Sabtu, 06 Desember 2008

PENILAIAN PENJAS


A. Pendahuluan

Guru tidak dapat bekerja secara efektif jika tidak dapat menilai secara akurat pencapaian siswanya. Menilai secara akurat sangat penting sebab guru tidak dapat membantu siswanya secara efektif jika tidak mengetahui pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai siswanya dan pelajaran apa yang masih menjadi masalah bagi siswanya. Hal yang sama pentingnya adalah guru tidak dapat memperbaiki jika tidak memperoleh indikasi efektifitas dalam mengajar.
Menurut Prof. Dr. Rusli Lutan penilaian (grading) merupakan salah satu bentuk pelaporan umpan balik tentang kemajuan belajar siswa. Penilaian mencakup komponen essensial dalam tujuan pendidikan jasmani. Fungsi penilaian yaitu:
1. Nilai memberi gambaran tentang kemajuan siswa yang bersangkutan baik untuk dirinya sendiri maupun orang tuanya.
2. Nilai dapat membangkitkan motivasi untuk menyempurnakan penampilannya.
3. Nilai merupakan dasar untuk kenaikan kelas maupun tingkat.
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Begitu banyak aspek yang dinilai dalam pendidikan, karena pendidikan jasmani adalah sebuah pelajaran dengan karakteristik yang unik karena menyangkut tiga ranah sekaligus, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik secara bersama-sama. Tentunya dibutuhkan sebuah sistem penilaian yang tepat agar segala prestasi yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran mampu dijabarkan dan disajikan secara gamblang dan sesuai realita dilapangan.
Pendidikan jasmani di SMP berisi berbagai macam materi pembelajaran, salah satunya adalah atletik nomor lempar. Terdapat berbagai model penilaian untuk menentukan nilai siswa. Dalam makalah ini akan disajikan berbagagai macam penilaian tersebut dengan harapan guru mampu memilih model yang sesuai dengan sekolah dan karakteristik siswanya.


B. Penilaian

Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka, deskripsi verbal) analisis, interpretasi informasi untuk membuat keputusan. Sedangkan penilaian kelas sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan & penggunaan informasi oleh guru melalui sejumlah bukti untuk buat keputusan ttg pencapaian hasil belajar.
Menurut Suharsimi (1995) penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk → bersifat kualitatif. Sedang menurut Depag (1992) penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah selanjutnya.
Unsur-unsur penilaian antara lain:
1. Ada proses pengukuran dengan standar yang ada.
2. Ada standar yang dijadikan pembanding.
3. Terjadi proses perbandingan dengan hasil.
4. Ada hasil penilaian yang bersifat kualitatif.
Guru perlu melakukan penilaian untuk:
1. Mengetahui tingkat keberhasilan siswa.
2. Mengetahui kesesuaian materi yang diajarkan.
3. Memberikan informasi kepada orang tua.
4. Memberikan informasi kepada sekolah.
5. Memberikan informasi kepada pihak luar, BP, atau staf pengajar yang lain.
Ciri-ciri penilaian antara lain:
1. Menggunakan acuan patokan/kriteria
2. Penilaian otentik:
- proses penilaian bagian integral dari proses pembelajaran,
- mencerminkan masalah dunia nyata bukan dunia sekolah,
- menggunakan berbagai cara dan kriteria,
- holistik (kognitif, afektif, psikomotor)
Kriteria penilaian kelas antara lain:
• Validitas: hasil penilaian dapat ditafsirkan sebagai apa yang akan dinilai.
• Realibilitas: hasil penilaian ajeg, menggambarkan kemampuan yang sesungguhnya.
• Fokus kompetensi: pencapaian kompetensi yang sesuai kurikulum, materi terkait langsung dengan indikator pencapaian.
• Komprehensif: informasi yang diperoleh cukup untuk buat keputusan.
• Objektif: adil, terencana, berkesinambungan
• Mendidik : penilaian untuk perbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan kualitas belajar
Langkah-langkah untuk menilai siswa yaitu:
• Menyesuaikan materi dengan kompetensi pada kurikulum.
• Alat penilaian sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
• Ketika penilaian berlangsung mempertimbangkan kondisi anak.
• Petunjuk pelaksanaan jelas, menggunakan bahasa yang mudah dipahami
• Kriteria penyekoran jelas
• Gunakan berbagai cara dan alat untuk nilai beragam kompetensi
• Lakukan rangkaian aktivitas penilaian melalui: pemberian tugas, PR, ulangan, pengamatan, dsb.
Sistem penilaian yang bisa digunakan adalah:
1. Unjuk Kerja (Performance) yaitu pengamatan terhadap aktivitas siswa sebagaimana terjadi (unjuk kerja, tingkah laku, interaksi)
2. Penugasan (project) adalah penilaian terhadap suatu tugas (mengandung investigasi) yang harus selesai dalam waktu tertentu
3. Hasil Kerja (Produk) adalah penilaian terhadap kemampuan membuat produk misalnya teknologi atau seni
4. Tertulis, misalnya memilih jawaban: Pilihan ganda, 2 pilihan (B-S; ya-tidak) mensuplai jawaban: Isian atau melengkap Jawaban singkat, uraian
5. Portofolio: : Menekankan penghargaan kepada seluruh pengalaman dan kemajuan siswa baik yang diperagakan disekolah maupun di luar sekolah.Bentuk bisa berupa laporan essai tertulis, maupun pengisian formulir yang tersedia.
6. Penilaian sikap yaitu penilaian berdasarkan pengamatan sehari hari yaitu penilaian terhadap perilaku dan keyakinan siswa terhadap obyek sikap
7. Metode Kesenjangan dalam distribusi. Sebuah distribusi skor tes biasanya ada kesenjangan skor (tak ada skor) beberapa guru menggunakannya untuk menilai siswa.
8. Metode persentase. Misalnya nilai A bila mampu menjawab minimal 90% soal dengan benar.
9. Metode himpunan angka / nilai.Yaitu menjumlahkan angka dari siswa berdasarkan komponen-komponen nilai.
10. Metode kurva normal. Yaitu membuat grading berdasar sistem kurva normal dan memasukkan nilai siswa kedalam tebel tersebut.
11. Penilaian berdasarkan kontrak. Yaitu penilaian berdasarkan kesepakatan guru dan murid.
Pelaporan penilaian pada siswa maupun orang tua dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Tipe-tipe dari pelaporan penilaian antara lain,
1. Deskriptif (kata-kata)
2. Persentase, misalnya 70% dari 100%
3. Nilai dengan skala, misalnya A B C D E atau skala 1-10.
4. Dikotomi, hasil dengan dua kategori penilaian, misalnya lulus dan tidak lulus.
5. Skor sebenarnya yang diperoleh dari test.

Disekolah, terutama di SMP tipe penilaian yang sering digunakan adalah tes unjuk kerja (performance) yaitu pengamatan terhadap aktivitas siswa sebagaimana terjadi dan disajikan dalam bentuk skala, misalnya 1-10. Namun sejalan dengan digunakannya kurikulum KTSP maka penilaian dengan model penilaian kelas pun digunakan. Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dapat dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar yang akan dinilai. Oleh sebab itu, penilaian lebih merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan, dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan belajarnya.
Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum. Penilaian merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.
Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri. Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik tidak dianjurkan untuk dibandingkan dengan peserta didik lainnya, tetapi dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelumnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu untuk mencapai apa yang diharapkan. Prinsip penilaian kelas, dalam melaksanakan penilaian, guru seyogianya:
a. Memandang penilaian dan kegiatan pembelajaran secara terpadu, sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses pembelajaran.
b. Mengembangkan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata.
c. Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin diri.
d. Melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.
e. Mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
f. Mengembangkan dan menyediakan penilaian pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
g. Menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.
h. Melakukan penilaian kelas secara berkesinambungan terhadap semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
i. Mengadakan ulangan harian bila sudah menyelesaikan satu atau beberapa indikator.

C. Kurikulum Pendidikan Jasmani SMP

Berikut adalah standar kompetensi serta kompetensi dasar pendidikan jasmani SMP berdasarkan KTSP untuk kelas VII semester 1.
Kelas VII, Semester 1
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1. Mempraktikkan berbagai teknik dasar permainan dan olahraga, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya

1.1 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan dan olahraga beregu bola besar lanjutan dengan koordinasi yang baik, serta nilai kerjasama, toleransi, percaya diri, keberanian, menghargai lawan, bersedia berbagi tempat dan peralatan**)
1.2 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan dan olahraga beregu bola kecil lanjutan dengan koordinasi yang baik , serta nilai kerjasama, toleransi, percaya diri, keberanian, menghargai lawan, bersedia berbagi tempat dan peralatan **)
1.3 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar atletik serta nilai toleransi, percaya diri, keberanian, menjaga keselamatan diri dan orang lain, bersedia berbagi tempat dan peralatan. **)
1.4 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan olahraga bela diri dengan koordinasi yang baik serta nilai keberanian, kejujuran, menghormati lawan dan percaya diri **)

2. Mempraktikkan latihan kebugaran jasmani , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya

2.1 Mempraktikkan jenis latihan kekuatan dan daya tahan otot serta nilai disiplin dan tanggung jawab
2.2 Mempraktikkan latihan daya tahan jantung dan paru-paru , serta nilai disiplin dan tanggung jawab



3. Mempraktikkan senam dasar dengan teknik dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya

3.1 Mempraktikkan senam dasar dengan bentuk latihan keseimbangan bertumpu pada kaki , serta nilai disiplin, keberanian, dan tanggung jawab
3.2 Mempraktikkan senam dasar dengan bentuk latihan keseimbangan bertumpu selain kaki serta nilai disiplin, keberanian dan tanggung jawab

4 Mempraktikkan senam irama tanpa alat , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya
4.1 Mempraktikkan teknik dasar senam irama tanpa alat, gerak langkah kaki mengikuti irama , serta nilai disiplin, estetika, toleransi dan keluwesan
4.2 Mempraktikkan teknik dasar senam irama tanpa alat, gerak mengayun satu lengan mengikuti irama , serta nilai kedisiplinan, estetika, toleransi dan keluwesan

5. Mempraktikkan sebagian teknik dasar renang gaya dada , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya*)

5.1 Mempraktikkan teknik dasar gerakan kaki renang gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan
5.2 Mempraktikkan teknik dasar gerakan lengan renang gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan
5.3 Mempraktikkan teknik dasar gerakan kaki, gerakan lengan, dan pernapasan gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan

6. Mempraktikkan perkemahan dan dasar-dasar penyelamatan di lingkungan sekolah , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya***)

6.1 Mempraktikkan pemilihan tempat yang tepat untuk mendirikan tenda perkemahan, mempraktikkan teknik dasar pemasangan tenda untuk perkemahan di lingkungan sekolah secara beregu , serta nilai kerjasama, tanggung jawab dan tenggang rasa

6.2 Mempraktikkan penyelamatan dan P3K terhadap jenis luka ringan serta nilai kerja sama, tanggung jawab dan tenggang rasa

7. Menerapkan budaya hidup sehat
7.1 Memahami pola makan sehat
7.2 Memahami perlunya keseimbangan gizi


Untuk kelas VIII dan IX standar kompetesi dan kompetensi dasar serta hampir sama, namun penekanannya untuk kelas VIII semester I adalah mempraktikkan teknik dasar, kelas VIII semester II adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar. Sedang untuk kelas IX semester I adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar dengan konsisten, untuk kelas IX semester II adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar lanjutan dengan tepat dan lancar. Untuk atletik nomor lempar, cabang yang bisa diberikan antara lain,
1. Lempar cakram.
2. Lempar lembing.
3. Tolak peluru.
4. Tolak martil ( Jarang dilakukan dalam pembelajaran disekolah, bisa diberikan jika sarana dan prasarananya mendukung.)

