Senin, 30 Maret 2009

Memilih Presiden Lewat Tes

Banyak orang menganggap sistem demokrasi adalah konsep yang paling sempurna dalam pemerintahan suatu negara. Tapi kok saya nggak setuju ya. Setidaknya bukan hanya saya yang bilang begitu. Winston Churchill, misalnya, terus terang mengakui bahwa sesungguhnya, demokrasi bukan sistem politik yang terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang dianggap lebih baik. Hal tersebut menandakan bahwa demokrasi bisa menjadi pedang bermata dua, mata yang satu mendorong kemajuan dan percepatan kesejahteraan, mata yang lain sebaliknya. Semua tergantung banyak faktor, bagaimana dinamika aktor-aktornya, varian demokrasi yang diambil, kultur politik, hingga hal-hal yang lebih spesifik lagi, misalnya tingkat income per kapita.

Coba kita cek:

Sistem demokrasi tidaklah menjanjikan orang terbaik yang menjadi pemimpin! Orang yang paling banyak pendukungnya lah yang akan menang. Tak peduli kualitas orang tersebut.

Di sisi lain, seberapapun hebatnya seseorang, namun jika orang tersebut tidak terkenal atau tidak punya pendukung, ya tidak mungkin dia menang.

Nah inilah masalah besar yang kita hadapi dalam musim kampanye seperti ini. Kita sangat kesulitan untuk tau mana caleg atau capres terbaik. Lha wong kenal aja enggak. So sesuatu yang sangat mungkin terjadi adalah; sesorang yang secara intelektual mungkin dia lemah, tapi karena dia terkenal (artis misalnya) dia pun menang pemilu. Wah bisa berabe nie.

Lalu bagaimana solusinya?

Saya sering berfikir, bagaimana kalau presiden itu dipilih tidak melalui pemilu, tapi lewat tes saja. Seperti CPNS gitu, hahahahahahaha

Jadi semua orang dinegeri ini yang pengen jadi presiden, boleh ndaftar tes. Ntar yang meraih skor tertinggi dialah yang jadi presiden kita.

Tentu saja sebelumnya kita harus menciptakan instrumen tes terbaik yang bisa mengukur seluruh aspek yang dibutuhkan untuk menjadi memimpin. Tes ini haruslah di ciptakan oleh ahli-ahli tes dan pengukuran terbaik dari seluruh negeri.

Setelah instrumen tes tercipta, maka tes ini harus dikawal secara ketat sehingga hasilnya bisa se obyektif mungkin. Tak ada main curang, main sogok, sabotase, dan lain sebagainya.

Tapi masalahnya, bisa gak ahli-ahli tes dan pengukuran itu menciptakan instrumen yang bisa mengukur kemampuan seseorang secara menyeluruh?

Nah kalau belum bisa, kayaknya demokrasi masih jadi pilihan terbaik untuk saat ini deh, hahahahahahahahaha.

