabila kita berbicara tentang pencopet profesional. Atau pelacur profesional. Bagaimana dengan petinju profesional? Apakah, apabila dia tergolong petinju amatir, ia tidak dapat atau tidak boleh bertinju secara profesional? Bagaimana dengan guru yang profesional? Apa beda guru profesional di Amerika dengan guru di Indonesia? Bagaimana profesionalisme guru di zaman Orde Baru dibandingkan dengan guru Orde Reformasi? Dalam kaitannya dengan pendidikan jasmani, bagaimana pula sosok ideal guru pendidikan jasmani yang profesional?
Guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesional. Tetapi sejauh mana ketentuan ini berlaku umum? Apakah sekolah guru menjamin lulusannya pasti adalah guru yang profesional? Banyak juga lulusan sekolah guru yang memberi kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan guru. Jadi realitas ini tidak sesuai dengan yang seharusnya berlaku. Bahkan, sesekali ada juga orang yang tidak merupakan lulusan sekolah guru, yang kemudian ternyata dapat menjadi guru. Apakah mereka itu berhak menyandang predikat guru profesional ?
Berita dari dunia pendidikan menggetarkan: pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.
Hal menarik, yang dikemukakan oleh Prof Nanang Fatah, yaitu bahwa pada uji kompetensi Matematika, dari 40 pertanyaan rata-rata hanya dua pertanyaan yang diisi dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidangnya (Kompas, 9/12/05). Berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? Memprihatinkan dan mengenaskan. Bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru menjadi profesional?
Menengok kasus diatas, lalu apakah sebaiknya kita tidak usah persyaratkan perlunya seseorang terlebih dahulu bersekolah guru sebelum dapat menjadi guru yang profesional? Bagaimana pula keadaannya apabila tuntutan untuk menjadi guru profesional adalah begitu kuat, tetapi lingkungan dan kondisi kerja sama sekali tidak mendukung? Ataukah kita menggunakan istilah guru profesional hanya dengan harapan agar guru masih mau bekerja mati-matian, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi tanpa segala-galanya! Di dalam kondisi yang setengah mati buruknya? Sunggguh tidak berperikemanusiaan untuk menuntut profesionalisme dari guru, kalau guru sebenarnya sudah tergolong kaum the have nots, di luar dan di dalam habitatnya sebagai guru.
Di kalangan kelompok-kelompok atau organisasi profesional, dokter, pengacara, dan sekarang juga guru, seringkali kita mengenal sebuah sifat lagi yang ditambahkan di dalam persyaratan profesi: kode etik. Kode etik dokter, misalnya, tidak membenarkan anggota-anggotanya menceritakan kian kemari penyakit atau penderitaan seorang pasien, kecuali di dalam hal tertentu yang dikehendaki oleh hukum. Seorang hakim tidak dibenarkan menerima suap dalam keadaan bagaimanapun, seperti juga seorang polisi, petugas penegak hukum. Guru juga begitu: banyak rambu-rambu yang diperkenalkan di dalam kode etik organisasi profesional, yang intinya adalah untuk memastikan agar setiap anggotanya menjunjung tinggi tugas yang diberikan ke- padanya, termasuk menyimpan rahasia jabatan. Tetapi kata orang, pelacuran pun mempunyai kode etik atau rahasia jabatan, yakni tidak mengambil langganan yang sudah menjadi `milik' pelacur lain, dan tidak membongkar identitas pelanggannya. Jadi profesionalisme yang bagaimana yang kita perlukan?