D. Sistem Penilaian Atletik Cabang Lempar
Penilaian untuk nomor lempar biasanya berdasarkan jarak lemparan serta teknik siswa saja, namun di dalam pembelajaran penjas, tentunya ada beberapa hal lain yang menjadi komponen penilaian, antara lain kognitif dan afektif siswa. Hal tersebut bisa dilihat dari kehadiran siswa, perilakunya saat pelajaran, keaktivan saat diskusi, dll.
Apabila cabang yang dinilai hanya satu cabang, maka penilaian yang lazim digunakan adalah sistem skala 1 sampai dengan 10. Sebelumnya ditentukan dahulu standar nilai untuk murid (nilai yang didapatkan siswa apabila melakukan unjuk kerja dalam level tertentu) Patokan tersebut harus diberitahukan pada murid. Misalnya untuk tolak peluru, nilai 8 didapat apabila mampu menolak sejauh 4 meter sampai 4,5 meter, nilai 9 jika mampu menolak sejauh 4,5 meter sampai dengan 5 meter, nilai 10 bila lebih dari 5 meter.
Bentuk tes yang biasa kita rancang adalah unjuk kerja melakukan lemparan sejauh-jauhnya per individu. Nilai dirangkum berdasarkan jarak yang lemparan siswa serta teknik yang dikuasai siswa ( berdasarkan pengamatan). Nilai kemudian dijumlah dan dijadikan satu hasilnya merupakan nilai aspek psikomotorik.
Penilaian diatas hanya mempedulikan kemampuan melempar siswa, padahal penilaian juga harus memperhatikan ranah kognitif dan afektif siswa. Lalu cara apa yang bisa kita gunakan agar nilai kognitif, afektif dan psikomotorik dapat teramgkum dalam satu nilai? Cara yang bisa gunakan adalah dengan melakukan rangkuman nilai kognitif dan afektif (bisa pula dilakukan tes) lalu digabungkan dengan nilai tes malempar. Bila nilai kasar telah disusun dalam tabel distribusi, rumus statistika yang bisa digunakan untuk mengolah data adalah standar score. Namun sebelumnya kita harus mencari standar deviasi terlebih dahulu, yaitu dengan rumus:
Setelah mendapatkan standar deviasi, langkah selanjutnya adalah mencari angka standar, dengan rumus:


Z = Angka standar (nilai siswa)
X = Angka kasar siswa
M = Mean distribusi
SD = Standar deviasi
Bila telah didapatkan Z selanjutnya nilai Z masing-masing siswa dijumlah. Nilai tertinggi adalah yang terbaik. Nilai kemudian diranking dan dimasukkan tabel kurva normal, selanjutnya tentukan nilai siswa tergantung tabel tersebut. Nilai tersebut adalah nilai kumulatif dari tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dan diharapkan mampu mengakomodasi ketiga ranah tersebut.



E. Teknik Penyajian Data
Setelah mendapat nilai dari siswa keseluruhan, data dapat disajikan dalam beberapa cara antara lain:
F. PENUTUP
Demikian makalah tentang penilaian pendidikan jasmani disekolah, khususnya atletik nomor lempar, semoga dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Pendidikan jasmani adalah pelajaran dengan karakteristik unik dan rumit karena melibatkan ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik secara bersama-sama. Tak ada sebuah sistem penilaian yang benar-benar tepat mampu menilai semua materi pelajaran. Hendaknya guru pendidikan jasmani mampu memilih sebuah sistem penilaian yang tepat berdasarkan materi pelajaran, kondisi sekolah, maupun karakteristik siswa, agar segala prestasi yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran mampu dijabarkan dan disajikan secara gamblang, obyektif dan sesuai realita dilapangan.


DAFTAR PUSTAKA

Hari A. Rahman. (2007). Diktat Kuliah Statistika. Yogyakarta: FIK UNY

Nitro. (2007). Penilaian Pendidikan Jasmani Tentang Senam. Yogyakarta: FIK UNY

Peraturan Menteri no.22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Rusli Lutan. (2000). Pengukuran dan Evaluasi Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. (2006). Sistem Penilaian. http://jip.pdkjateng.go.id/Data/PEDOMAN-KHUSUS%2
Diakses tanggal 14 mei 2007

Minggu, 16 November 2008

Pendidikan Jasmani: Mau Dibawa ke Mana?

SUDAH bukan rahasia bahwa kelemahan program penjas di Indonesia selama ini adalah masih mengakar pada kuatnya paradigma keolahragaan di sekolah. Guru-guru penjas kurang memahami perbedaan filosofis antara pendidikan jasmani dan pendidikan olahraga, sejak kedua istilah itu dipertukarkan pada kurikulum tahun 1984. Para guru menganggap bahwa perubahan nama sekadar perubahan trend. Padahal, muatan filosofis dari keduanya sungguh jauh berbeda sehingga arah tujuannya pun berbeda pula.
Pendidikan jasmani berarti program pendidikan melalui gerak, permainan, dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah sebagai alat untuk mendidik dan meningkatkan keterampilan: keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan memecahkan masalah, termasuk keterampilan emosional dan sosial.
Oleh karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga lebih penting daripada hasilnya. Bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya harus menjadi pertimbangan utama.
Di seberang yang lain, pendidikan olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabang-cabang olahraga. Kepada murid diperkenalkan berbagai cabang olahraga agar mereka menguasainya. Yang ditekankan adalah "hasil" dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai.
Dalam perbedaan nuansa di atas, yang terasa nyata adalah pendidikan olahraga memiliki premis yang berbeda dengan pendidikan jasmani. Penjas bersifat inklusif dan melibatkan semua anak dalam seluruh adegan pembelajaran. Dalam pendidikan olahraga-karena orientasinya ditekankan pada keterampilan formal dari cabang olahraganya-proses pembelajaran lebih bercorak eksklusif dengan hanya memberi tempat kepada yang berbakat, serta menyisihkan yang tidak berminat dan kurang mampu.
DENGAN kesadaran di atas, para penyusun kurikulum penjas berbasis kompetensi telah merumuskan berbagai langkah yang berpeluang mampu memperbaiki kelemahan program penjas. Di antaranya dengan menetapkan berbagai kompetensi dasar bagi setiap kelompok umur siswa, dan melepaskan kewajiban guru penjas dari hanya memenuhi tuntutan GBPP dan target, seperti selama ini terjadi. Dengan demikian, guru dapat mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan program yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolahnya.
Sinyalemen bahwa kurikulum penjas selama ini masih terlalu berorientasi pada aspek teoritis juga tidaklah benar. Yang benar adalah, program evaluasi penjas seolah bisa diwakili oleh pengukuran aspek teoritis sehingga tidak melihat perkembangan yang terjadi dalam aspek motorik dan kebugaran jasmaninya. Namun, masalah terakhir tersebut sudah diatasi dengan dikeluarkannya suplemen kurikulum penyempurnaan, yang mengharuskan penilaian keberhasilan program penjas dilaksanakan secara lengkap, mencakup aspek kognitif, kebugaran jasmani, serta keterampilan gerak olahraga.
Dengan demikian, permasalahan mutu program penjas, seperti yang dikemukakan sebagai dasar pembentukan KNPJO, sudah tidak aktual dan kontekstual lagi. Jika pun tugas KNPJO masih dilanjutkan, hendaknya mereka berkonsentrasi pada peningkatan kualitas program ekstrakurikuler, yang memang lebih sesuai dengan tujuan untuk mencari atlet berbakat. Adapun program penjas sebagai program intrakurikuler, mohon tidak diobrak-abrik lagi dengan alasan memperbaiki mutu penjas. Alih-alih, penjas kita malahan akan semakin tersungkur.
Percayalah, buruknya kualitas prestasi olahraga Indonesia bukan hanya disebabkan oleh rendahnya kualitas program penjas di sekolah, tetapi lebih karena belum dimilikinya "budaya olahraga" secara umum.
(Contributed by: Agus Mahendra MA)

Kamis, 06 November 2008

PENGENALAN RENANG UNTUK PEMULA

OLEH :
WILIAN DALTON



PENGENALAN KOLAM

Anak yang belum pernah berenang, adakalanya untuk mendekat ke kolam saja sudah takut. Diperlukan berbagai upaya agar anak tersebut menjadi tidak takut mendekat ke kolam. Langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah mengajak anak berjalan-jalan mengelilingi kolam, ketika anak telah mengenal lingkungan tersebut, pasti lama kelamaan anak anak menjadi tidak takut.
Upaya lain setelah anak mengenal lingkungan kolam adalah mengajak anak masuk air, bisa dimulai dengan mengajak anak berdiri di tepi kolam dan memasukkan kakinya ke dalam kolam. Bisa pula dicoba anak diberi percikan air agar anak mengenal suhu air. Selanjutnya anak dicoba turun ke kolam lewat anak tangga, dan satu tangga lagi, begitu terus hingga seluruh badan anak masuk ke kolam.
Usahakan agar anak didik dipaksakan masuk air, karena trauma akibat dipaksa masuk air, akan berdampak secara psikologis sehingga anak akan semakin takut masuk air, akibat secara psikologis ini biasanya sulit dihilangkan.
Anak juga bisa diajak berbincang-bincang dan membicarakan tentang nikmatnya berenang, dan hal-hal yang mengasyikan tentang air. Hal tersebut diharapkan mampu memberikan motivasi secara intrinsik, sehingga anak dengan secara sukarela ingin mencoba masuk air, dan ingin berlatih renang yang baik dan benar.
Hal lain yang perlu diberikan ketika mengenalkan kolam adalah memberitahukan aturan-aturan yang ada di kolam misalnya dilarang membuang sampah sembarangan, dilarang meludah dan kencing di kolam, dilarang berlari-lari di sekitar kolam karena licin, serta kewajiban mengenakan pakaian renang ketika berenang. Hal tersebut tentunya akan memberikan pengetahuan, sehingga aturan-aturan itu akan selalu diingat dan dilakukan sepanjang anak tersebut berada di kolam.