Kamis, 26 Maret 2009

Budaya Jawa dan Kekerasan Sepak Bola

Filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, pernah bilang, dalam sepak bola semuanya jadi rumit karena hadirnya pemain lawan. Dalam konteks kita, sepak bola makin bertambah rumit karena hadirnya suporter tim yang bertanding sehingga melahirkan lelucon betapa Indonesia pantas disebut sebagai negara sarang teroris.
Buktinya, mereka legal berkumpul di stadion-stadion, juga leluasa melakukan aksi teror ketika tim yang ia dukung kalah. Aksi teror dan kerusuhan suporter di Jawa Tengah meledak lagi (12/3) di Jepara. Sebagai suporter dan football flaneur, istilah Baudelaire (1821-1867) untuk turis bola yang gemar menjelajah kota untuk nonton sepak bola (di Pulau Jawa sampai Singapura), saya pribadi kenyang menemui aksi-aksi brutal suporter sepak bola Indonesia. Tetapi, hal buruk tersebut senyatanya tak hanya meledak di masa kini.
Adalah Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, secara tajam mengungkap borok tindak kekerasan dunia suporter sepak bola Indonesia sejak zaman kolonial hingga kini. Dalam tulisannya View from the Periphery: Football in Indonesia, ia memakai pisau bedah dari perspektif budaya dan politik dalam analisis yang provokatif.
Ditilik dari kajian budaya, menurutnya, tidak dapat diingkari bahwa Indonesia kuat dipengaruhi budaya suku mayoritas, suku Jawa. Budaya Jawa memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum. Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku, dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame, dan mediasi oleh pihak ketiga. Apabila meletus konflik, terutama ketika saling ejek dan saling hina terjadi, maka yang muncul adalah perasaan malu dan kehilangan muka.
Dengan landasan sikap interaksi antarmanusia tipikal seperti itu, membuat pertandingan sepak bola menjadi problematis. Sebab, sepak bola adalah konflik eksplisit di mana seseorang sangat mudah untuk merasa dihinakan. Adanya tackle keras, trik licin mengecoh lawan, sampai keputusan wasit yang mudah ditafsirkan secara beragam, jelas membuat penghindaran menjadi hal mustahil. Apalagi ketegangan itu diperburuk oleh fakta bahwa tindak penghinaan tersebut tidak hanya berlangsung di muka umum, tetapi nyata-nyata di depan ribuan pasang mata. Reaksi tipikal orang Jawa ketika di bawah tekanan semacam itu adalah ledakan kemarahan dan amuk tindak kekerasan. Kalah dan amuk
Tesis di atas dapat dinilai parsial dan hipotetis. Itu karena, argumen yang sama kurang meyakinkan bila diterapkan untuk kelompok etnis Indonesia lainnya, yang juga memunculkan tindak kekerasan serupa dalam teater sepak bola. Idealnya kemudian, penjelasan secara kultural tadi direntang dengan menggambarkan kesejajaran secara spekulatif antara sepak bola dengan budaya politik sehingga mencakup pemain dan suporter dari semua latar belakang etnis di Indonesia.
Dalam budaya demokrasi, kalah-menang secara fair play merupakan bagian sah suatu kompetisi. Di pentas Piala Dunia 2002 kita diberi keteladanan ketika tuan rumah Korea Selatan atau Jepang mengalami kekalahan ternyata tidak terjadi kerusuhan sama sekali. Hal sebaliknya justru meletus kerusuhan di Moskwa ketika Rusia dikalahkan oleh Hidetoshi Nakata dan kawan-kawan.
Sementara itu, di pentas sepak bola Indonesia kerusuhan masih mudah meruyak ketika suatu tim mengalami kekalahan. Realitas ini menegaskan betapa dalam masyarakat non-madani, ide mengenai kompetisi yang selalu melibatkan konflik belum berurat dan berakar. Bahkan perilaku menjunjung tinggi sportivitas dipandang sebagai hal bodoh. Teater sepak bola Indonesia kaya dengan contoh pelecehan terhadap sportivitas olahraga.
Misalnya dalam pertandingan terakhir putaran kedua Kompetisi Perserikatan PSSI Wilayah Timur 1988, tuan rumah Persebaya digulung Persipura dengan skor fantastis, 0- 12. Persipura dengan kemenangan itu berarti menyisihkan peluang PSIS Semarang sebagai juara bertahan 1986/1987 untuk berlaga ke Senayan. Tetapi, kemenangan fantastis itu, semua publik sepak bola mengetahuinya, merupakan kemenangan yang tidak wajar, diatur para eksekutif kedua tim perserikatan tersebut.
Dalam perempat-final Piala Tiger 1998 di Hanoi, Vietnam, terjadi peristiwa aib yang melibatkan tim nasional Indonesia. Peristiwa hitam itu terjadi ketika tim yang bertanding, baik tim Thailand maupun Indonesia, sama-sama tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu sportivitas. Kedua tim berusaha mati- matian agar memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya agar terhindar bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal. Saat skor 2- 2 pada perpanjangan waktu, pemain Indonesia Mursyid Effendi menembak ke gawang timnya sendiri. Kiper Indonesia tidak berusaha menepis. Justru banyak pemain Thailand berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar tidak kebobolan.
Semua ilustrasi menyedihkan itu menunjukkan semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia. Berdasar pendapat banyak ahli, memang itulah cermin sejati bangsa Indonesia yang lebih condong sebagai sosok masyarakat non-madani ketimbang masyarakat yang demokratis. Kalau terus seperti ini, kapan Indonesia bisa masuk Piala Dunia? Antonio Gramsci pernah bilang, sepak bola merupakan model masyarakat individualistik yang membutuhkan prakarsa, kompetisi, dan konflik. Tetapi, segalanya diatur oleh peraturan tidak tertulis yaitu hukum fair play.
Mari kita introspeksi diri. Apakah masyarakat kita selama ini telah kondusif untuk mekarnya segala prakarsa, berbudaya sehat dalam berkompetisi, arif menyelesaikan beragam konflik, sekaligus patuh terhadap segala peraturan tertulis dan tidak tertulis secara konsekuen? Selama kita belum mengalami perubahan budaya seperti disyaratkan Gramsci, jangan harap prestasi sepak bola kita bisa ikut berbicara di pentas dunia. Hari-hari mati prestasi sepak bola Indonesia masih teramat panjang sekali. Dan, kerusuhan antarsuporter seperti yang meledak di Jepara itu pasti masih terus terulang dan terulang kembali!

BAMBANG HARYANTO
Blogger dan pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli, tinggal di Wonogiri Jawa Tengah

Rabu, 25 Maret 2009

Melawan Arus

Secara umum, manusia selalu menganggap benar sesuatu yang dianggap benar oleh banyak orang. Padahal kan nggak selalu begitu ya. Kadang hal yang dianggap banyak orang benar itu malah keliru.Tapi seringkali kita nggak bisa untuk melawan pendapat banyak orang. Akibatnya, banyak orang kemudian terpaksa untuk mengikuti mainstream yang ada lingkungan sosialnya. Contoh kontritnya adalah fashion. Seorang pecinta fashion mengatakan: “kami tetap konsisten untuk berpenampilan dengan jaket-jaket Wrangler dan Levi’s, Harrigton, celana bretel, T-shirt, skinners, celana paralel, union shirt yang populer pada waktu ini.” 
Pertanyaannya adalah: “Apakah mereka berpakaian seperti itu, karena mereka anggap pakaian itu bagus atau karena orang lain juga berpakain seperti itu?” 

Inilah masalahnya. Sering kan kita pakai baju yang gak nyaman. Tapi gara-gara banyak orang bilang "Ni celana ketat baru tren". Terpaksa deh kita pakai celana ketat, biar dibilang keren. Situasi seperti inilah yang selalu kita hadapi dalam kehidupan. Kita harus selalu mengalami proses internalisasi terhadap kenyataan-kenyataan obyektif, yang bisa jadi kenyataan obyektif itu salah.

Hey, pernyataan subyektif juga gak selalu salah kan?.

Seringkali pula kita terjebak dalam pemikiran yang apriori. Sebuah pemikiran adalah "a priori" ketika kita menganggapnya benar dan menerimanya bahkan sekalipun tak tersedia informasi yang membenarkannya

Contohnya, 
umpanya kita udah ngefans ma seorang tokoh gitu. Tokoh ini banyak pendukung gitu.
 Nah apapun pendapat dia pasti kita dukung. Gak peduli salah ato bener yang penting kita setuju.Inilah pemikiran apriori. Dan kita sering banget berfikir dengan pola seperti ini. Kita sudah merasa paling benar karena banyak (ada) yang berpendapat atau berperilaku seperti itu.

Apa sih salahnya membentuk gaya sendiri, gaya untuk melawan arus gitu. Atau istilah kerennya mendobrak Mainstream.  