B. PROSES PROFESIONALISASI GURU

Profesionalisme bukanlah sebuah istilah baku. Juga bukan berharga mati. Pro- fesionalisme adalah konsep yang dinamis, berkembang sepanjang masa. Dengan itu kita harus mengerti bahwa adalah tidak mungkin untuk menetapkan standar profesi yang berlaku sepanjang masa, di dalam keadaan yang bagaimanapun. Persyaratan menjadi guru yang baik lima puluh tahun yang lalu, berbeda dari sekarang, dan ada alasan untuk meramalkan bahwa persyaratan itu akan berubah lagi lima puluh tahun dari sekarang. Tetapi janganlah berhitung dalam jarak lima puluh tahun. Terlalu lama. Di setiap saat, profesionalisme berlangsung terus, karena profesionalisme adalah suatu proses dengan ujung atau pucuk terbuka, yang selalu terjadi, dan yang terjadi terus menerus, tidak pernah benar-benar selesai. Artinya, apabila profesionalisasi berjalan terus sebagaimana seharusnya, maka yang kita peroleh adalah hasil yang semakin hari semakin baik, semakin hari semakin lebih profesional.
Tetapi kalau profesionalisasi adalah konsep yang begitu dinamis, bagaimana kita dapat mengamati atau menilai bahwa kita telah sampai pada tahap yang acceptable, dan yang sekaligus improvable? Inilah sisi lain lagi dari masalah profesionalisasi di bidang kependidikan. Profesionalisasi, sebagai sebuah proses, terjadi di dalam sebuah konteks yang riil, bukan di dalam ruang hampa.
Profesionalisasi berkaitan dengan apa yang kita percayai sebagai tujuan yang semestinya kita capai. Dengan serangkaian tujuan yang jelas, kita kemudian dapat mengidentifikasi berbagai indikator keberhasilan. Dan dengan itu akan lebih mudah kita memahami wujud profesionalisme yang dikehendaki. Tetapi profesionalisasi juga berkaitan dengan living realisties yang berpengaruh terhadap keberhasilan kita mendidik tenaga-tenaga profesional; sumber daya manusia, sarana, iklim politik, dan berbagai unsur di dalam ecosystem pendidikan yang harusnya diperhitungkan di dalam mencapai tujuan.
Tidak dapat dinaifkan bahwa memang tidak mudah merumuskan dan menggambarkan profil seorang guru profesional. Apakah mungkin karena itu, maka kita tidak dapat menemukan guru yang memenuhi syarat profesionalisme? Tidak. Bukan karena itu, masih banyak guru yang berhati guru dan berjiwa guru. Masih banyak guru yang hidup dan matinya diberikan kepada tugasnya mendidik anak bangsa. Masih banyak guru yang berpotensi profesional. Tetapi dunia sekeliling guru tidak memahami potensi itu. Dunia sekeliling guru masih terlalu banyak berwatak anti profesionalisme. Watak birokrasi misalnya, masih terlalu kental sebagai watak yang tidak menghormati _ karena tidak memahami _ hakikat profesionalisme.
Dalam arti yang sudah dikemukan yakni, sebagai sebuah proses kontekstual yang selalu menjadi (in the state of becoming) dan terus menjadi, profesionalisasi tidak hanya perlu, tetapi mutlak. Sebenarnya, hampir-hampir menjadi sebuah tautologi, kalau menjadi guru masih dipersyaratkan untuk menjadi profesional. Guru itu sudah sebuah profesi. Sebagai profesi, memang diperlukan berbagai syarat, dan syarat itu tidak sebegitu sukar dipahami, dan dipenuhi, kalau saja setiap orang guru memahami dengan benar apa yang harus dilakukan, mengapa ia harus me-lakukannya dan menyadari bagaimama ia dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya, kemudian ia melakukannya sesuai dengan pertimbangan yang terbaik. Dengan berbuat demikian, ia telah berada di dalam arus pro-ses untuk menjadi seorang profesional, yang menjadi semakin profesional.