PENGENALAN AIR

Anak yang pertama kali berlatih renang, haruslah terlebih dahulu dikenalkan dengan sifat-sifat air. Ketika anak telah mengetahui sifat-sifat air, tentulah perasaan takut akan air akan hilang dan kepercayaan diri akan tumbuh.
Pengenalan sifat air dapat dilakukan secara sadar, secara tidak sadar, dengan alat maupun tanpa menggunakan alat. Cara yang paling lazim digunakan adalah dengan permainan, karena dengan permainan kita dapat mengenalkan sifat air dengan mudah, yaitu dingin, basah, tahanan depan oleh air, tekanan ke atas dan tekanan pada telinga, mata dan hidung.
Contoh permainan yang bisa digunakan dalam pengenalan air antara lain:
1. Permainan lari
a. Lomba lari dari ujung ke ujung
b. Lomba lari dengan menggendong
c. Lari dengan rintangan
d. Lari beregu dengan atau tanpa rintangan
2. Permainan mengatuk (tikipelen)
a. Kejar mengejar biasa
Mengejar anak dengan ketentuan yang boleh dikatuk kepalanya saja atau punggungnya saja.
b. Menyeberang ke salah satu tepi, pengatuk diletakkan di tengah
c. Permainan kucing tikus
Anak membuat lingkaran, dengan berpegangan tangan, kucing dan tikus berkejaran di dalamnya.
3. Permainan dengan bola
a. Berburu macam
Siswa memburu macam dengan cara menembaknya dengan bola
b. Polo air sederhana
4. Permainan mengadu
Misalnya masing-masing siswa bertanding menjatuhkan rekannya.
5. Permainan menyelam
Misalnya siswa diharuskan menyelam di antara kedua tungkai rekannya.
PEMBELAJARAN RENANG GAYA CRAWL

A. Gerakan Lengan
Gerakan lengan merupakan faktor utama dalam melakukan renang gaya crawl. Gerakan maju perenang gaya crawl, lebih banyak ditentukan oleh pukulan lengan daripada pukulan kakinya. Karenanya teknik yang benar, akan sangat membantu perenang dalam bergerak ke depan.
Untuk mengajarkan gerakan lengan, dapat dimulai dengan melakukan demonstrasi di darat, agar murid tahu gerakan keseluruhan dengan benar. Selanjutnya siswa disuruh menirukan dengan cara membagi-bagi gerakan perfase dengan hitungan. Bisa dimulai dari hitungan 1-5 selanjutnya dikurangi 1-4, kemudian 1-3 dan 1-2. Selanjutnya setelah mendapatkan aba-aba, anak-anak melakukan 1 gerakan utuh lewat satu hitungan. Hal ini dilakukan agar anak dapat meniru gerakan dengan mudah namun gerakan tidak terpatah-patah seperti robot.
Teknik lengan gaya crawl dibagi menjadi tiga fase yaitu:
1. Fase menarik
- Masuknya tangan ke air
- Masuknya ujung jari tangan
Tangan diruncingkan sehingga telapak tangan menghadap ke arah luar diagonal. Jika masuk air, tangan tetap mendatar dalam posisi horisontal, hal tersebut tidak efisien. Posisi yang tepat telapak tangan membentuk sudut kira-kira 450.
- Tarikan di bawah air
Banyak variasi tarikan, namun yang lazim perenang menggunakan pola S (gerakan S di bawah badan).
- Permulaan tarikan lengan
Ketika salah satu lengan dan tangan sama sekali telah berada di bawah air, telapak tangan diputar dari posisi diagonal dengan putaran lengan ke bawah.

- Lamanya tarikan siku bengkok
Ketika lengan ke belakang, dalam membengkokkan siku sampai mencapai bengkok maksimum dimana tangan repat di bawah badan dan lengan atas pada sudut 900 dengan badan.
2. Fase mendorong
Dimulai ketika lengan atas pada sudut 900 dengan badan dan tangan di bawah badan, selanjutnya dari titik ini ke belakang tangan didorong dengan perluasan siku sampai dorongan berakhir dimana siku hampir mencapai perluasan seluruhnya.
3. Fase istirahat
Dimulai ketika tangan dan lengan masih di bawah air, ketika tangan diangkat, kelingkinglah yang pertama meninggalkan air, tangan keluar dari air seperti pilau membuat tahan sangat kecil.
Ketika siswa telah tau teknik yang benar, selanjutnya siswa disuruh mempraktekkan di air, bisa menggunakan alat bantu misalnya pelampung agar tungkai siswa tetap terangkat ke atas. Suruh siswa bolak balik dari sisi kolam satu ke sisi yang lain.

B. Teknik Pukulan Kaki
Gerakan kaki bertujuan untuk membantu mendorong badan ke depan, disamping juga untuk keseimbangan badan. Ernest W. Maglischo membantu gerakan pukulan kaki menjadi empat yaitu pukulan kaki menyilang, dua pukulan kaki lurus, enam pukulan kaki dan empat pukulan kaki.
Untuk mengajarkan teknik ini, siswa disuruh berjajar di tepi kolam lalu melakukan gerakan yang benar, yaitu tungkai lurus rileks gerakan bersumbu pada ujung tungkai bukan di dengkul/lutut.
Setelah siswa mampu kemudian siswa disuruh mempraktekkannya di kolam dengan bantuan pelampung untuk menahan badan bagian atas agar tidak turun. Lakukan gerakan bolak balik dari satu sisi kolam ke sisi yang lain. Lakukan koreksi, pastikan gerakan yang dilakukan siswa benar.

C. Gerakan Keseluruhan
Setelah siswa menguasai gerakan lengan dan tungkai secara benar, langkah selanjutnya adalah mengajarkan gerakan secara keseluruhan. Disamping juga harus mengajarkan cara menggulingkan badan dan mengambil nafas serta posisi badan yang benar.
1. Teknik menggulingkan badan
Perenang gaya crawl artinya memutas badannya di sekitar sumbu membujur, 450 untuk tiap sisi mengguling merupakan reaksi wajar dan merupakan bagian dari gaya.
2. Teknik bernafas
Saat mengeluarkan nafas, pandangan 450 ke depan pada sudut 450 ke dalam kolam. Saat mengambil tindakan memutar kepala dikoordinasikan dengan mengguling badan. Telinga menyentuh lengan.
3. Posisi badan
Posisi yang tepat adalah streamline (rata-rata air) horisontal yang baik dan dalam garis arah samping.
Siswa disuruh melakukan gerakan keseluruhan berbolak balik, guru mengoreksi apablila ada gerakan yang kurang tepat dari siswa.

D. Kesalahan Umum Renang Gaya Crawl
1. Ambil nafas terlalu dini
2. Terlambat ambil nafas
3. Kaki perenang kurang rileks
4. Sikap tubuh yang meliuk-liuk
5. Menarik dengan siku terlalu lurus
6. Jalannya istirahat dengan lebar
7. Pernafasan ke belakang
8. Lengan berhenti istirahat/lambat
9. Tahap torongan berhenti terlalu lambat
10. Tahap torongan berhenti terlalu awal
11. Jangkauan berlebihan untuk masuknya jari-jari
12. Tendangan dengan ujung jari kaki.
METODE MENGAJAR RENANG GAYA DADA

Renang gaya dada masih sering dijadikan gaya permulaan. Hal ini dikarenakan gaya ini terasa lebih mudah bila dibanding renang gaya rimau ataupun gaya kupu-kupu. Renang gaya dada memiliki corak dan selera sendiri, untuk mengetahui kekhususan gaya dada ini, maka perlu diajarkan kepada siswa gaya tersebut. Berikut urutan langkah mengajar gaya dada:
- Langkah kesatu : mengajar gerakan meluncur
- Langkah kedua : mengajar gerakan kaki
- Langkah ketiga : mengajar rangkaian gerakan meluncur, gerakan kaki
- Langkah keempat : mengajar gerakan lengan
- Langkah kelima : mengajar rangkaian gerakan meluncur, gerakan kaki dan gerakan lengan
- Langkah keenam : mengajar gerakan pernafasan
- Langkah ketujuh : mengajarkan rangkaian gerakan meluncur, gerakan kaki, gerakan lengan dan gerakan pernafasan.
Gerakan ke depan renang gaya dada sangat dipengaruhi oleh benar tidaknya teknik gerakan tungkai. Kesalahan teknik akan menyebabkan luncuran ke depan tidak lancar atau tidak lacu, hal ini terutama diakibatkan tolakan tidak menggunakan telapak kaki tetapi punggung kaki.
Urutan langkah-langkah renang gaya dada pada gerakan tungkai biasanya menggunakan enam hitungan, lalu dikurangi menjadi lima, empat, dan tiga. Dengan enam bilangan (sikap mula tertelungkup, kaki rapat lurus)
- Satu → menarik kaki dengan cara menekuk lutut, kedua kaki relatif rapat
- Dua → membuka telapak kaki ke arah samping, eforotation tumit tetap rapat
- Tiga → membuka betis ke arah samping abductio pada betis, lutut tetap rapat
- Empat → membuka paha ke samping (abdution paha)
- Lima → meluruskan kedua kaki dengan merapatkan (cepat dan bertenaga)
- Enam → kedua kaki tetap rapat dan lurus


Dengan lima bilangan
(sikap permulaan badan tertelungkup, kedua kaki rapat, lurus)
- Satu → menarik kedua kaki dengan menekuk lutut, kedua kaki relative rapat
- Dua → membuka kedua telapak kaki ke arah samping, exoration, tumit tetap rapat.
- Tiga → membuka telapak kaki, yang disusul dengan membuka kedua betis ke arah samping luar
- Empat → merapatkan sambil meluruskan kedua kaki (cepat, kuat)
- Lima → kedua kaki lurus dan rapat
Dengan empat bilangan
- Satu → menarik kaki dengan menekuk lutut, kedua kaki relative rapat
- Dua → membuka kedua telapak kaki yang sesuai dengan membuka betis dan disusul membuka paha ke arah samping
- Tiga → merapatkan sambil meluruskan kedua kaki dilakukan dengan cepat dan kuat.
- Empat → kedua kaki tetap rapat dan lurus
Dengan tiga bilangan
- Satu → menarik kaki dengan menekuk lutut
- Dua → membuka telapak kaki dengan membuka betis dan disusul membuka paha ke samping, disusul lagi meluruskan sambil merapatkan keduabelah kaki dengan cepat dan kuat.
- Tiga → kedua kaki rapat dan lurus agar luncuran menjadi lancar.









METODE MENGAJAR RENANG GAYA PUNGGUNG

Renang gaya punggung ditempatkan pada gaya kedua setelah gaya rimau. Hal ini dibuktikan dengan cepatnya anak dapat melakukan renang gaya punggung setelah didahului belajar renang gaya rimau terutama masalah gerakan kaki, tidak banyak perbedaan.
Renang gaya punggung juga bisa dijadikan renang permulaan, banyak anak yang bertempat tinggal di tepi sungai dapat berenang gaya punggung. Jika renang gaya punggung dijadikan permulaan, maka urutannya adalah sebagai berikut:
- Langkah kesatu : mengajar mengapung telentang aktif, bukan meluncur telentang. Kata aktif mempunyai arti keadaan telentang itu sebagai hasil dari hasil gerakan berjalan mundur di kolam dangkal, yang makin lama makin condong ke belakang, dan dibantu oleh gerakan lengan yang bebas bergerak disamping pinggang.
- Langkah kedua : mengajar gerakan kaki
- Langkah ketiga : mengajar gerakan mengapung telentang dan gerakan kaki
- Langkah keempat : mengajar gerakan lengan
- Langkah kelima : mengajar rangkaian gerakan mengapung terlentang, gerakan kaki dan gerakan lengan.
Pernafasan tidak jadi masalah dalam gaya ini, karena mulut perenang selalu di atas, sehingga bisa mengambil nafas secara terus menerus. Dianjurkan agar bernafas, dua kali ayunan lengan satu kali ambil nafas. Menghirup udara ketika salah satu lengan di atas air, dan menghembus ketika lengan yang lalu di atas air.
Dianjurkan guru mengajarkan renang gaya punggung crawl bukan renang gaya punggung katak, karena renang gaya punggung katak telah tidak pernah dilakukan oleh perenang-perenang prestasi, dalam arena pertandingan pun renang gaya punggung katak telah tidak dipertandingkan.