Menerapkan strategi “melawan arus” berarti kita memancing suatu perbedaan dengan pandangan umum. Ketika orang lain memilih jalan yang umum, misalnya bekerja keras agar berhasil dalam bidang kerja yang digelutinya, terpetikkah di dalam benak kita untuk mengatakan, “bekerja lebih santai untuk sukses bukankah semakin asyik?” 

Intinya: Jangan puas dengan sesuatu yang biasa-biasa saja.

Kamis, 12 Maret 2009

MENUJU GURU PENDIDIKAN JASMANI YANG PROFESIONAL

Oleh:
Wilian Dalton

A. PENDAHULUAN

Apabila kita mengharapkan sebuah pekerjaan dilakukan dengan baik, apakah itu di rumah sakit, di pasar, di kantor, di kampus, atau di sekolah, kita pasti berbicara tentang perlunya perilaku yang profesional. Di dalam arti kata itu terkandung makna bahwa perilaku itu didasarkan atas pengertian yang benar mengenai hal yang harus dilaksanakan, dan pengertian itu dilengkapi dengan kemahiran yang tinggi. Tindakan yang lahir dari gabungan kedua sifat itu, mencerminkan lebih kurang tingkat profesionalisme yang diharapkan dimiliki seseorang.
Apabila pengertian ini kita terapkan di dalam kehidupan secara luas, maka di semua segi kehidupan diperlukan profesionalisme, walaupun kita belum terbiasa mendengar apa arti suami profesional, misalnya. Rupa-rupanya aspek kemahiran yang tinggi itulah yang dimaksud apabila kita berbicara tentang pencopet profesional. Atau pelacur profesional. Bagaimana dengan petinju profesional? Apakah, apabila dia tergolong petinju amatir, ia tidak dapat atau tidak boleh bertinju secara profesional? Bagaimana dengan guru yang profesional? Apa beda guru profesional di Amerika dengan guru di Indonesia? Bagaimana profesionalisme guru di zaman Orde Baru dibandingkan dengan guru Orde Reformasi? Dalam kaitannya dengan pendidikan jasmani, bagaimana pula sosok ideal guru pendidikan jasmani yang profesional?
Guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesional. Tetapi sejauh mana ketentuan ini berlaku umum? Apakah sekolah guru menjamin lulusannya pasti adalah guru yang profesional? Banyak juga lulusan sekolah guru yang memberi kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan guru. Jadi realitas ini tidak sesuai dengan yang seharusnya berlaku. Bahkan, sesekali ada juga orang yang tidak merupakan lulusan sekolah guru, yang kemudian ternyata dapat menjadi guru. Apakah mereka itu berhak menyandang predikat guru profesional ?
Berita dari dunia pendidikan menggetarkan: pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.
Hal menarik, yang dikemukakan oleh Prof Nanang Fatah, yaitu bahwa pada uji kompetensi Matematika, dari 40 pertanyaan rata-rata hanya dua pertanyaan yang diisi dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidangnya (Kompas, 9/12/05). Berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? Memprihatinkan dan mengenaskan. Bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru menjadi profesional?
Menengok kasus diatas, lalu apakah sebaiknya kita tidak usah persyaratkan perlunya seseorang terlebih dahulu bersekolah guru sebelum dapat menjadi guru yang profesional? Bagaimana pula keadaannya apabila tuntutan untuk menjadi guru profesional adalah begitu kuat, tetapi lingkungan dan kondisi kerja sama sekali tidak mendukung? Ataukah kita menggunakan istilah guru profesional hanya dengan harapan agar guru masih mau bekerja mati-matian, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi tanpa segala-galanya! Di dalam kondisi yang setengah mati buruknya? Sunggguh tidak berperikemanusiaan untuk menuntut profesionalisme dari guru, kalau guru sebenarnya sudah tergolong kaum the have nots, di luar dan di dalam habitatnya sebagai guru.
Di kalangan kelompok-kelompok atau organisasi profesional, dokter, pengacara, dan sekarang juga guru, seringkali kita mengenal sebuah sifat lagi yang ditambahkan di dalam persyaratan profesi: kode etik. Kode etik dokter, misalnya, tidak membenarkan anggota-anggotanya menceritakan kian kemari penyakit atau penderitaan seorang pasien, kecuali di dalam hal tertentu yang dikehendaki oleh hukum. Seorang hakim tidak dibenarkan menerima suap dalam keadaan bagaimanapun, seperti juga seorang polisi, petugas penegak hukum. Guru juga begitu: banyak rambu-rambu yang diperkenalkan di dalam kode etik organisasi profesional, yang intinya adalah untuk memastikan agar setiap anggotanya menjunjung tinggi tugas yang diberikan ke- padanya, termasuk menyimpan rahasia jabatan. Tetapi kata orang, pelacuran pun mempunyai kode etik atau rahasia jabatan, yakni tidak mengambil langganan yang sudah menjadi `milik' pelacur lain, dan tidak membongkar identitas pelanggannya. Jadi profesionalisme yang bagaimana yang kita perlukan?