Mengajar tugas utama guru adalah proses yang harus berdasarkan penerimaan prinsip perubahan; menerima perubahan yang terjadi di dalam diri anak, dan menerima perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Tanpa perubahan (luar) yang tampak dengan jelas pun, mengajar adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan. Oleh karena itu, mereka yang menerima tugas guru sebagai sebuah tugas pelestarian, telah bertentangan dengan sebuah prinsip dasar profesionalisme di dalam pendidikan. Pendidikan adalah perubahan (walaupun perubahan tidak mesti berarti pendidikan). Lalu apa yang bisa kita lakukan agar profesionalisasi guru ini dapat terwujud?
Peralihan paradigma dari yang terlalu berorientasi ke masa lalu ke paradigma yang berorientasi ke masa depan. Guru dengan karakteristik profesional yang demikian, akan mengajar dengan lebih banyak menggunakan bahasa harapan masa depan, dan bukan bahasa nostalgia masa lalu.
Peralihan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Guru dengan orientasi profesio-nal demikian, akan merangsang anak di- diknya untuk mencari jawaban, untuk meneliti masalah, dan mengembangkan sendiri berbagai informasi baru. Dia tidak secara dogmatis atau indoktriner memaksakan informasi usang yang sudah tidak berharga apa-apa di dalam kehidupan anak didik.
Peralihan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis, guru dengan tingkat profesionalisme yang tinggi antara lain, adalah guru yang mampu menghidupkan alam dan kehidupan demokrasi di dalam situasi mengajar dan belajar sebagai sebuah cara hidup. Tanpa kewaspadaan guru, sangat mudah proses itu menjadi feodalistik dan paternalistik. Guru adalah lambang democracy in action, bukan democracy in words.
Peralihan paradigma pendidikan yang terpusat di satu tangan ke seragam, menjadi paradigma pendidikan yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan anak didik. Di sini, guru bertanggung jawab, lebih masalah sebelumnya, sebagai pengelola proses belajar dan mengajar. Profesionalisme guru yang tinggi, akan menciptakan kemandirian lembaga.
Peralihan paradigma tersebut pasti memakan waktu; jauh lebih mudah membicarakan dari pada merealisasikannya. Sektor pendidikan kita tergolong sebagai sektor yang sangat tidak peka pada tuntutan perubahan. Tetapi, sebagai bagian reformasi, kita tidak dapat menangguhkan terjadinya proses itu berlama-lama karena sudah terdapat banyak petunjuk bahwa salah satu sebab utama keterbelakangan kita di dunia pendidikan sekarang adalah karena pendidikan dikembangkan de-ngan "profesionalisme" yang berdasarkan pa-radigma yang salah. Guru-guru yang diharapkan dari semula lahir sebagai guru dengan paradigma yang benar, perlu dipersiapkan sedini mungkin melalui lembaga atau sistem pendidikan guru, yang memang juga bersifat profesional.