Selasa, 20 Mei 2008

DEKONSTRUKSI CITRA ROKOK LEWAT MEDIA DAN OLAHRAGA

Oleh: Wilian Dalton, S. Pd. Jas
Rokok merupakan masalah kesehatan yang sangat serius, namun lebih dari itu, saat ini rokok juga telah berkembang menjadi sebuah patologi sosial yang bersifat laten. Diluar fakta obyektif tentang bahaya rokok, tak dapat dipungkiri rokok adalah barang kesayangan dari berjuta-juta orang di dunia. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan jika rokok telah terkonstruksi secara sosial sebagai bagian dari kebudayaan kita dan terstereotipkan dengan memiliki banyak citra positif.
Rokok bukanlah bagian dari budaya asli bangsa Indonesia. Tanaman tembakau sebagai bahan baku rokok bukanlah merupakan tanaman asli orang Indonesia. Dia dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (Romadhon: 2007). Namun seiring berjalannya waktu, dapatlah dikatakan bahwa rokok adalah kebudayaan asing yang paling sukses melakukan penetrasi dalam kebudayaan Indonesia, dan berkembang menjadi barang wajib yang telah diterima dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat disetiap aktivitas, melintasi umur, status sosial, pekerjaan, agama, dan etnis.
Sejak anak-anak rokok telah tersosialisasikan sebagai kebudayaan orang dewasa dan bersifat eksklusif. Lingkungan keluarga dan masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam memproduksi nilai ini. Dengan melihat orang tua merokok (khusunya ayah atau anggota keluarga laki-laki), dengan sendirinya mereka tersosialisasi bahwa tidak ada yang salah dengan merokok. Orang tua yang merokok memberi kesan bahwa rokok adalah budaya kedewasaan, hanya orang dewasa yang boleh merokok. Akhirnya terciptalah stereotip terhadap rokok bahwa merokok itu maskulin, dewasa, bijaksana, tangguh, dan bagian dari figur seorang pemimpin. Hal tersebut memberi stimulus pada anak-anak atau remaja untuk merokok agar dianggap telah dewasa atau telah memasuki dunia kedewasaan.
Satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Seseorang merokok karena menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Ketika seseorang memasuki suatu lingkungan sosial yang mayoritas merokok, tentu tak ada pilihan lain bagi orang tersebut kecuali ikut menjadi perokok agar bisa diterima dalam lingkungan sosialnya. Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Mu'tadin: 2002).
Tak dapat dipungkiri bahwa rokok adalah industri yang sangat besar. Bagi industri rokok, setiap mulut adalah lahan empuk bagi mereka. Sasaran mereka adalah para pecandu serta tentu saja anak-anak muda dalam masa pertumbuhan. Maka media massa dan ruang publik pun selalu digunakan para kapitalis rokok untuk dapat mensosialisasikan rokok beserta berbagai citra positifnya. Iklan rokok di media terus digencarkan, reklame bertebaran dimana-mana. Sosialisasi lewat media ini terus kita jumpai tiap harinya dan tanpa sadar mampu merubah konsep tentang rokok yang penuh bahaya menjadi sahabat sejati dalam menjalani tiap akivitas. Dauglas Kelner (1996), memberikan elaborasi bahwa budaya media menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Maka sebuah fakta obyektif jika salah satu proyek besar dalam iklan rokok adalah untuk mendekonstruksi citra rokok dan membentuk identitas anggota masyarakat untuk menjadi seorang perokok.
Iklan rokok dalam merepresentasikan produknya memiliki cara yang berbeda dengan produk lain, karena banyak aturan yang mengikat untuk mengiklankan produknya tidak seperti yang diperlakukan untuk produk selain rokok. Alhasil, iklan-iklan rokok tampil dengan citra-citra yang mencerminkan produknya, khalayak sasarannya atau perusahaannya. Ide-ide kreatif yang muncul di baik tekanan-tekanan tersebut ternyata malah membuat iklan-iklan rokok lebih sukses dalam mempengaruhi orang untuk merokok.
Jika kita cermati ada beberapa citra rokok yang coba disosialisasikan. Citra yang paling sering ditampilkan adalah merokok merupakan selera pria jantan dan pemberani. Iklan yang digunakan untuk memperkuat citra ini seringkali menampilkan seorang pria macho yang melakukan berbagai atraksi ekstrem seperti panjat tebing, terjun payung, berkawan dengan binatang buas, dan lain sebagainya. Konsep rokok yang jantan dan pemberani ini mendorong anak muda untuk merokok agar dianggap jantan dan pemberani. Di sisi lain, apabila remaja tidak melakukan kegiatan merokok layaknya anggota kelompok sosial lainnya, ia akan terancam mendapat sanksi sosial, yakni berupa anggapan bahwa remaja tersebut tidak jantan dan penakut.
Ada beberapa citra rokok lain yang ingin disosialisasikan, seperti rokok yang identik dengan dunia glamor dan kelas atas, rokok yang identik dengan dunia seni, rokok yang merupakan simbol kerjasama dan persahabatan, dan lain sebagainya.
Dengan melihat upaya-upaya dekonstruksi citra rokok diatas, maka dengan jelas dapat disimpulkan bahwa media sebagai manifestasi ruang publik yang menampilkan lalu lintas opini atau wacana yang berkembang dalam sebuah masyarakat memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memproduksi pengetahuan atau konstruksi sosial. Melalui iklan rokok yang di ekspose media, sesungguhnya telah terjadi produksi pengetahuan atau budaya. Bahkan bisa dikatakan media cenderung ‘menghegemoni’ ruang kesadaran penontonnya sehingga ‘produksi’ dan ‘reproduksi’ opini itu menjadi ‘pandangan dunia’ yang menceminkan persepsi masyarakat terhadap “dunia luar”. Penonton dalam industri media diposisikan menjadi ‘audiens pasif’ sehingga cenderung menerima produksi pengetahuan secara given. Kesadaran kritis masyarakat atau audiens dimampatkan sedemikian rupa sehingga mereka ‘dijejali’ opini yang sesungguhnya – meminjam bahasa Teori Kritis- tidak bebas nilai. Berdasar argumentasi diatas, maka sesungguhnya dapatlah kita fahami bahwa persoalan rokok adalah merupakan bagian dari konstruksi sosial yang coba dibudayakan di masyarakat.
Jika kita perhatikan lebih cermat ternyata upaya pencitraan identitas rokok tak hanya terbatas lewat media dengan berbagai citra yang dipaparkan diatas. Ada sebuah ruang sosial lain yang terus dimanfaatkan para kapitalis rokok untuk mendekonstruksi citra rokok tanpa kita sadari, dan hal ini jauh lebih berbabahaya, yakni dekonstruksi citra rokok lewat olahraga.
Di Indonesia olahraga dan rokok menikmati hubungan yang sangat mesra. Hal ini tentu merupakan sebuah ironi dimana sejatinya kedua identitas sosial ini memiliki fakta obyektif yang jauh bertentangan. Rokok sebagai barang penuh racun dan berbahaya untuk kesehatan, sedangkan di sisi lain olahraga adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan.
Olahraga sebagai sebuah identitas sosial sungguh memiliki banyak stereotip positif di dalam masyarakat. Di dalam olahraga melekat ungkapan sloganistik yang mengaburkan aspek negatif yang dibawanya. Contohnya, olahraga dianggap mampu membangun karakter bangsa, jiwa sportif dan ksatria, mencegah kenakalan remaja, dan seterusnya, sehingga justru mengabaikan kekerasan suporter, penjarahan, vandalisme, ketidaksetaraan kesempatan, dominasi, dan pelecehan seksual. Selain itu, meskipun cenderung dianggap remeh, kenyataannya olahraga diterima dan dilakukan secara luas oleh masyarakat, melintasi umur, jenis kelamin, agama, dan etnis (Setiawan, 2004).
Identitas olahraga yang begitu positif tentunya merupakan sasaran empuk bagi para kapitalis rokok untuk menjadi sarana promosi sekaligus upaya mendekonstruksi citra negatif rokok. Sasaran utamanya tentu saja mengaburkan citra negatif rokok dengan citra positif yang dimiliki olahraga. Maka bukan suatu hal yang janggal lagi jika rokok menjadi sponsor utama mayoritas kegiatan olahraga di Indonesia. Simak saja, kasta tertinggi sepakbola Indonesia, kedua kompetisinya yakni liga dan copa, semuanya disponsori oleh produk rokok. Begitu pula dengan kompetisi bola voli terbaik di Indonesia, nama brand rokok secara gagah disambungkan dengan kata Proliga sebagai nama resmi kejuaraan tersebut. Belum lagi berbagai cabang bola basket, bulutangkis, balap sepeda, hingga berbagai kejuaraan otomotif.
Proyek raksasa mensponsori berbagai kompetisi olahraga tersebut tentu memiliki sasaran strategis yang sangat jelas, yakni; jika kita membicarakan olahraga, maka kita akan ingat dengan rokok. Hingga sasaran utama yang ingin dicapai adalah terciptanya stereotip bahwa ”merokok itu sehat”.
Dekonstruksi citra rokok lewat olahraga sungguh sangat efektif. Suatu kompetisi olahraga selalu mampu menyedot animo beribu-ribu bahkan jutaan manusia. Terlebih, kompetisi olahraga populer seperti sepakbola ataupun bolavoli selalu di blow up oleh media. Ketika suatu brand rokok menjadi sponsor utama suatu kompetisi, maka jika sebuah media memberitakan tentang pertandingan dalam kompetisi tersebut, mau tak mau media yang bersangkutan juga harus ikut menyebutkan brand rokok yang menjadi sponsor utama. Ini tentu sebuah situasi yang sangat menguntungkan bagi para kapitalis rokok.
Dari fakta-fakta diatas, dapatlah disimpulkan bahwa sosialisasi terbukti secara meyakinkan mampu mempengaruhi eksperimen awal remaja dalam merokok, namun ternyata di sisi lain sosialisasi juga ternyata mampu menghalangi seseorang untuk merokok. Dalam masyarakat Indonesia, rokok terkonstruksi secara sosial sebagai barang yang tabu bagi perempuan. Apabila perempuan merokok, ia terancam mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat. Perempuan yang merokok akan dianggap sebagai perempuan nakal. Bandingkan dengan situasi jika laki-laki yang merokok, secara umum bisa dikatakan tak ada sanksi sosial bagi para laki-laki yang merokok.
Apakah konsep sanksi sosial semacam ini bisa diterapkan pada laki-laki? Jika kita bisa secara kolektif menciptakan sebuah konstruksi sosial dimana seorang laki-laki yang merokok akan mendapatkan sanksi sosial (misalnya pengucilan), bisa jadi konsep sanksi sosial ini akan mampu secara efektif meminimalisasikan budaya merokok di indonesia.
Terakhir, sungguh jika melihat seseorang merokok, janganlah kita langsung menjudge orang tersebut merokok karena secara inheren memang ingin merokok. Namun lebih bijaksana jika kita meihat permasalahan ini secara lebih luas; orang tersebut merokok karena memang sedang terjangkit sebuah patologi sosial yang sedang mewabah saat ini. Tugas kita bersama lah untuk menanggulangi wabah ini.

RESIKO HOME SCHOOLING MENJADI POISONOUS PEDAGOGIES

Oleh: Wilian Dalton S. Pd. Jas

Tiap kali membicarakan tentang wacana home schooling, kita hampir selalu mengawalinya dengan melakukan analisis terhadap kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik. Home schooling kemudian dianggap sebagai jawaban dari merosotnya kualitas sistem pendidikan di Indonesia . Benarkah demikian?
Tulisan ini akan mencoba membahas tentang wacana home schooling dikaitkan dengan kemampuan dan kelayakannya dalam mengembangkan potensi anak. Karena idealnya, pendidikan haruslah di kembangkan melalui interaksi sistemik yang memungkinkan terjadinya transformasi multi nilai (Suyanto: 2008). Institusi pendidikan haruslah mampu menjadi sebuah ruang sosial kompleks, yang memungkinkan untuk membangun individu lengkap, tidak hanya secara kognitif. Namun jauh lebih penting, institusi pendidikan haruslah memiliki dan mensosialisasikan norma yang mengatur berbagai proses dinamika sosial-kultural masyarakat. Disinilah institusi pendidikan berfungsi menjadi medium yang menjembatani relasi komunikasi, dimana terjadi perkawinan kepentingan yang memicu berkembangnya sistem sosial baru di dalam konteks hubungan antar individu.
Sejatinya tujuan utama pendidikan jauh lebih besar daripada hanya sekedar menciptakan individu-individu yang memiliki kapasitas intelektual yang baik. Karena pada kenyataannya, keberhasilan seseorang dalam kehidupan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Individu yang berpotensi sukses adalah individu yang mampu menghadapi berbagai situasi dan masalah sosial kompleks yang tidak terprediksi, individu yang mampu bekerjasama dalam tim, serta individu yang tahu posisi kultural dan strukturalnya di masyarakat. Lebih dari hanya sekedar tingginya nilai IQ orang tersebut, namun keberhasilan juga dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut untuk melakukan konformitas sosial, kemampuan manajerial, dan kemampuan memimpin (leadership). Kontribusi IQ paling banyak sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup, sehingga sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain: sehimpunan faktor yang disebut kecerdasan emosional (Goleman: 1995).
Maka benarlah kiranya jika sekolah formal saja memang tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan jika pendidikan formal tidak lagi dibutuhkan. Pendidikan formal masih menjadi bagian yang integral dalam menciptakan individu-individu yang berkualitas, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Dalam pendidikan formal, siswa akan mengalami proses internalisasi terhadap realitas obyektif yang ada lingkungan sekolah. Jauh lebih penting dari hanya sekedar menguasai materi pembelajaran, namun pendidikan formal menawarkan sebuah pengalaman sosial yang unik, khas dan tak bisa ditemukan di tempat lain. Pengalaman ini terbentuk lewat interaksi, baik antara siswa, guru, maupun warga sekolah lainnya. Interaksi dan sosialisasi akan menciptakan konstruksi sosial yang berpangkal pada keteraturan. Siswa akan belajar berdisiplin, menghormati orang lain, berempati, berlatih berorganisasi, pengembangan kemampuan memimpin (leadership), pengenalan terhadap norma-norma, bahkan pengalaman ketertarikan kepada lawan jenis pun seringkali pertama kali dialami di sekolah. Pengalaman-pengalaman sosial ini menjadi bekal yang sangat berharga bagi siswa untuk mampu memenuhi tantangan kehidupan kelak.
Ketika orang tua memilih mendidik anaknya lewat jalur home schooling, maka anak tersebut tentu tidak akan memiliki pengalaman-pengalaman sosial diatas. Akibatnya, anak akan beresiko menerima efek samping berupa rendahnya keterampilan dan dinamika bersosialisasi. Di sisi lain, bisa jadi anak tersebut memang akan memiliki kapasitas intelektual yang lebih baik daripada anak yang menempuh pendidikan di jalur formal. Namun, apalah artinya kapasitas intelektual yang baik, jika kemampuan tersebut tak bisa diaplikasikan dalam kehidupan yang riil.
Banyak orangtua yang memilih mendidik anaknya lewat jalur home schooling berargumentasi bahwa keamanan dan pergaulan di sekolah formal tidak kondusif bagi perkembangan anak. Namun, jikalaupun argumentasi tersebut benar, hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa pendidikan formal merupakan sistem yang perlu dihindari. Karena memang dalam setiap ruang sosial, seseorang pastilah tidak akan terhindarkan untuk menjumpai berbagai situasi, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Disinilah perlunya pendidikan di dalam keluarga oleh orang tua untuk menutup kekurangan-kekurangan dan memproteksi anak dari situasi negatif yang didapatkan dari sekolah formal. Sekolah formal dan pendidikan di dalam keluarga bukanlah sebuah dikotomi, melainkan sebuah bagian integral yang saling melengkapi.
Akhir-akhir ini home schooling diidentikkan sebagai pendidikan alternatif bagi kaum berada. Bagi artis-artis cilik yang tak sempat sekolah karena manggung dan syuting tiap hari, atau bagi anak-anak pejabat yang takut anaknya terjerumus dalam pergaulan yang salah di sekolah (over protected?). Sungguh realitas ini jauh bertentangan dari cita-cita awal terciptanya home schooling yang dirancang untuk membantu anak-anak kurang mampu, atau untuk mengadaptasi kebutuhan anak dan kondisi keluarga yang memang memerlukan perlakuan khusus.
Pendidikan lewat jalur home schooling telah melenceng dari cita-cita luhur pendidikan. Para pendiri home schooling melihat wacana ini tak lebih dari hanya sekedar sebagai sebuah lahan bisnis yang menggiurkan. Penulis merasa sangat sedih ketika dalam sebuah wawancara di televisi, seorang pemilik usaha home schooling mengatakan ”home schooling adalah lahan bisnis yang sangat bagus, karena pendidikan adalah sebuah kebutuhan”. Sungguh, apakah pendidikan yang dilandasi ideologi kapitalisme seperti ini akan menghasilkan individu-individu yang bermartabat? Ataukah home schooling hanya akan menambah kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia dan berpotensi menjadi poisonous pedagogies bagi tunas-tunas muda penerus bangsa? Jawabannya ada pada anda, para orang tua.


Rabu, 16 April 2008

Krisi Guru Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin

Tiap berpikir ihwal kualifikasi seorang guru, kita sebenarnya sedang berharap seperti itulah kualifikasi minimal yang semestinya dimiliki seorang pemimpin: yakni memiliki standar kognisi (intelektual) dan afeksi (perilaku dan sikap) di atas rata-rata. Guru secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, gur-u', yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati karena kewaskitaannya. Dalam khazanah Jawa Kuno, dikenal sejumlah istilah yang menempel pada kata 'guru': guru desa (kamitua desa yang mumpuni dalam dunia spiritual), guru hyan (guru rohani), guru loka (pejabat agama diistana), dan guru pitara (mendiang nenek moyang yang patut dimuliakan karena kewaskitaannya) .Kata 'gur-u' kemudian bertemu dengan kata 'as', sebuah kata yang dalam bahasa Sanskerta berarti mengajar. Saat itulah kata guru juga bermakna 'mengajar'. Itu juga dengan prasyarat: guru tetap harus memiliki sikap mulia seperti yang dibebankan oleh kata 'gur-u'. Seorang pengajar bisa disebut baik jika murid-muridnya berhasil mendapat nilai bagus di kelas. Namun, seorang guru yang baik selalu dituntut mampu melahirkan manusia-manusia yang baik, bukan sekadar murid yang pintar.Guru dituntut tak hanya mampu "menggarap" kognisi (rasio-logika) , tetapi juga afeksi (rasa, cipta, karsa, dan sikap).Oleh karena itu, dalam sejarah kesadaran kita atau dalam ekspektasi kita, guru mesti memiliki kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaan pelajaran (kognisi), tetapi juga memenuhi prasyarat jika seseorang ingin jadi pemimpin yang baik. Ia harus mampu mengajarkan bagaimana jadi manusia yang baik, mampu memberi teladan bahwa, misalnya, korupsi itu sama saja dengan mencuri lewat contoh langsung dalam laku keseharian hidupnya yang sudah sempit dan serba terbatas. Kualitas itulah yang kita rindukan dari mereka yang diberkahi sebutan pemimpin.Tak ada yang lebih pas untuk merumuskan peran macam itu selain istilah'guru', bukan 'teacher' atau 'lecture'. Itu sebabnya, 'guru' kerap dipanjangkan sebagai "digugu dan ditiru". Jadi, tidak mengherankan jikaperibahasa "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" hanya ada di negeri atau di tempat di mana 'guru' tak hanya dimengerti semata sebagai'teacher'.Itu pula kiranya yang menyebabkan di sini guru (pernah) diposisikan sebagai "manusia suci", semacam resi, yang selain pintar, tetapi punya laku tulus nan asketis. Saya kira inilah yang jadi sebab kenapa kita seperti kurang serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang(pernah) tertanam kesadaran bahwa seorang guru itu hidup sederhana dan tulus (bandingkan risiko jadi guru dengan risiko jadi pemimpin seperti pernah dinyatakan Agoes Salim: "Memimpin adalah juga menderita").Di sini muncul dilema. Kita sepakat, sudah sepantasnya guru punya penghidupan dan penghasilan gaji yang baik. Namun, jika guru sudah punya kehidupan yang layak, taruhlah laiknya pegawai bank, kita khawatir banyak orang ingin jadi guru karena semata tergiur penghasilannya yang memadai, bukan karena panggilan hati menjadi pendidik. Kita khawatir guru dimengerti hanya sebagai profesi, yang tak ada bedanya dengan profesi sekretaris atau arsitek, misalnya. Sejarah sebagai guru kita hanya perlu membaca kembali sejarah Indonesia untuk mengetahui bagaimana peran sosial dan historis para guru dalam proyek besar mencapai kemerdekaan. Para guru di masa pergerakan, terutama mereka yang mengajar di sekolah partikelir, punya peran signifikan.Banyak cerita yang bisa kita dengar ihwal peran guru-guru sekolah partikelir itu. Dari beberapa tulisan Pramoedya, misalnya, seperti dalam novelet Bukan Pasar Malam dan kumpulan cerpen Cerita dari Blora, kita tahu bagaimana aktivitas ayahnya di Sekolah Dasar Boedi Oetomo tidak hanya dalam mengajar murid-muridnya, tetapi juga dalam organisasi pergerakan.Pemerintah kolonial akhirnya menyadari watak subversif sekolah partikelir.Pada September 1932, dilansir Wilden Scholen Ordonantie (Ordonansi SekolahLiar) yang melarang beroperasinya sekolah-sekolah yang didirikan tanpaizin. Apa yang dilakukan ayah Pram bukan kasus unik. Jika membaca riwayat hidup para pemimpin di masa awal lahirnya Indonesia, kita akan menyadari betapa banyak di antara mereka yang ternyata guru, setidaknya pernah menjadi guru.Soekarno, semasa ditahan di Bengkulu, mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran; mulai dari berhitung, bahasa Belanda, hingga sejarah. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir secara intensif dan teratur jadi guru anak-anak di lingkungan rumah tahanan mereka. Keduanya tak hanya memberi pelajaran formal, tetapi juga nonformal, seperti pendidikan politik diam-diam, di antaranya dengan mengecat perahu dengan warna merah-putihdan diajari lagu-lagu perjuangan. Dari kelompok "kiri", Semaoen, Alimin, hingga Tan Malaka juga punyapengalaman sebagai guru. Tan Malaka bahkan pernah menjadi kepala sekolahdi sebuah kawasan perkebunan di Sumatera Timur dan menjadi guru hampir disemua tempat pelariannya di luar negeri. Momen sebagai guru itu bahkan menjadi metanoia, semacam pencerahan yang tuntas, bagi Tan Malaka. Selama mengajar di perkebunan kolonial, TanMalaka menyaksikan bagaimana orang-orang pribumi yang bekerja diperkebunan itu sungguh-sungguh diperlakukan tak selayaknya manusia. Pemahaman sosial itu menyebabkan Tan Malaka menceburkan diri ke duniapergerakan dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan lantas ditugaskan mengelola sekolah partai yang lantas masyhur sebagai "SekolahTan Malaka".Dari militer, Soedirman dan Nasution juga punya pengalaman sama. Jenderal Soedirman selama lebih kurang 5 tahun menjadi kepala sekolah di sebuah SD Muhammadiyah di Cilacap, sebelum bergabung dengan Peta. Nasution pun menjadi guru di Bengkulu (1938) dan di Palembang (1939-1950), sebelum jadi tentara KNIL. Daftar pemimpin Indonesia yang menjadi guru bisa sangat panjang jika satuper satu disebutkan di sini. Sebutlah seperti Ki Hadjar Dewantara, Djuanda, atau Ratulangie (Daniel Dhakidae pernah menulis dengan memikat kualitas guru dalam diri Ratulangie). Dengan intelegensi (kognisi) di atas rata-rata dan sikap hidup (afeksi) yang tulus mengabdi pada cita-citakemerdekaan (yang sering dipantik oleh pengalaman sosial seperti TanMalaka), tak mengherankan jika tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, danTan Malaka dengan mudah bertukar tempat dari seorang guru kemudian jadi pemimpin massa. Jika dalam ruangan mereka mengajar mata pelajaran berhitung, membaca, dan menulis, di lapangan, pergerakan mereka mendidik kesadaran rakyat akan pentingnya kemerdekaan. Dan, murid para guru yang telah bersalin menjadipemimpin itu ada di seantero penduduk Hindia Belanda, dengan ruang kelas sepanjang Sabang-Merauke. Dengan struktur kesadaran macam itu, tak heran jika di Indonesia istilahthe founding fathers dengan mudah dipertukarkan begitu saja dengan istilah"guru bangsa". Jangan heran juga jika George Washington atau ThomasJefferson di Amerika hanya disebut sebagai the founding fathers dan tak pernah disebut "guru bangsa". Karena istilah guru bangsa, sepengetahuan saya, tak tercetak dalam struktur kesadaran bangsa Amerika. Dengan kualifikasi guru seperti yang sudah saya paparkan, setiap guru yangbaik sebenarnya adalah bidan yang bisa melahirkan pemimpin yang baik. Dengan alur pikir macam ini, kita bisa mengajukan pertanyaan lanjutan: jika sekarang kita mengalami krisis kepemimpinan, mungkinkah ini menandakan kita sedang mengalami krisis guru yang baik? Ataukah sedang terjadi transformasi dalam kesadaran kita ihwal arti dan posisi gurumenjadi tak lebih sebagai pengajar?

contributed by: Zen Rachmat Sugito

Minggu, 30 Maret 2008

Nasib: Kisah Selebriti Gagal

Setahun yang lalu, hampir setiap akhir pekan, Muhammad alias IanKasolo (39) tampil di televisi sebagai ”selebriti” yang tampak glamor.Kini, dia terpaksa bekerja serabutan sebagai pengantar makanan disebuah usaha katering rumahan.Ini bukan cerita sinetron, namun sebuah kisah nyata. Ian Kasolo yang dulu sempat menjadi ikon acara kontes menyanyi Dangdut Mania I distasiun TPI bersama Siti Pijat, Ju pri Asong, dan Agus Kenek, kini jauh dari dunia glamor. Hidupnya bisa dibilang terkatung-katung tanpa pekerjaan dan uang.Kini, Ian menumpang di rumah Ucok Koki yang juga peserta Dangdut Mania I. Di rumah ini, dia membantu istri Ucok yang menjalankan usaha katering rumahan. Setiap pukul 05.00, Ian bangun dan membantu memasak. Sekitar pukul 07.00, dia keliling mengantarkan rantang berisi makanan pesanan ke pelanggan. ”Ya, beginilah kegiatan saya. Yang penting saya punya tempat berteduh dan bisa makan,” ujar Ian. Sebelum ditampung dirumah Ucok Koki, Ian sempat menggelandang dan tidak makan dua hari karena tidak mempunyai uang. Bagaimana kehidupan Ian berubah drastis dalam setahun? Semua ini bermula ketika Ian melihat iklan kontes menyanyi yang seolah-olah bisa menyulap siapa saja menjadi artis terkenal dengan cepat. Ian yang merasa punya bakat menyanyi dangdut dan akting memutuskan ikut salahsatu kontes itu. Pilihannya jatuh ke acara Dangdut Mania I. Singkat cerita, bujangan asal Solo, Jawa Tengah, itu lolos audisi dengan menyingkirkan ribuan peserta dan berhak mengikuti kontes diJakarta. Karena mimpi menjadi artis begitu besar, pemuda lulusan SMAini rela meninggalkan pekerjaan tetap sebagai kurir di bank swasta diSolo yang memberinya penghasilan sekitar Rp 1 juta per bulan.Awalnya semua berjalan sesuai mimpi. Di Jakarta, Ian dan 19 pesertaDangdut Mania lainnya diperlakukan layaknya artis. Produser DangdutMania I mengubah nama Muhammad menjadi Ian Kasolo karena wajahnya dianggap mirip vokalis band Radja, Ian Kasela. Penampilannya pun dipermak. Rambutnya dicat kuning acak. Dia juga diberi kostum dan kacamata hitam seperti yang biasa dikenakan Ian Kasela. ”Kami juga diperlakukan seperti raja. Kami tinggal di sebuah vila. Mau makan direstoran mana saja tinggal bilang,” ujar Ian mengenang.Kemewahan semacam itu baru pertama kali Ian rasakan. Pasalnya, kehidupan Ian selama di Solo jauh dari mewah. Dia tinggal berjejalandi sebuah rumah petak berukuran 3 x 4 meter persegi bersama ibu,kakak, dan seorang keponakan. Pengalaman bersentuhan dengan kemewahan itulah yang membuat Ian semakin bertekad untuk menjadi artis terkenal dan dia merasa pintu itu terbuka baginya. ”Bayangkan, setiap kali saya nyanyi, orang- orang memanggil nama saya. Ketika promosi, orang rebutan minta tanda tangan dan foto saya. Saya juga masuk koran,” kata Ian yang terkenal dengan”goyang suster ngesot”. Ian makin berbunga-bunga ketika mendengar isu pemenang Dangdut Mania Iakan dikontrak menjadi artis TPI. ”Saya semakin bertekad memenangi kontes ini. Karena itu, tiap minggu saya ngebom SMS,” katanya.
Ngebom SMS yang dimaksud adalah mengirim SMS sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri agar perolehan suaranya terdongkrak. ”Saya bisa menghabiskan uang Rp 5 juta untuk beli voucher pulsa telepon setiap minggu. Kalau ditotal, selama acara ini saya habis Rp 30 juta,” kataIan yang memperoleh uang sebanyak itu dari pinjaman keluarga dan lintah darat.Hal itu dilakukan juga peserta lain. Ida Nyonya mengaku menghabiskanRp 20 juta untuk ngebom. Hasilnya, nihil. Ian dan Ida akhirnya tereliminasi juga. ”Kalau tahu jadinya begini, saya tidak akan menghabiskan uang jutaan. Sekarang terkenal tidak, terlilit utangiya,” ujar Ian.
Manajer Humas TPI Theresia Ellasari mengatakan, pihaknya telahberkali-kali berpesan kepada peserta kontes menyanyi agar tidak usah berlomba mengirim SMS untuk dirinya sendiri. ”Itu tidak ada gunanya sebab pemenang ditentukan SMS kiriman pemirsa yang jumlahnya jutaan,”katanya.Korban mimpi Harapan menjadi artis terkenal sempat muncul lagi ketika Ian diajak TPI main sinetron, menyanyi pada acara off air dan jadi bintang iklan dengan bayaran Rp 500.000-Rp 1.500.000. Namun, setelah itu masa-masa manis menjadi selebriti benar-benar berakhir. Tidak ada lagi order manggung dari TPI. Setelah itu, Ian kadang ikut manggung di kampung-kampung bersama Ucok Koki atau Pardi Hallo, peserta Dangdut Mania I yang sekarang menjadi penyelenggara konser dangdut kecil-kecilan. Bayaran yang diterima Iansekitar Rp 100.000-Rp 200.000 sekali tampil. Namun, order seperti ini tidak selalu datang tiap minggu.”Saya sempat frustrasi dan mau bunuh diri. Mau pulang ke Solo saya malu karena keluarga dan teman-teman sudah telanjur menganggap saya sebagai artis sukses yang banyak duit,” katanya.Nasib serupa juga dialami Jupriadi alias Jupri Asong dan Ida Nyonya.
Jupri mengaku, setelah menjadi juara II Dangdut Mania I, dia berhenti mengasong. ”Kata teman-teman, saya tidak pantas lagi mengasong sebab saya sudah jadi artis,” ujarnya.
Jupri Asong pun mencoba mengandalkan hidup dengan menyanyi. Namun,undangan menyanyi belum tentu muncul satu bulan sekali dengan bayaran paling besar Rp 500.000. ”Akhirnya, uang hadiah yang jumlahnya sekitarRp 28 juta habis untuk makan keluarga. Sekarang saya benar-benar miskin. Mau ngasong lagi, saya tidak punya modal,” ujar Jupri yang harus menghidupi istri dan tiga anaknya.Kini, Jupri berniat menjual rumah tipe 21 miliknya di Tangerang yang merupakan harta dia satu-satunya saat ini. Uangnya akan digunakan untuk modal berdagang lagi. ”Saya benar-benar kapok ikut acara semacam ini. Saya kira, pemenangnya akan diorbitkan jadi artis.”
Theresia mengatakan, TPI tak pernah berjanji mengorbitkan peserta Dangdut Mania I menjadi artis. ”Kami hanya memberi kesempatan kepada mereka untuk tampil di televisi. Kalau mereka disukai penonton dan kemudian jadi artis, itu adalah bonus,” katanya.
Ya, inilah drama dari sebuah kebudayaan instan yang terus direproduksi televisi melalui kontes menyanyi, idola-idolaan, mama-mamaan, dan juga sinetron. Sebuah kebudayaan yang selalu memberikan mimpi bahwa sukses dan popularitas bisa diperoleh dalam waktu singkat.
Sialnya, karena gempuran mimpi-mimpi itu kian gencar, banyak orang tidak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata. Kisah IanKasolo, Jupri Asong, dan Ida Nyonya hanyalah contoh kecil.

Senin, 24 Maret 2008

Guru Inspiratif

Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui. Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas.
Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.
Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
"Freedom Writers" Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak di masyarakat. Namun tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang
tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected). Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas "bodoh", yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antar geng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan
honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.
Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh. Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak
supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup. Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua
kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antar geng. Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa
mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan.
Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan.
Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang
menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hilary Swank. Keluar dari belenggu Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita kian mengisolasi diri dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu kurikulum. Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar absensi. Dengarlah protes Kazuo Murakami PhD, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang membangun benteng hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak peduli dengan apa yang terjadi di luar. Meski belum menonjol di masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang
tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal. Ada dua masalah yang harus direnungkan. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student's ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif
membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat "Aku ingin jadi seperti dia" atau "Aku bisa lebih hebat lagi".
Kedua,ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Tiap upaya yang dilakukan para guru kreatif untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak bermoral. Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan
Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar "kurikulum".
Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-murid menjadi lebih artikulatif. Murid senang, tidak berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh
guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal. Kata Jagdish N Sheth, orang- orang lama menyangkal realitas baru, mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah belenggu inertia, yang disebutnya destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki. Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan "memanusiawikan" kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.


Contributed by Rhenald Kasali

Selasa, 18 Maret 2008

Konstruksi Sosial, Interpretasi Alternatif dan Kedamaian.

Konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang lain terhadap dunia, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Khun bahwa semesta secara epostimologi merupakan hasil konstruksi sosial.
Pengetahuan/pandangan manusia dibentuk oleh—kemampuan tubuh inderawi dan intelektual—asumsi-asumsi kebudayaan dan bahasa tanpa kita sadari. Bahasa dan ilmu pengetahuan bukanlah cerminan semesta, melainkan bahasa membentuk semesta, bahwa setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek tertentu dari semesta dengan caranya sendiri. Peter Dahlgren mengatakan realitas sosial setidaknya sebagian, adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa.
Peter L. Berger dan Thomas Luckman memperkenalkan konsep konstruksionisme melalui tesisnya tentang konstruksi atas realitas. Teori konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa, realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Masyarakat merupakan produk manusia dan manusia merupakan produk masyarakat. Baik manusia dan masyarakat saling berdialektika diantara keduanya. Masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.
Menurut Berger dan Luckman konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya. Dalam hal ini pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif.
Dalam pemahaman konstruksi Berger, dalam memahami realitas/peristiwa terjadi dalam tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagi moment yaitu, pertama, tahap eksternalisasi yaitu usaha pencurahan diri manusia ke dalam dunia baik mental maupun fisik. Kedua, objektifasi yaitu hasil dari eksternalisasi yang berupa kenyataan objektif fisik ataupun mental. Ketiga, internalisasi, sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam rangka pemahan tentang realitas.
Framing salah satu cara untuk mengetahui sekaligus membuktikan bahwa realitas sesungguhnya merupakan hasil konstruksi (baik konstruksi individu, masyarakat dan media). Dalam pemahaman beberapa ahli, framing adalah cara untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksikan oleh media. Secara praktis framing dapat dipahami sebagai cara bagaimana peristiwa atau realitas disajikan oleh media. Cara penyajian tersebut secara umum memiliki dua dimensi dalam framing. Pertama, seleksi isu. Dalam menyajikan sebuah peristiwa wartawan atau awak media telah melakukan pemilihan terhadap fakta di lapangan, hal ini diasumsikan bahwa pekerja media tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, penekanan isu. Hal ini dapat teramati bagaimana pekerja media menuliskan fakta, proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih disajikan kepada khalayak. Seperti diungkapkan oleh Frank D. Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Dengan framing realitas yang begitu rumit dan kompleks disederhanakan oleh media sehingga mudah dipahami, diingat dan realitas tersebut lebih bermakna dan dimengerti.

Berdasarkan teori di atas tentu sejatinya kebenaran adalah sesuatu yang interpretif, dan interpretasi-interpretasi alternatif ataupun kritik interpretif adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan legal untuk dilakukan.
Karakteristik utama kritik interpretif adalah kritikus dengan metode sangat personal. Tindakannya bagaikan sebagai seorang interpreter atau pengamat tidak mengklaim satu doktrin, sistem, tipe atau ukuran sebagaimana yang terdapat pada kritik normatif. Kritik Interpretif punya kecenderungan karakteristik sebagai berikut :
· Bentuk kritik cenderung subjektif namun tanpa ditunggangi oleh klaim doktrin, klaim objektifitas melalui pengukuran yang terevaluasi.
· Kritikus melalui kesan yang dirasakannya terhadap sebuah bangunan diungkapkan untuk mempengaruhi pandangan orang lain bisa memandang sebagaimana yang dilihatnya.
· Menyajikan satu perspektif baru atas satu objek atau satu cara baru memandang bangunan (biasanya perubahan cara pandang dengan “metafor” terhadap bangunan yang kita lihat)
· Melalui rasa artistiknya disadari atau tidak kritikus mempengaruhi orang lain untuk merasakan sama sebagaimana yang ia alami ketika berhadapan dengan bangunan atau lingkungan kota.Membangun karya “bayangan” yang independen melalui bangunan sebagaimana miliknya, ibarat kendaraan.

Indonesia adalah negara yang sungguh plural, dimana terdapat berbagai macam agama, suku maupun kebudayaan yang sangat beraneka ragam. Dalam situasi seperti ini, tentu terjadinya perbedaan interpretasi tentang sesuatu hal adalah sesuatu yang wajar. Namun seringkali Indonesia belumlah bisa menjadi negara dewasa yang mau menerima interpretasi alternatif dari pihak lain. Akibatnya, situasi konflik, ketegangan, maupun kekerasan lah yang lebih sering jumpai. Di sisi, debat terbuka, musyawarah, maupun wacana-wacana ilmiah lain belumlah mendapat tempat.
Kiranya kedepan masayarakat Indonesia dapat melihat interpretasi orang lain bukan sebagai ancaman, melainkan sebuah alternatif bagi yang mau menerimanya, sehingga akan tercipta bangsa Indonesia yang dewasa, mau menghargai pendapat orang lain, dan yang terpenting, CINTA DAMAI.

Kamis, 06 Maret 2008

PENGENALAN RENANG UNTUK PEMULA

OLEH :
WILIAN DALTON



PENGENALAN KOLAM

Anak yang belum pernah berenang, adakalanya untuk mendekat ke kolam saja sudah takut. Diperlukan berbagai upaya agar anak tersebut menjadi tidak takut mendekat ke kolam. Langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah mengajak anak berjalan-jalan mengelilingi kolam, ketika anak telah mengenal lingkungan tersebut, pasti lama kelamaan anak anak menjadi tidak takut.
Upaya lain setelah anak mengenal lingkungan kolam adalah mengajak anak masuk air, bisa dimulai dengan mengajak anak berdiri di tepi kolam dan memasukkan kakinya ke dalam kolam. Bisa pula dicoba anak diberi percikan air agar anak mengenal suhu air. Selanjutnya anak dicoba turun ke kolam lewat anak tangga, dan satu tangga lagi, begitu terus hingga seluruh badan anak masuk ke kolam.
Usahakan agar anak didik dipaksakan masuk air, karena trauma akibat dipaksa masuk air, akan berdampak secara psikologis sehingga anak akan semakin takut masuk air, akibat secara psikologis ini biasanya sulit dihilangkan.
Anak juga bisa diajak berbincang-bincang dan membicarakan tentang nikmatnya berenang, dan hal-hal yang mengasyikan tentang air. Hal tersebut diharapkan mampu memberikan motivasi secara intrinsik, sehingga anak dengan secara sukarela ingin mencoba masuk air, dan ingin berlatih renang yang baik dan benar.
Hal lain yang perlu diberikan ketika mengenalkan kolam adalah memberitahukan aturan-aturan yang ada di kolam misalnya dilarang membuang sampah sembarangan, dilarang meludah dan kencing di kolam, dilarang berlari-lari di sekitar kolam karena licin, serta kewajiban mengenakan pakaian renang ketika berenang. Hal tersebut tentunya akan memberikan pengetahuan, sehingga aturan-aturan itu akan selalu diingat dan dilakukan sepanjang anak tersebut berada di kolam.



PENGENALAN AIR

Anak yang pertama kali berlatih renang, haruslah terlebih dahulu dikenalkan dengan sifat-sifat air. Ketika anak telah mengetahui sifat-sifat air, tentulah perasaan takut akan air akan hilang dan kepercayaan diri akan tumbuh.
Pengenalan sifat air dapat dilakukan secara sadar, secara tidak sadar, dengan alat maupun tanpa menggunakan alat. Cara yang paling lazim digunakan adalah dengan permainan, karena dengan permainan kita dapat mengenalkan sifat air dengan mudah, yaitu dingin, basah, tahanan depan oleh air, tekanan ke atas dan tekanan pada telinga, mata dan hidung.
Contoh permainan yang bisa digunakan dalam pengenalan air antara lain:
1. Permainan lari
a. Lomba lari dari ujung ke ujung
b. Lomba lari dengan menggendong
c. Lari dengan rintangan
d. Lari beregu dengan atau tanpa rintangan
2. Permainan mengatuk (tikipelen)
a. Kejar mengejar biasa
Mengejar anak dengan ketentuan yang boleh dikatuk kepalanya saja atau punggungnya saja.
b. Menyeberang ke salah satu tepi, pengatuk diletakkan di tengah
c. Permainan kucing tikus
Anak membuat lingkaran, dengan berpegangan tangan, kucing dan tikus berkejaran di dalamnya.
3. Permainan dengan bola
a. Berburu macam
Siswa memburu macam dengan cara menembaknya dengan bola
b. Polo air sederhana
4. Permainan mengadu
Misalnya masing-masing siswa bertanding menjatuhkan rekannya.
5. Permainan menyelam
Misalnya siswa diharuskan menyelam di antara kedua tungkai rekannya.
PEMBELAJARAN RENANG GAYA CRAWL

A. Gerakan Lengan
Gerakan lengan merupakan faktor utama dalam melakukan renang gaya crawl. Gerakan maju perenang gaya crawl, lebih banyak ditentukan oleh pukulan lengan daripada pukulan kakinya. Karenanya teknik yang benar, akan sangat membantu perenang dalam bergerak ke depan.
Untuk mengajarkan gerakan lengan, dapat dimulai dengan melakukan demonstrasi di darat, agar murid tahu gerakan keseluruhan dengan benar. Selanjutnya siswa disuruh menirukan dengan cara membagi-bagi gerakan perfase dengan hitungan. Bisa dimulai dari hitungan 1-5 selanjutnya dikurangi 1-4, kemudian 1-3 dan 1-2. Selanjutnya setelah mendapatkan aba-aba, anak-anak melakukan 1 gerakan utuh lewat satu hitungan. Hal ini dilakukan agar anak dapat meniru gerakan dengan mudah namun gerakan tidak terpatah-patah seperti robot.
Teknik lengan gaya crawl dibagi menjadi tiga fase yaitu:
1. Fase menarik
- Masuknya tangan ke air
- Masuknya ujung jari tangan
Tangan diruncingkan sehingga telapak tangan menghadap ke arah luar diagonal. Jika masuk air, tangan tetap mendatar dalam posisi horisontal, hal tersebut tidak efisien. Posisi yang tepat telapak tangan membentuk sudut kira-kira 450.
- Tarikan di bawah air
Banyak variasi tarikan, namun yang lazim perenang menggunakan pola S (gerakan S di bawah badan).
- Permulaan tarikan lengan
Ketika salah satu lengan dan tangan sama sekali telah berada di bawah air, telapak tangan diputar dari posisi diagonal dengan putaran lengan ke bawah.

- Lamanya tarikan siku bengkok
Ketika lengan ke belakang, dalam membengkokkan siku sampai mencapai bengkok maksimum dimana tangan repat di bawah badan dan lengan atas pada sudut 900 dengan badan.
2. Fase mendorong
Dimulai ketika lengan atas pada sudut 900 dengan badan dan tangan di bawah badan, selanjutnya dari titik ini ke belakang tangan didorong dengan perluasan siku sampai dorongan berakhir dimana siku hampir mencapai perluasan seluruhnya.
3. Fase istirahat
Dimulai ketika tangan dan lengan masih di bawah air, ketika tangan diangkat, kelingkinglah yang pertama meninggalkan air, tangan keluar dari air seperti pilau membuat tahan sangat kecil.
Ketika siswa telah tau teknik yang benar, selanjutnya siswa disuruh mempraktekkan di air, bisa menggunakan alat bantu misalnya pelampung agar tungkai siswa tetap terangkat ke atas. Suruh siswa bolak balik dari sisi kolam satu ke sisi yang lain.

B. Teknik Pukulan Kaki
Gerakan kaki bertujuan untuk membantu mendorong badan ke depan, disamping juga untuk keseimbangan badan. Ernest W. Maglischo membantu gerakan pukulan kaki menjadi empat yaitu pukulan kaki menyilang, dua pukulan kaki lurus, enam pukulan kaki dan empat pukulan kaki.
Untuk mengajarkan teknik ini, siswa disuruh berjajar di tepi kolam lalu melakukan gerakan yang benar, yaitu tungkai lurus rileks gerakan bersumbu pada ujung tungkai bukan di dengkul/lutut.
Setelah siswa mampu kemudian siswa disuruh mempraktekkannya di kolam dengan bantuan pelampung untuk menahan badan bagian atas agar tidak turun. Lakukan gerakan bolak balik dari satu sisi kolam ke sisi yang lain. Lakukan koreksi, pastikan gerakan yang dilakukan siswa benar.

C. Gerakan Keseluruhan
Setelah siswa menguasai gerakan lengan dan tungkai secara benar, langkah selanjutnya adalah mengajarkan gerakan secara keseluruhan. Disamping juga harus mengajarkan cara menggulingkan badan dan mengambil nafas serta posisi badan yang benar.
1. Teknik menggulingkan badan
Perenang gaya crawl artinya memutas badannya di sekitar sumbu membujur, 450 untuk tiap sisi mengguling merupakan reaksi wajar dan merupakan bagian dari gaya.
2. Teknik bernafas
Saat mengeluarkan nafas, pandangan 450 ke depan pada sudut 450 ke dalam kolam. Saat mengambil tindakan memutar kepala dikoordinasikan dengan mengguling badan. Telinga menyentuh lengan.
3. Posisi badan
Posisi yang tepat adalah streamline (rata-rata air) horisontal yang baik dan dalam garis arah samping.
Siswa disuruh melakukan gerakan keseluruhan berbolak balik, guru mengoreksi apablila ada gerakan yang kurang tepat dari siswa.

D. Kesalahan Umum Renang Gaya Crawl
1. Ambil nafas terlalu dini
2. Terlambat ambil nafas
3. Kaki perenang kurang rileks
4. Sikap tubuh yang meliuk-liuk
5. Menarik dengan siku terlalu lurus
6. Jalannya istirahat dengan lebar
7. Pernafasan ke belakang
8. Lengan berhenti istirahat/lambat
9. Tahap torongan berhenti terlalu lambat
10. Tahap torongan berhenti terlalu awal
11. Jangkauan berlebihan untuk masuknya jari-jari
12. Tendangan dengan ujung jari kaki.
METODE MENGAJAR RENANG GAYA DADA

Renang gaya dada masih sering dijadikan gaya permulaan. Hal ini dikarenakan gaya ini terasa lebih mudah bila dibanding renang gaya rimau ataupun gaya kupu-kupu. Renang gaya dada memiliki corak dan selera sendiri, untuk mengetahui kekhususan gaya dada ini, maka perlu diajarkan kepada siswa gaya tersebut. Berikut urutan langkah mengajar gaya dada:
- Langkah kesatu : mengajar gerakan meluncur
- Langkah kedua : mengajar gerakan kaki
- Langkah ketiga : mengajar rangkaian gerakan meluncur, gerakan kaki
- Langkah keempat : mengajar gerakan lengan
- Langkah kelima : mengajar rangkaian gerakan meluncur, gerakan kaki dan gerakan lengan
- Langkah keenam : mengajar gerakan pernafasan
- Langkah ketujuh : mengajarkan rangkaian gerakan meluncur, gerakan kaki, gerakan lengan dan gerakan pernafasan.
Gerakan ke depan renang gaya dada sangat dipengaruhi oleh benar tidaknya teknik gerakan tungkai. Kesalahan teknik akan menyebabkan luncuran ke depan tidak lancar atau tidak lacu, hal ini terutama diakibatkan tolakan tidak menggunakan telapak kaki tetapi punggung kaki.
Urutan langkah-langkah renang gaya dada pada gerakan tungkai biasanya menggunakan enam hitungan, lalu dikurangi menjadi lima, empat, dan tiga. Dengan enam bilangan (sikap mula tertelungkup, kaki rapat lurus)
- Satu → menarik kaki dengan cara menekuk lutut, kedua kaki relatif rapat
- Dua → membuka telapak kaki ke arah samping, eforotation tumit tetap rapat
- Tiga → membuka betis ke arah samping abductio pada betis, lutut tetap rapat
- Empat → membuka paha ke samping (abdution paha)
- Lima → meluruskan kedua kaki dengan merapatkan (cepat dan bertenaga)
- Enam → kedua kaki tetap rapat dan lurus


Dengan lima bilangan
(sikap permulaan badan tertelungkup, kedua kaki rapat, lurus)
- Satu → menarik kedua kaki dengan menekuk lutut, kedua kaki relative rapat
- Dua → membuka kedua telapak kaki ke arah samping, exoration, tumit tetap rapat.
- Tiga → membuka telapak kaki, yang disusul dengan membuka kedua betis ke arah samping luar
- Empat → merapatkan sambil meluruskan kedua kaki (cepat, kuat)
- Lima → kedua kaki lurus dan rapat
Dengan empat bilangan
- Satu → menarik kaki dengan menekuk lutut, kedua kaki relative rapat
- Dua → membuka kedua telapak kaki yang sesuai dengan membuka betis dan disusul membuka paha ke arah samping
- Tiga → merapatkan sambil meluruskan kedua kaki dilakukan dengan cepat dan kuat.
- Empat → kedua kaki tetap rapat dan lurus
Dengan tiga bilangan
- Satu → menarik kaki dengan menekuk lutut
- Dua → membuka telapak kaki dengan membuka betis dan disusul membuka paha ke samping, disusul lagi meluruskan sambil merapatkan keduabelah kaki dengan cepat dan kuat.
- Tiga → kedua kaki rapat dan lurus agar luncuran menjadi lancar.









METODE MENGAJAR RENANG GAYA PUNGGUNG

Renang gaya punggung ditempatkan pada gaya kedua setelah gaya rimau. Hal ini dibuktikan dengan cepatnya anak dapat melakukan renang gaya punggung setelah didahului belajar renang gaya rimau terutama masalah gerakan kaki, tidak banyak perbedaan.
Renang gaya punggung juga bisa dijadikan renang permulaan, banyak anak yang bertempat tinggal di tepi sungai dapat berenang gaya punggung. Jika renang gaya punggung dijadikan permulaan, maka urutannya adalah sebagai berikut:
- Langkah kesatu : mengajar mengapung telentang aktif, bukan meluncur telentang. Kata aktif mempunyai arti keadaan telentang itu sebagai hasil dari hasil gerakan berjalan mundur di kolam dangkal, yang makin lama makin condong ke belakang, dan dibantu oleh gerakan lengan yang bebas bergerak disamping pinggang.
- Langkah kedua : mengajar gerakan kaki
- Langkah ketiga : mengajar gerakan mengapung telentang dan gerakan kaki
- Langkah keempat : mengajar gerakan lengan
- Langkah kelima : mengajar rangkaian gerakan mengapung terlentang, gerakan kaki dan gerakan lengan.
Pernafasan tidak jadi masalah dalam gaya ini, karena mulut perenang selalu di atas, sehingga bisa mengambil nafas secara terus menerus. Dianjurkan agar bernafas, dua kali ayunan lengan satu kali ambil nafas. Menghirup udara ketika salah satu lengan di atas air, dan menghembus ketika lengan yang lalu di atas air.
Dianjurkan guru mengajarkan renang gaya punggung crawl bukan renang gaya punggung katak, karena renang gaya punggung katak telah tidak pernah dilakukan oleh perenang-perenang prestasi, dalam arena pertandingan pun renang gaya punggung katak telah tidak dipertandingkan.

Minggu, 02 Maret 2008

Konstruksi Sosial Gender dalam Proses Perkuliahan prodi PJKR FIK UNY

ABSTRACT

SOCIAL CONSTRUCTION OF GENDER IN THE INSTRUCTIONAL PROCESS OF PJKR DEPARTMENT FIK UNY


By:
Wilian Dalton
04601241060


This research is a qualitative research developed subjectively with a female inside view, aimed at understanding the social construction of gender in the instructional process of PJKR department FIK UNY.
The method employed is in-depth interview. The population of research is all female students of PJKR department. This research avoid generalization, so it does not use sampling method. The subject of research is respondents fulfilling the determined criteria.
The result shows that there are two types of female students in instructional process of PJKR department FIK UNY, they are feminine and tomboy female students. Both faced inequality caused by social construction of gender. This inequality is manifested in detrimental stereotyping, discrimination against tomboy female, subordination, violence, and double standard against female.



ABSTRAK

KONSTRUKSI SOSIAL GENDER DALAM PROSES
PERKULIAHAN PRODI PJKR FIK UNY


Oleh:
Wilian Dalton
04601241060


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dikembangkan secara subyektif dengan pandangan dalam dari perempuan, bertujuan untuk mengetahui bentuk konstruksi sosial gender dalam proses perkuliahan prodi PJKR FIK UNY.
Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa perempuan prodi PJKR. Penelitian ini tidak melakukan generalisasi, sehingga tidak terikat dengan metode sampling. Subjek penelitian adalah responden yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua tipe mahasiswa perempuan dalam proses perkulihan prodi PJKR FIK UNY yakni mahasiswa perempuan feminin dan mahasiswa perempuan tomboy. Keduanya mengalami ketidakadilan yang disebabkan oleh konstruksi sosial gender. Manifestasi ketidakadilan tersebut antara lain; stereotipe yang merugikan, diskriminasi terhadap perempuan tomboy, subordinasi, kekerasan, dan standar ganda terhadap perempuan.

(lebih jauh, hubungi Perpustakaan FUK UNY)

Motto Hidup

motto hidup dari den baguse Wilian Dalton:

Ø Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS 17; 84).
Ø Bagaimanapun banyaknya keterbatasan anda, anda selalu bisa memiliki impian dan visi. Jika anda berpegang pada hal itu, anda bisa mengubah dunia. (Fatima Mernissi).
Ø Jika saya mendengar semua orang, saya akan hancur sendiri. (Ruud Gullit).
Ø The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong. (Mahatma Gandhi).