B. PROSES PROFESIONALISASI GURU

Profesionalisme bukanlah sebuah istilah baku. Juga bukan berharga mati. Pro- fesionalisme adalah konsep yang dinamis, berkembang sepanjang masa. Dengan itu kita harus mengerti bahwa adalah tidak mungkin untuk menetapkan standar profesi yang berlaku sepanjang masa, di dalam keadaan yang bagaimanapun. Persyaratan menjadi guru yang baik lima puluh tahun yang lalu, berbeda dari sekarang, dan ada alasan untuk meramalkan bahwa persyaratan itu akan berubah lagi lima puluh tahun dari sekarang. Tetapi janganlah berhitung dalam jarak lima puluh tahun. Terlalu lama. Di setiap saat, profesionalisme berlangsung terus, karena profesionalisme adalah suatu proses dengan ujung atau pucuk terbuka, yang selalu terjadi, dan yang terjadi terus menerus, tidak pernah benar-benar selesai. Artinya, apabila profesionalisasi berjalan terus sebagaimana seharusnya, maka yang kita peroleh adalah hasil yang semakin hari semakin baik, semakin hari semakin lebih profesional.
Tetapi kalau profesionalisasi adalah konsep yang begitu dinamis, bagaimana kita dapat mengamati atau menilai bahwa kita telah sampai pada tahap yang acceptable, dan yang sekaligus improvable? Inilah sisi lain lagi dari masalah profesionalisasi di bidang kependidikan. Profesionalisasi, sebagai sebuah proses, terjadi di dalam sebuah konteks yang riil, bukan di dalam ruang hampa.
Profesionalisasi berkaitan dengan apa yang kita percayai sebagai tujuan yang semestinya kita capai. Dengan serangkaian tujuan yang jelas, kita kemudian dapat mengidentifikasi berbagai indikator keberhasilan. Dan dengan itu akan lebih mudah kita memahami wujud profesionalisme yang dikehendaki. Tetapi profesionalisasi juga berkaitan dengan living realisties yang berpengaruh terhadap keberhasilan kita mendidik tenaga-tenaga profesional; sumber daya manusia, sarana, iklim politik, dan berbagai unsur di dalam ecosystem pendidikan yang harusnya diperhitungkan di dalam mencapai tujuan.
Tidak dapat dinaifkan bahwa memang tidak mudah merumuskan dan menggambarkan profil seorang guru profesional. Apakah mungkin karena itu, maka kita tidak dapat menemukan guru yang memenuhi syarat profesionalisme? Tidak. Bukan karena itu, masih banyak guru yang berhati guru dan berjiwa guru. Masih banyak guru yang hidup dan matinya diberikan kepada tugasnya mendidik anak bangsa. Masih banyak guru yang berpotensi profesional. Tetapi dunia sekeliling guru tidak memahami potensi itu. Dunia sekeliling guru masih terlalu banyak berwatak anti profesionalisme. Watak birokrasi misalnya, masih terlalu kental sebagai watak yang tidak menghormati _ karena tidak memahami _ hakikat profesionalisme.
Dalam arti yang sudah dikemukan yakni, sebagai sebuah proses kontekstual yang selalu menjadi (in the state of becoming) dan terus menjadi, profesionalisasi tidak hanya perlu, tetapi mutlak. Sebenarnya, hampir-hampir menjadi sebuah tautologi, kalau menjadi guru masih dipersyaratkan untuk menjadi profesional. Guru itu sudah sebuah profesi. Sebagai profesi, memang diperlukan berbagai syarat, dan syarat itu tidak sebegitu sukar dipahami, dan dipenuhi, kalau saja setiap orang guru memahami dengan benar apa yang harus dilakukan, mengapa ia harus me-lakukannya dan menyadari bagaimama ia dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya, kemudian ia melakukannya sesuai dengan pertimbangan yang terbaik. Dengan berbuat demikian, ia telah berada di dalam arus pro-ses untuk menjadi seorang profesional, yang menjadi semakin profesional.
Mengajar tugas utama guru adalah proses yang harus berdasarkan penerimaan prinsip perubahan; menerima perubahan yang terjadi di dalam diri anak, dan menerima perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Tanpa perubahan (luar) yang tampak dengan jelas pun, mengajar adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan. Oleh karena itu, mereka yang menerima tugas guru sebagai sebuah tugas pelestarian, telah bertentangan dengan sebuah prinsip dasar profesionalisme di dalam pendidikan. Pendidikan adalah perubahan (walaupun perubahan tidak mesti berarti pendidikan). Lalu apa yang bisa kita lakukan agar profesionalisasi guru ini dapat terwujud?
Peralihan paradigma dari yang terlalu berorientasi ke masa lalu ke paradigma yang berorientasi ke masa depan. Guru dengan karakteristik profesional yang demikian, akan mengajar dengan lebih banyak menggunakan bahasa harapan masa depan, dan bukan bahasa nostalgia masa lalu.
Peralihan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Guru dengan orientasi profesio-nal demikian, akan merangsang anak di- diknya untuk mencari jawaban, untuk meneliti masalah, dan mengembangkan sendiri berbagai informasi baru. Dia tidak secara dogmatis atau indoktriner memaksakan informasi usang yang sudah tidak berharga apa-apa di dalam kehidupan anak didik.
Peralihan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis, guru dengan tingkat profesionalisme yang tinggi antara lain, adalah guru yang mampu menghidupkan alam dan kehidupan demokrasi di dalam situasi mengajar dan belajar sebagai sebuah cara hidup. Tanpa kewaspadaan guru, sangat mudah proses itu menjadi feodalistik dan paternalistik. Guru adalah lambang democracy in action, bukan democracy in words.
Peralihan paradigma pendidikan yang terpusat di satu tangan ke seragam, menjadi paradigma pendidikan yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan anak didik. Di sini, guru bertanggung jawab, lebih masalah sebelumnya, sebagai pengelola proses belajar dan mengajar. Profesionalisme guru yang tinggi, akan menciptakan kemandirian lembaga.
Peralihan paradigma tersebut pasti memakan waktu; jauh lebih mudah membicarakan dari pada merealisasikannya. Sektor pendidikan kita tergolong sebagai sektor yang sangat tidak peka pada tuntutan perubahan. Tetapi, sebagai bagian reformasi, kita tidak dapat menangguhkan terjadinya proses itu berlama-lama karena sudah terdapat banyak petunjuk bahwa salah satu sebab utama keterbelakangan kita di dunia pendidikan sekarang adalah karena pendidikan dikembangkan de-ngan "profesionalisme" yang berdasarkan pa-radigma yang salah. Guru-guru yang diharapkan dari semula lahir sebagai guru dengan paradigma yang benar, perlu dipersiapkan sedini mungkin melalui lembaga atau sistem pendidikan guru, yang memang juga bersifat profesional.

C. SOSOK IDEAL GURU PENDIDIKAN JASMANI YANG PROFESIONAL

Pendidikan jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum. Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang.
Sumbangan nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor). Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan keterampilan. Ada tiga hal penting yang bisa menjadi sumbangan unik dari pendidikan jasmani, yaitu:
1. meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan siswa,
2. meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta
3. meningkatkan pengertian siswa dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.
Adakah pelajaran lain (seperti bahasa, matematika, atau IPS) yang bisa menyumbang kemampuan-kemampuan seperti di atas?

Secara umum, manfaat pendidikan jasmani di sekolah mencakup sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan anak akan gerak
Pendidikan jasmani memang merupakan dunia anak-anak dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Di dalamnya anak-anak dapat belajar sambil bergembira melalui penyaluran hasratnya untuk bergerak. Semakin terpenuhi kebutuhan akan gerak dalam masa-masa pertumbuhannya, kian besar kemaslahatannya bagi kualitas pertumbuhan itu sendiri.
2. Mengenalkan anak pada lingkungan dan potensi dirinya
Pendidikan jasmani adalah waktu untuk ‘berbuat’. Anak-anak akan lebih memilih untuk ‘berbuat’ sesuatu dari pada hanya harus melihat atau mendengarkan orang lain ketika mereka sedang belajar. Suasana kebebasan yang ditawarkan di lapangan atau gedung olahraga sirna karena sekian lama terkurung di antara batas-batas ruang kelas. Keadaan ini benar-benar tidak sesuai dengan dorongan nalurinya.
Dengan bermain dan bergerak anak benar-benar belajar tentang potensinya dan dalam kegiatan ini anak-anak mencoba mengenali lingkungan sekitarnya. Para ahli sepaham bahwa pengalaman ini penting untuk merangsang pertumbuhan intelektual dan hubungan sosialnya dan bahkan perkembangan harga diri yang menjadi dasar kepribadiannya kelak.
3. Menanamkan dasar-dasar keterampilan yang berguna
Peranan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar cukup unik, karena turut mengembangkan dasar-dasar keterampilan yang diperlukan anak untuk menguasai berbagai keterampilan dalam kehidupan di kemudian hari. Menurut para ahli, pola pertumbuhan anak usia sekolah hingga menjelang akil balig atau remaja disebut pola pertumbuhan lambat. Pola ini merupakan kebalikan dari pola pertumbuhan cepat yang dialami anak ketika mereka baru lahir hingga usia 5 tahunan.
4. Menyalurkan energi yang berlebihan
Anak adalah mahluk yang sedang berada dalam masa kelebihan energi. Kelebihan energi ini perlu disalurkan agar tidak menganggu keseimbangan perilaku dan mental anak. Segera setelah kelebihan energi tersalurkan, anak akan memperoleh kembali keseimbangan dirinya, karena setelah istirahat, anak akan kembali memperbaharui dan memulihkan energinya secara optimum.
5. Merupakan proses pendidikan secara serempak baik fisik, mental maupun emosional
Pendidikan jasmani yang benar akan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap pendidikan anak secara keseluruhan. Hasil nyata yang diperoleh dari pendidikan jasmani adalah perkembangan yang lengkap, meliputi aspek fisik, mental, emosi, sosial dan moral. Tidak salah jika para ahli percaya bahwa pendidikan jasmani merupakan wahana yang paling tepat untuk “membentuk manusia seutuhnya”.
Secara sederhana, pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk:
Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas jasmani, perkembangan estetika, dan perkembangan sosial.
Mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk menguasai keterampilan gerak dasar yang akan mendorong partisipasinya dalam aneka aktivitas jasmani.
Memperoleh dan mempertahankan derajat kebugaran jasmani yang optimal untuk melaksanakan tugas sehari-hari secara efisien dan terkendali.
Mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui partisipasi dalam aktivitas jasmani baik secara kelompok maupun perorangan.
Berpartisipasi dalam aktivitas jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang.
Menikmati kesenangan dan keriangan melalui aktivitas jasmani, termasuk permainan olahraga.
Berdasarkan uraian diatas lalu bagaimanakah sosok guru pendidikan yang profesional yang mampu mencapai semua tujuan pendidikan jasmani yang telah ditetapkan? Tentunya guru pendidikan jasmani tersebut adalah seseorang yang telah melewati sebuah proses pendidikan melalui suatu lembaga pendidikan yang profesional pula sehingga tercapai kompetensi yang diharapkan, serta layak dan mampu untuk mengajar. Kompetensi tersebut antara lain:
1. Pengetahuan disiplin keilmuan
1.1. Pengetahuan tentang dimensi filosofis pendidikan jasmani termasuk etika sebagai aturan dan profesi
1.2. Pengetahuan tentang perspektif sejarah pendidikan jasmani
1.3. Pengetahuan tentang anatomi manusia, secara struktur dan fungsinya.
1.4. Pengetahuan tentang aspek kinesiologi dan kinerja fisik manusia
1.5. Pengetahuan fisiologi manusia dan efek dari kinerja latihan.
1.6. Pengetahuan aspek psikologi pada kinerja manusia, termasuk motivasi dan tujuan, kecemasan dan stress, dan persepsi diri.
1.7. Pengetahuan pada aspek sosiologi dalam kinerja diri, termasuk dinamika sosial; etika dan perilaku moral, dan budaya, suku, dan perbedaan jenis kelamin.
1.8. Pengetahuan pada perkembangan gerak, termasuk pematangan dan gerak dasar.
1.9. Pengetahuan tentang belajar gerak, termasuk keterampilan dasar dan kompleks dan hubungan timbal balik di antara domain kognitif, afektif dan psikomotorik.

Pengetahuan dan keterampilan professional
Komponen ini meliputi aspek humanistik dan tingkah laku tentang pendidikan profesi. Penekanan pada suatu hakikat profesi; hakikat pada mengajar pendidikan jasmani. komitmen terhadap keahlian , penelitian dan pelayanan: konteks individual dan budaya untuk belajar dan mengajar gerak manusia. Mempersiapkan lulusan program guru pendidikan jasmani yang akan mununjukkan kompetensinya yaitu:
2.1. Pengetahuan tentang aturan suatu profesi dan hakikat pendidikan jasmani sebagai suatu profesi
2.2. Pengetahuan tentang dampak pendidikan jasmani pada individu dan masyarakat (termasuk orang-orang dengan kebutuhan khusus), berkaitan dengan kualitas hidup, secara individu dan global.
2.3. Pengetahuan tentang peranan pendidikan jasmani di sekolah, termasuk perspektif sejarah dan kekuatan sosial politik
2.4. Pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan filosofis pribadi pada pendidikan jasmani.
2.5. Pengetahuan dan keterampilan untuk mendukung keahlian penelitian (pelanggan dan penelitian), dan pelanggan (bantuan pelanggan, bantuan program, penjelasan kepada sekolah, komunitas, pelayanan kepada profesi.
2.6. Pengetahuan pada aspek budaya pada aktivitas fisik dan olahraga
2.7. Pengetahuan dan keterampilan dalam merancang secara lengkap (komprehensif), kurikulum yang berkembang secara memadai, pada berbagai populasi (termasuk populasi dengan kebutuhan khusus), berdasarkan pada teori kurikulum dan mata pelajaran pendidikan jasmani
2.8. Pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan aspek-aspek pengembangan program pendidikan jasmani (penambahan kedalam kurikulum), termasuk pemeliharaan dan tempat penyimpanannya peralatan.
Pengetahuan dan keterampilan kependidikan
Komponen ini termasuk belajar dan mengajar penerapan teori dan aplikasi professional dari batang tubuh pengetahuan. Penekanan pada perancangan kurikulum, evaluasi belajar dan evaluasi program. Mempersiapkan lulusan program guru pendidikan jasmani yang akan menunjukkan kompetensi (termasuk pengalaman laboratorium dan klinis) dalam:
3.1. Pengetahuan tentang teori belajar pendidikan
3.2. Pengetahuan dan aplikasi teori mengajar efektif
3.3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menerjemahkan kurikulum kedalam kegiatan pembelajaran.
3.4. Pengetahuan dan keterampilan dalam merancang satuan yang sistematik dan pelajaran yang berangkai (termasuk belajar berangkai)
3.5. Pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis gerakan, penilaian kinerja motorik, dan penilaian proses pembelajaran.
3.6 Pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan kelas.
Elemen-elemen pengetahuan yang perlu ada pada seseorang guru untuk melaksanakan pengajarannya menurut Shulman (1987)ialah
a. Ilmu konten (content knowledge) yaitu pengetahuan tentang kandungan subjek bidang yang hendak di ajarkan.
b. Ilmu pedagogi am (general pedagogical knowledge) merujuk kepada pengetahuan tentang kaedah mengajar yang melibatkan semua mata pelajaran dan dalam pelbagai situasi.
c. Ilmu konten pedagogi (pedagogical content knowledge) bermaksud pengetahuan tentang bagaimana cara mengajar sesuatu kandungan atau topik pelajaran kepada sekumpulan murid tertentu dalam konten yang spesifik.
d. Pengetahuan tentang kurikulum (curriculum knowledge) adalah pengetahuan tentang perkembangan kurikulum yang sesuai dan program-program bagi setiap jenjang pencapaian murid.
e. Pengetahuan tentang konteks Pendidikan (knowledge of educational contexs) bermaksud pengetahuan tentang impak dalam konteks mengajar.
f. Pengetahuan terhadap murid dan ciri-ciri murid (knowledge of learners and their characteristics) merujuk kepada pengetahuan tentang pembelajaran seseorang murid yang diaplikasikan dalam mengajar
g. Pengetahuan tentang tujuan pendidikan (knowledge of educational goals) ialah pengetahuan tentang matlamat, tujuan dan struktur sistem pendidikan.
Tentunya dibutuhkan sebuah lembaga profesional yang mampu menciptakan guru-guru pendidikan jasmani yang memiliki standar kompetensi seperti yang telah diuraikan diatas, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pendidik yang profesional yang pada akhirnya akan mewujudkan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya tujuan pendidikan secara keseluruhan.



D. PENUTUP

Akhirnya, kembali kepada persoalan pokok, kita dapat berkesimpulan bahwa memang ternyata begitu banyak yang harus diperhitungkan, baru untuk memulai sebuah proses profesionalisasi tenaga-tenaga kependidikan. Sekarang, pilihan terletak di tangan kita masing-masing. Kalau kita mau mudah saja, dan kalau kita anggap cukup untuk sekedar membuat sebuah perumusan profesionalisasi pendidikan yang dapat berlaku di segala zaman, maka tentu itu pun dapat kita lakukan.
Tetapi kalau itu yang kita lakukan, kita sudah mulai dari awal bertindak anti profesional. Tidak ada sikap dan tindakan anti profesionalisme yang dapat membangun profesionalisme. Paling-paling, kita akan menjadi `profesional' di dalam bertindak anti profesional. Kita tidak menghendaki itu bukan?
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan, dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Memang harus disadari bahwa kondisi guru seperti yang tercermin pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama. Kondisi itulah yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malahan untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu (yang tidak ada manfaatnya sama sekali). Dari itu semua yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu sekaligus pula jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar tak mungkin kerasan dan bangga jadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro Poedjinoegroho. 2006. Guru Profesional, Adakah? www.ditplb.or.id/2006/profil.php?id=66 diakses tanggal 1 maret 2007

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri. No 23 tahun 2006

Universitas Negeri Yogyakarta.2007.Panduan Pengajaran Mikro. Yogyakarta: UPPL UNY

Winarno Surakhmad.2006. Profesionalisme Dunia Pendidikan. http://ppp.upsi.edu.my/ewacana/teras%20pengetahuan.htm diakses tanggal 1 maret 2007

Jumat, 06 Maret 2009

Usaha Perbaikan Kualitas Guru dengan Mengoptimalkan Kompetensi Profesional dan Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Guru menjadi faktor utama dalam penciptaan suasana pembelajaran. Kompetensi guru dituntut dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Studi tentang pendidikan guru di akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 menunjukkan fenomena yang semakin kuat menempatkan guru sebagai suatu profesi. Kondisi nyata kini memandang bahwa guru sebagai sebuah profesi, bukan lagi dianggap sebagai suatu pekerjaan (vokasional) biasa yang memerlukan pendidikan tertentu Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Mutu pendidikan ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu menyangkut input, proses, dukungan lingkungan, sarana dan prasarana. Penjabaran lebih lanjut mengenai faktor-faktor tersebut bahwa input berkaitan dengan kondisi peserta didik (minat, bakat, potensi, motivasi, sikap), proses berkaitan erat dengan penciptaan suasana pembelajaran, yang dalam hal ini lebih banyak ditekankan pada kreativitas pengajar (guru), dukungan lingkungan berkaitan dengan suasana atau situasi dan kondisi yang mendukung terhadap proses pembelajaran seperti lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, sedangkan sarana dan prasarana adalah perangkat yang dapat memfasilitasi aktivitas pembelajaran, seperti gedung, alat-alat laboratorium, komputer dan sebagainya. Berkaitan dengan faktor proses, guru menjadi faktor utama dalam penciptaan suasana pembelajaran.
Sudah banyak usaha-usaha yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya kualitas guru ,kesejahteraan dan pendidikan guru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun patut disayangkan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas guru, kesejahteraan dan pendidikan guru tersebut dilaksanakan berdasarkan pandangan dari "luar kalangan guru ataupun luar pendidikan guru". Terlalu banyak kebijaksanaan di bidang pendidikan yang bersifat teknis diambil dengan sama sekali tidak mendengarkan suara guru. Pengambilan keputusan yang menyangkut guru di atas seakan-akan melecehkan guru sebagai seseorang yang memiliki "kepribadian".


B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah bertujuan agar para guru meningkatkan kualitasnya dalam mengajar agar anak didik juga mendapat pendidikan yang lebih baik. Untuk itu diperlukan dukungan Pemerintah dalam upaya perbaikan ini baik dari sisi spiritual maupun materiil. Makalah ini juga memberikan gambaran tentang kondisi guru saat ini di Indonesia dan juga prospek guru di masa depan.

C. Rumusan Masalah
Makalah yang berjudul ” Usaha Perbaikan Kualitas Guru dengan Mengoptimalkan Kompetensi Profesional dan Sosial ” mengambil beberapa masalah untuk dibahas, diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan kualitas guru ?
2. Apa saja yang mencakup kompetensi guru ?
3. Apa saja kriteria dari guru yang berkualitas ?
4. Apa saja kendala para guru dalam meningkatkan kualitasnya dalam mengajar ?
5. Bagaimana upaya Pemerintah dalam memperbaiki kualitas guru khususnya guru Geografi ?
6. Sejauh mana usaha Pemerintah dalam mengatasi kendala perbaikan kualitas guru ?
7. Bagaimana kaitan antara usaha memperbaiki kulitas guru dengan mengoptimalkan tercapainya kompetensi profesionalismedan sosial guru?




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kualitas Guru
Kualitas guru adalah kemampuan yang dimiliki seorang guru untuk diberikan pada anak didiknya. Ada tiga kegiatan penting yang diperlukan oleh guru untuk bisa meningkatkan kualitasnya sehingga bisa terus menanjak pangkatnya sampai jenjang kepangkatan tertinggi. Pertama para guru harus memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi pelajaran dan berinteraksi dengan peserta didik. Tukar pikiran tersebut bisa dilaksanakan dalam perternuan guru sejenis di sanggar kerja guru, ataupun dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan hal itu. Kegiatan ilmiah ini hendaknya selalu mengangkat topik pembicaraan yang bersifat aplikatif. Artinya, hasil pertemuan bisa digunakan secara langsung untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Hanya perlu dicatat, dalam kegiatan ilmiah semacam itu hendaknya faktor-faktor yang bersifat struktural administrative harus disingkirkan jauh-jauh. Misalnya, tidak perlu yang memimpin pertemuan harus kepala sekolah.
Kedua, akan lebih baik kalau apa yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah yang dihadiri para guru adalah merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para guru sendiri. Dengan demikian guru harus melakukan penelitian. Untuk ini perlulah anggapan sementara ini bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh para akademisi yang bekerja di perguruan tinggi atau oleh para peneliti di lembaga-lembaga penelitian harus dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu diyakini pada semua fihak bahwa hasil-hasil penelitian-penelitian tentang apa yang terjadi di kelas dan di sekolah yang dilakukan oleh para guru adalah sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab para gurulah yang nyata-nyata memahami dan manghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di kelas.
Ketiga, guru harus membiasakan diri untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan, khususnya lewat media cetak. Untuk itu tidak ada alternatif lain bagi guru meningkatkan kemampuan dalam menulis laporan penelitian.

B. Pengertian Kompetensi Guru
Kompetensi pendidik merupakan pilar penting dalam menopang pencapaian mutu pendidikan secara menyeluruh. Kompetensi merupakan seperangkat kemampuan yang harus dimiliki guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah (kurikulum), tuntutan masyarakat, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kompetensi dimaksud meliputi kompetensi Keterampilan proses dan penguasaan pengetahuan.
-Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus digugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya: (1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya; (2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama; (3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat; (4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya sopan santun dan tata karma dan; (5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
- Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting. Oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi sebagai berikut: (1) kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, institusional, kurikuler dan tujuan pembelajaran; (2) pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar; (3) kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya; (4) kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (5) kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (6) kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (7) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (8) kemampuan dalam melaksanakan unsur penunjang, misalnya administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan dan; (9) kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
- Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan dan; (3) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok Di era yang serba canggih ini guru dituntut untuk selalu berkembang dalam hal wawasan serta kemampuannya dalam proses belajar mengajar. Wawasan seorang guru diharapkan mampu menyokong kegiatannya dalam proses belajar mengajar, selain itu wawasan yang luas membuat guru memiliki cara pandang yang maju dalm menilai berbagi hal.
C. Upaya Peningkatan Kualitas Kompetensi dan Sosial Guru
Jalan yang dapat dilakukana untuk meningkatkan Profesionalisme guru antara lain:
1.Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diriny dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
2.Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
3.Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya.
E.Upaya Pemerintah dalam Peningkatan Kualitas Guru
Guru sebagai pilar negara berupaya meningkatkan kualitas guru dengan cara sebagai berikut:
1. Standardisasi Kompetensi Guru
Standardisasi Kompetensi Guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional Guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Persyaratan dimaksud adalah penguasaan proses belajar mengajar dan penguasaan pengetahuan. jabatan Fungsional Guru adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seseorang guru yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
2. Undang-undang Guru dan Dosen
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-undang guru dan dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatakan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru untuk memiliki kualifikasi strata 1 atau D4 dan memiliki sertifikasi profesi. Dengan sertifikat profesi ini guru berhak mendapatkan tunjangan 1 bulan gaji pokok guru.
F. Kendala Yang Dihadapi Guru Saat Ini
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut.
1. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.
2. Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.
3. Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.
4. Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
5. Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar. Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.
F. Kaitan Antara Usaha Usaha Perbaikan Kualitas Guru Geografi Dengan Peningkatan Prefosionalisme dan Sosial Guru
Guru akan semakin terdorong untuk meningkatkan kerjanya dalam mengajar siswa bila kebutuhan sosialnya dapat terpenuhi dengan baik. Contohnya seorang guru yang kehidupanya berkecukupan atau bahkan kelebihan uang akan menyisihkan sebagian uangnya untuk mengikuti seminar, diklat, atau study banding. Dalam acara-acara tersebut guru dapat diberikan pelatihan maupun pelatihan maupun pengetahuan, sehingga secara tidak langsung profesionalisme guru pun bertambah. Makin professional seorang guru maka makin berkualitas pula guru tersebut . Hal ini terlihat guru sedang mengajar dikelas. Ketika buku bahan ajar tertinggal di rumah, tidak menjadi masalah karena guru tersebut msih bisa menerangkan materi yang telah ia kuasai.
Di Indonesia, Profesional dan sosial guru masih diragukan oleh Negara lain di dunia selain di Indonesia tergolong Negara terbelakang dan miskin, kualitas SDM pun belum tergali secara optimal. Untuk itulah pemerintah berupaya meningkatkan kualitas guru, salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan profesionalisme dan sosial guru.

Selasa, 03 Maret 2009

CPNS Coy.......!

Akhir tahun lalu, aku mendapat berkah, Alhamdullilah aku diterima seleksi CPNS.
Wah cita-cita jadi guru negeri tercapai juga.
Makin bersyukur, pas pemberkasan kemarin, kayaknya aku jadi CPNS termuda deh, baru 22 tahun (kecuali yang D2, emang ada yang lebih muda, tapi yang S1 sih kayaknya aku paling muda, hahahaha).
Sesuai kata dosen pembimbing skripsiku, pak caly setiawan: "A big step start from a small one. Menjadi guru bukan berarti akhir dari perjalanan karier."
Ya iyalah, aku masih memiliki ambisi yang besar, masih banyak yang harus kuperjuangkan.
Aku yakin aku bisa memiliki kontribusi yang besar dari posisiku sebagai guru, ada banyak yang harus dibenahi dari pendidikan jasmani di Indonesia.

Sebelum tes CPNS kemarin aku sempet ikut tes dosen UNY.
Gagal di tes wawancara padahal tinggal 7 orang.
Wah aku sedih banget,
Pas aku curhat ma seorang guru honorer di skul yang kuajar dulu, dia bilang : "Santai aja mas Willy, kegagalan pertama emang sakit, tapi kalo udah sering gagal kayak saya ini, nanti lama-lama juga udah biasa".
Loh......?
Gagal kok biasa?
Ternyata banyak juga orang yang bisa beradaptasi dengan kegagalan.
Wah menurutku ini penyakit paling kronis orang Indonesia. Banyak orang Indonesia yang kurang spirit, menganggap kegagalan adalah takdir absolut. Gak bisa diganggu gugat.

Menurutku kegagalan bukanlah sesuatu yang harus dimaklumi.
Kegagalan bukanlah sukses yang tertunda.
Kegagalan adalah kekurangan kita.
kebodohan kita.
Nah tugas kitalah untuk memperbaikinya, bukan malah nglokro.

Hey, betapa pentingnya spirit! Betapa pentingnya motivasi, tanpa motivasi seakan akan ilmu yang kita miliki tidak berguna. Begitu kesadaran dan motivasi muncul, semangat juang spontan terbakar siap menghadapi segala kesulitan dan tantangan apapun yang menghadang!Tidak mundur karena kegagalan sesaat, pantang putus asa sebelum berhasil. Jika manusia telah menemukan arti motivasi dan tau apa yang menjadi kekuatannya, maka hasil sukses luar biasa selalu dapat tercipta!
kelebihan diri +motivasi = dahsyat man......!

Ah aku kok sekarang jadi sok pinter,
udah mbakat jadi guru nie, hahahahaha

Btw untuk siswa-siswaku :

"Hey, I'm Coming..........!"