C. SOSOK IDEAL GURU PENDIDIKAN JASMANI YANG PROFESIONAL

Pendidikan jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum. Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang.
Sumbangan nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor). Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan keterampilan. Ada tiga hal penting yang bisa menjadi sumbangan unik dari pendidikan jasmani, yaitu:
1. meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan siswa,
2. meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta
3. meningkatkan pengertian siswa dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.
Adakah pelajaran lain (seperti bahasa, matematika, atau IPS) yang bisa menyumbang kemampuan-kemampuan seperti di atas?

Secara umum, manfaat pendidikan jasmani di sekolah mencakup sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan anak akan gerak
Pendidikan jasmani memang merupakan dunia anak-anak dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Di dalamnya anak-anak dapat belajar sambil bergembira melalui penyaluran hasratnya untuk bergerak. Semakin terpenuhi kebutuhan akan gerak dalam masa-masa pertumbuhannya, kian besar kemaslahatannya bagi kualitas pertumbuhan itu sendiri.
2. Mengenalkan anak pada lingkungan dan potensi dirinya
Pendidikan jasmani adalah waktu untuk ‘berbuat’. Anak-anak akan lebih memilih untuk ‘berbuat’ sesuatu dari pada hanya harus melihat atau mendengarkan orang lain ketika mereka sedang belajar. Suasana kebebasan yang ditawarkan di lapangan atau gedung olahraga sirna karena sekian lama terkurung di antara batas-batas ruang kelas. Keadaan ini benar-benar tidak sesuai dengan dorongan nalurinya.
Dengan bermain dan bergerak anak benar-benar belajar tentang potensinya dan dalam kegiatan ini anak-anak mencoba mengenali lingkungan sekitarnya. Para ahli sepaham bahwa pengalaman ini penting untuk merangsang pertumbuhan intelektual dan hubungan sosialnya dan bahkan perkembangan harga diri yang menjadi dasar kepribadiannya kelak.
3. Menanamkan dasar-dasar keterampilan yang berguna
Peranan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar cukup unik, karena turut mengembangkan dasar-dasar keterampilan yang diperlukan anak untuk menguasai berbagai keterampilan dalam kehidupan di kemudian hari. Menurut para ahli, pola pertumbuhan anak usia sekolah hingga menjelang akil balig atau remaja disebut pola pertumbuhan lambat. Pola ini merupakan kebalikan dari pola pertumbuhan cepat yang dialami anak ketika mereka baru lahir hingga usia 5 tahunan.
4. Menyalurkan energi yang berlebihan
Anak adalah mahluk yang sedang berada dalam masa kelebihan energi. Kelebihan energi ini perlu disalurkan agar tidak menganggu keseimbangan perilaku dan mental anak. Segera setelah kelebihan energi tersalurkan, anak akan memperoleh kembali keseimbangan dirinya, karena setelah istirahat, anak akan kembali memperbaharui dan memulihkan energinya secara optimum.
5. Merupakan proses pendidikan secara serempak baik fisik, mental maupun emosional
Pendidikan jasmani yang benar akan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap pendidikan anak secara keseluruhan. Hasil nyata yang diperoleh dari pendidikan jasmani adalah perkembangan yang lengkap, meliputi aspek fisik, mental, emosi, sosial dan moral. Tidak salah jika para ahli percaya bahwa pendidikan jasmani merupakan wahana yang paling tepat untuk “membentuk manusia seutuhnya”.
Secara sederhana, pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk:
Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas jasmani, perkembangan estetika, dan perkembangan sosial.
Mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk menguasai keterampilan gerak dasar yang akan mendorong partisipasinya dalam aneka aktivitas jasmani.
Memperoleh dan mempertahankan derajat kebugaran jasmani yang optimal untuk melaksanakan tugas sehari-hari secara efisien dan terkendali.
Mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui partisipasi dalam aktivitas jasmani baik secara kelompok maupun perorangan.
Berpartisipasi dalam aktivitas jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang.
Menikmati kesenangan dan keriangan melalui aktivitas jasmani, termasuk permainan olahraga.
Berdasarkan uraian diatas lalu bagaimanakah sosok guru pendidikan yang profesional yang mampu mencapai semua tujuan pendidikan jasmani yang telah ditetapkan? Tentunya guru pendidikan jasmani tersebut adalah seseorang yang telah melewati sebuah proses pendidikan melalui suatu lembaga pendidikan yang profesional pula sehingga tercapai kompetensi yang diharapkan, serta layak dan mampu untuk mengajar. Kompetensi tersebut antara lain:
1. Pengetahuan disiplin keilmuan
1.1. Pengetahuan tentang dimensi filosofis pendidikan jasmani termasuk etika sebagai aturan dan profesi
1.2. Pengetahuan tentang perspektif sejarah pendidikan jasmani
1.3. Pengetahuan tentang anatomi manusia, secara struktur dan fungsinya.
1.4. Pengetahuan tentang aspek kinesiologi dan kinerja fisik manusia
1.5. Pengetahuan fisiologi manusia dan efek dari kinerja latihan.
1.6. Pengetahuan aspek psikologi pada kinerja manusia, termasuk motivasi dan tujuan, kecemasan dan stress, dan persepsi diri.
1.7. Pengetahuan pada aspek sosiologi dalam kinerja diri, termasuk dinamika sosial; etika dan perilaku moral, dan budaya, suku, dan perbedaan jenis kelamin.
1.8. Pengetahuan pada perkembangan gerak, termasuk pematangan dan gerak dasar.
1.9. Pengetahuan tentang belajar gerak, termasuk keterampilan dasar dan kompleks dan hubungan timbal balik di antara domain kognitif, afektif dan psikomotorik.

Pengetahuan dan keterampilan professional
Komponen ini meliputi aspek humanistik dan tingkah laku tentang pendidikan profesi. Penekanan pada suatu hakikat profesi; hakikat pada mengajar pendidikan jasmani. komitmen terhadap keahlian , penelitian dan pelayanan: konteks individual dan budaya untuk belajar dan mengajar gerak manusia. Mempersiapkan lulusan program guru pendidikan jasmani yang akan mununjukkan kompetensinya yaitu:
2.1. Pengetahuan tentang aturan suatu profesi dan hakikat pendidikan jasmani sebagai suatu profesi
2.2. Pengetahuan tentang dampak pendidikan jasmani pada individu dan masyarakat (termasuk orang-orang dengan kebutuhan khusus), berkaitan dengan kualitas hidup, secara individu dan global.
2.3. Pengetahuan tentang peranan pendidikan jasmani di sekolah, termasuk perspektif sejarah dan kekuatan sosial politik
2.4. Pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan filosofis pribadi pada pendidikan jasmani.
2.5. Pengetahuan dan keterampilan untuk mendukung keahlian penelitian (pelanggan dan penelitian), dan pelanggan (bantuan pelanggan, bantuan program, penjelasan kepada sekolah, komunitas, pelayanan kepada profesi.
2.6. Pengetahuan pada aspek budaya pada aktivitas fisik dan olahraga
2.7. Pengetahuan dan keterampilan dalam merancang secara lengkap (komprehensif), kurikulum yang berkembang secara memadai, pada berbagai populasi (termasuk populasi dengan kebutuhan khusus), berdasarkan pada teori kurikulum dan mata pelajaran pendidikan jasmani
2.8. Pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan aspek-aspek pengembangan program pendidikan jasmani (penambahan kedalam kurikulum), termasuk pemeliharaan dan tempat penyimpanannya peralatan.
Pengetahuan dan keterampilan kependidikan
Komponen ini termasuk belajar dan mengajar penerapan teori dan aplikasi professional dari batang tubuh pengetahuan. Penekanan pada perancangan kurikulum, evaluasi belajar dan evaluasi program. Mempersiapkan lulusan program guru pendidikan jasmani yang akan menunjukkan kompetensi (termasuk pengalaman laboratorium dan klinis) dalam:
3.1. Pengetahuan tentang teori belajar pendidikan
3.2. Pengetahuan dan aplikasi teori mengajar efektif
3.3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menerjemahkan kurikulum kedalam kegiatan pembelajaran.
3.4. Pengetahuan dan keterampilan dalam merancang satuan yang sistematik dan pelajaran yang berangkai (termasuk belajar berangkai)
3.5. Pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis gerakan, penilaian kinerja motorik, dan penilaian proses pembelajaran.
3.6 Pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan kelas.
Elemen-elemen pengetahuan yang perlu ada pada seseorang guru untuk melaksanakan pengajarannya menurut Shulman (1987)ialah
a. Ilmu konten (content knowledge) yaitu pengetahuan tentang kandungan subjek bidang yang hendak di ajarkan.
b. Ilmu pedagogi am (general pedagogical knowledge) merujuk kepada pengetahuan tentang kaedah mengajar yang melibatkan semua mata pelajaran dan dalam pelbagai situasi.
c. Ilmu konten pedagogi (pedagogical content knowledge) bermaksud pengetahuan tentang bagaimana cara mengajar sesuatu kandungan atau topik pelajaran kepada sekumpulan murid tertentu dalam konten yang spesifik.
d. Pengetahuan tentang kurikulum (curriculum knowledge) adalah pengetahuan tentang perkembangan kurikulum yang sesuai dan program-program bagi setiap jenjang pencapaian murid.
e. Pengetahuan tentang konteks Pendidikan (knowledge of educational contexs) bermaksud pengetahuan tentang impak dalam konteks mengajar.
f. Pengetahuan terhadap murid dan ciri-ciri murid (knowledge of learners and their characteristics) merujuk kepada pengetahuan tentang pembelajaran seseorang murid yang diaplikasikan dalam mengajar
g. Pengetahuan tentang tujuan pendidikan (knowledge of educational goals) ialah pengetahuan tentang matlamat, tujuan dan struktur sistem pendidikan.
Tentunya dibutuhkan sebuah lembaga profesional yang mampu menciptakan guru-guru pendidikan jasmani yang memiliki standar kompetensi seperti yang telah diuraikan diatas, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pendidik yang profesional yang pada akhirnya akan mewujudkan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya tujuan pendidikan secara keseluruhan.



D. PENUTUP

Akhirnya, kembali kepada persoalan pokok, kita dapat berkesimpulan bahwa memang ternyata begitu banyak yang harus diperhitungkan, baru untuk memulai sebuah proses profesionalisasi tenaga-tenaga kependidikan. Sekarang, pilihan terletak di tangan kita masing-masing. Kalau kita mau mudah saja, dan kalau kita anggap cukup untuk sekedar membuat sebuah perumusan profesionalisasi pendidikan yang dapat berlaku di segala zaman, maka tentu itu pun dapat kita lakukan.
Tetapi kalau itu yang kita lakukan, kita sudah mulai dari awal bertindak anti profesional. Tidak ada sikap dan tindakan anti profesionalisme yang dapat membangun profesionalisme. Paling-paling, kita akan menjadi `profesional' di dalam bertindak anti profesional. Kita tidak menghendaki itu bukan?
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan, dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Memang harus disadari bahwa kondisi guru seperti yang tercermin pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama. Kondisi itulah yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malahan untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu (yang tidak ada manfaatnya sama sekali). Dari itu semua yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu sekaligus pula jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar tak mungkin kerasan dan bangga jadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro Poedjinoegroho. 2006. Guru Profesional, Adakah? www.ditplb.or.id/2006/profil.php?id=66 diakses tanggal 1 maret 2007

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri. No 23 tahun 2006

Universitas Negeri Yogyakarta.2007.Panduan Pengajaran Mikro. Yogyakarta: UPPL UNY

Winarno Surakhmad.2006. Profesionalisme Dunia Pendidikan. http://ppp.upsi.edu.my/ewacana/teras%20pengetahuan.htm diakses tanggal 1 maret 2007

Tidak ada komentar: