Rabu, 29 April 2009

SK CPNS TURUN

“ Le wis moco kr saiki urg,sg tok arp2 ono britane”

Sebuah sms singkat dari mas afnan di pagi itu, ternyata membawa pesan yang begitu penting, mungkin salah satu peristiwa terbesar dalam hidupku.
Alhamdulilah, akhirnya SK CPNS ku turun.

Dan hari yang ditungu-tunggu itupun datang, Rabu 29 April 2009
Di bangsal sewoko projo kabupaten Gunungkidul, akhirnya aku resmi menjadi seorang CPNS pada usia 22 tahun 334 hari.
Terimakasih ya Allah atas nikmat yang kau berikan.

Ini adalah sebuah awal, bukan akhir,
aku kan berusaha mengabdi dengan segala kemampuan terbaikku.

Alhamdulilah akhirnya aku resmi menjadi:

Wilian Dalton, S. Pd. Jas.
NIP. 19860530 200903 1 002
III A / Penata Muda

Senin, 30 Maret 2009

Memilih Presiden Lewat Tes

Banyak orang menganggap sistem demokrasi adalah konsep yang paling sempurna dalam pemerintahan suatu negara. Tapi kok saya nggak setuju ya. Setidaknya bukan hanya saya yang bilang begitu. Winston Churchill, misalnya, terus terang mengakui bahwa sesungguhnya, demokrasi bukan sistem politik yang terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang dianggap lebih baik. Hal tersebut menandakan bahwa demokrasi bisa menjadi pedang bermata dua, mata yang satu mendorong kemajuan dan percepatan kesejahteraan, mata yang lain sebaliknya. Semua tergantung banyak faktor, bagaimana dinamika aktor-aktornya, varian demokrasi yang diambil, kultur politik, hingga hal-hal yang lebih spesifik lagi, misalnya tingkat income per kapita.

Coba kita cek:

Sistem demokrasi tidaklah menjanjikan orang terbaik yang menjadi pemimpin! Orang yang paling banyak pendukungnya lah yang akan menang. Tak peduli kualitas orang tersebut.

Di sisi lain, seberapapun hebatnya seseorang, namun jika orang tersebut tidak terkenal atau tidak punya pendukung, ya tidak mungkin dia menang.

Nah inilah masalah besar yang kita hadapi dalam musim kampanye seperti ini. Kita sangat kesulitan untuk tau mana caleg atau capres terbaik. Lha wong kenal aja enggak. So sesuatu yang sangat mungkin terjadi adalah; sesorang yang secara intelektual mungkin dia lemah, tapi karena dia terkenal (artis misalnya) dia pun menang pemilu. Wah bisa berabe nie.

Lalu bagaimana solusinya?

Saya sering berfikir, bagaimana kalau presiden itu dipilih tidak melalui pemilu, tapi lewat tes saja. Seperti CPNS gitu, hahahahahahaha

Jadi semua orang dinegeri ini yang pengen jadi presiden, boleh ndaftar tes. Ntar yang meraih skor tertinggi dialah yang jadi presiden kita.

Tentu saja sebelumnya kita harus menciptakan instrumen tes terbaik yang bisa mengukur seluruh aspek yang dibutuhkan untuk menjadi memimpin. Tes ini haruslah di ciptakan oleh ahli-ahli tes dan pengukuran terbaik dari seluruh negeri.

Setelah instrumen tes tercipta, maka tes ini harus dikawal secara ketat sehingga hasilnya bisa se obyektif mungkin. Tak ada main curang, main sogok, sabotase, dan lain sebagainya.

Tapi masalahnya, bisa gak ahli-ahli tes dan pengukuran itu menciptakan instrumen yang bisa mengukur kemampuan seseorang secara menyeluruh?

Nah kalau belum bisa, kayaknya demokrasi masih jadi pilihan terbaik untuk saat ini deh, hahahahahahahahaha.

Kamis, 26 Maret 2009

Budaya Jawa dan Kekerasan Sepak Bola

Filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, pernah bilang, dalam sepak bola semuanya jadi rumit karena hadirnya pemain lawan. Dalam konteks kita, sepak bola makin bertambah rumit karena hadirnya suporter tim yang bertanding sehingga melahirkan lelucon betapa Indonesia pantas disebut sebagai negara sarang teroris.
Buktinya, mereka legal berkumpul di stadion-stadion, juga leluasa melakukan aksi teror ketika tim yang ia dukung kalah. Aksi teror dan kerusuhan suporter di Jawa Tengah meledak lagi (12/3) di Jepara. Sebagai suporter dan football flaneur, istilah Baudelaire (1821-1867) untuk turis bola yang gemar menjelajah kota untuk nonton sepak bola (di Pulau Jawa sampai Singapura), saya pribadi kenyang menemui aksi-aksi brutal suporter sepak bola Indonesia. Tetapi, hal buruk tersebut senyatanya tak hanya meledak di masa kini.
Adalah Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, secara tajam mengungkap borok tindak kekerasan dunia suporter sepak bola Indonesia sejak zaman kolonial hingga kini. Dalam tulisannya View from the Periphery: Football in Indonesia, ia memakai pisau bedah dari perspektif budaya dan politik dalam analisis yang provokatif.
Ditilik dari kajian budaya, menurutnya, tidak dapat diingkari bahwa Indonesia kuat dipengaruhi budaya suku mayoritas, suku Jawa. Budaya Jawa memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum. Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku, dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame, dan mediasi oleh pihak ketiga. Apabila meletus konflik, terutama ketika saling ejek dan saling hina terjadi, maka yang muncul adalah perasaan malu dan kehilangan muka.
Dengan landasan sikap interaksi antarmanusia tipikal seperti itu, membuat pertandingan sepak bola menjadi problematis. Sebab, sepak bola adalah konflik eksplisit di mana seseorang sangat mudah untuk merasa dihinakan. Adanya tackle keras, trik licin mengecoh lawan, sampai keputusan wasit yang mudah ditafsirkan secara beragam, jelas membuat penghindaran menjadi hal mustahil. Apalagi ketegangan itu diperburuk oleh fakta bahwa tindak penghinaan tersebut tidak hanya berlangsung di muka umum, tetapi nyata-nyata di depan ribuan pasang mata. Reaksi tipikal orang Jawa ketika di bawah tekanan semacam itu adalah ledakan kemarahan dan amuk tindak kekerasan. Kalah dan amuk
Tesis di atas dapat dinilai parsial dan hipotetis. Itu karena, argumen yang sama kurang meyakinkan bila diterapkan untuk kelompok etnis Indonesia lainnya, yang juga memunculkan tindak kekerasan serupa dalam teater sepak bola. Idealnya kemudian, penjelasan secara kultural tadi direntang dengan menggambarkan kesejajaran secara spekulatif antara sepak bola dengan budaya politik sehingga mencakup pemain dan suporter dari semua latar belakang etnis di Indonesia.
Dalam budaya demokrasi, kalah-menang secara fair play merupakan bagian sah suatu kompetisi. Di pentas Piala Dunia 2002 kita diberi keteladanan ketika tuan rumah Korea Selatan atau Jepang mengalami kekalahan ternyata tidak terjadi kerusuhan sama sekali. Hal sebaliknya justru meletus kerusuhan di Moskwa ketika Rusia dikalahkan oleh Hidetoshi Nakata dan kawan-kawan.
Sementara itu, di pentas sepak bola Indonesia kerusuhan masih mudah meruyak ketika suatu tim mengalami kekalahan. Realitas ini menegaskan betapa dalam masyarakat non-madani, ide mengenai kompetisi yang selalu melibatkan konflik belum berurat dan berakar. Bahkan perilaku menjunjung tinggi sportivitas dipandang sebagai hal bodoh. Teater sepak bola Indonesia kaya dengan contoh pelecehan terhadap sportivitas olahraga.
Misalnya dalam pertandingan terakhir putaran kedua Kompetisi Perserikatan PSSI Wilayah Timur 1988, tuan rumah Persebaya digulung Persipura dengan skor fantastis, 0- 12. Persipura dengan kemenangan itu berarti menyisihkan peluang PSIS Semarang sebagai juara bertahan 1986/1987 untuk berlaga ke Senayan. Tetapi, kemenangan fantastis itu, semua publik sepak bola mengetahuinya, merupakan kemenangan yang tidak wajar, diatur para eksekutif kedua tim perserikatan tersebut.
Dalam perempat-final Piala Tiger 1998 di Hanoi, Vietnam, terjadi peristiwa aib yang melibatkan tim nasional Indonesia. Peristiwa hitam itu terjadi ketika tim yang bertanding, baik tim Thailand maupun Indonesia, sama-sama tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu sportivitas. Kedua tim berusaha mati- matian agar memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya agar terhindar bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal. Saat skor 2- 2 pada perpanjangan waktu, pemain Indonesia Mursyid Effendi menembak ke gawang timnya sendiri. Kiper Indonesia tidak berusaha menepis. Justru banyak pemain Thailand berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar tidak kebobolan.
Semua ilustrasi menyedihkan itu menunjukkan semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia. Berdasar pendapat banyak ahli, memang itulah cermin sejati bangsa Indonesia yang lebih condong sebagai sosok masyarakat non-madani ketimbang masyarakat yang demokratis. Kalau terus seperti ini, kapan Indonesia bisa masuk Piala Dunia? Antonio Gramsci pernah bilang, sepak bola merupakan model masyarakat individualistik yang membutuhkan prakarsa, kompetisi, dan konflik. Tetapi, segalanya diatur oleh peraturan tidak tertulis yaitu hukum fair play.
Mari kita introspeksi diri. Apakah masyarakat kita selama ini telah kondusif untuk mekarnya segala prakarsa, berbudaya sehat dalam berkompetisi, arif menyelesaikan beragam konflik, sekaligus patuh terhadap segala peraturan tertulis dan tidak tertulis secara konsekuen? Selama kita belum mengalami perubahan budaya seperti disyaratkan Gramsci, jangan harap prestasi sepak bola kita bisa ikut berbicara di pentas dunia. Hari-hari mati prestasi sepak bola Indonesia masih teramat panjang sekali. Dan, kerusuhan antarsuporter seperti yang meledak di Jepara itu pasti masih terus terulang dan terulang kembali!

BAMBANG HARYANTO
Blogger dan pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli, tinggal di Wonogiri Jawa Tengah

Rabu, 25 Maret 2009

Melawan Arus

Secara umum, manusia selalu menganggap benar sesuatu yang dianggap benar oleh banyak orang. Padahal kan nggak selalu begitu ya. Kadang hal yang dianggap banyak orang benar itu malah keliru.Tapi seringkali kita nggak bisa untuk melawan pendapat banyak orang. Akibatnya, banyak orang kemudian terpaksa untuk mengikuti mainstream yang ada lingkungan sosialnya. Contoh kontritnya adalah fashion. Seorang pecinta fashion mengatakan: “kami tetap konsisten untuk berpenampilan dengan jaket-jaket Wrangler dan Levi’s, Harrigton, celana bretel, T-shirt, skinners, celana paralel, union shirt yang populer pada waktu ini.” 
Pertanyaannya adalah: “Apakah mereka berpakaian seperti itu, karena mereka anggap pakaian itu bagus atau karena orang lain juga berpakain seperti itu?” 

Inilah masalahnya. Sering kan kita pakai baju yang gak nyaman. Tapi gara-gara banyak orang bilang "Ni celana ketat baru tren". Terpaksa deh kita pakai celana ketat, biar dibilang keren. Situasi seperti inilah yang selalu kita hadapi dalam kehidupan. Kita harus selalu mengalami proses internalisasi terhadap kenyataan-kenyataan obyektif, yang bisa jadi kenyataan obyektif itu salah.

Hey, pernyataan subyektif juga gak selalu salah kan?.

Seringkali pula kita terjebak dalam pemikiran yang apriori. Sebuah pemikiran adalah "a priori" ketika kita menganggapnya benar dan menerimanya bahkan sekalipun tak tersedia informasi yang membenarkannya

Contohnya, 
umpanya kita udah ngefans ma seorang tokoh gitu. Tokoh ini banyak pendukung gitu.
 Nah apapun pendapat dia pasti kita dukung. Gak peduli salah ato bener yang penting kita setuju.Inilah pemikiran apriori. Dan kita sering banget berfikir dengan pola seperti ini. Kita sudah merasa paling benar karena banyak (ada) yang berpendapat atau berperilaku seperti itu.

Apa sih salahnya membentuk gaya sendiri, gaya untuk melawan arus gitu. Atau istilah kerennya mendobrak Mainstream.  

Menerapkan strategi “melawan arus” berarti kita memancing suatu perbedaan dengan pandangan umum. Ketika orang lain memilih jalan yang umum, misalnya bekerja keras agar berhasil dalam bidang kerja yang digelutinya, terpetikkah di dalam benak kita untuk mengatakan, “bekerja lebih santai untuk sukses bukankah semakin asyik?” 

Intinya: Jangan puas dengan sesuatu yang biasa-biasa saja.

Kamis, 12 Maret 2009

MENUJU GURU PENDIDIKAN JASMANI YANG PROFESIONAL

Oleh:
Wilian Dalton

A. PENDAHULUAN

Apabila kita mengharapkan sebuah pekerjaan dilakukan dengan baik, apakah itu di rumah sakit, di pasar, di kantor, di kampus, atau di sekolah, kita pasti berbicara tentang perlunya perilaku yang profesional. Di dalam arti kata itu terkandung makna bahwa perilaku itu didasarkan atas pengertian yang benar mengenai hal yang harus dilaksanakan, dan pengertian itu dilengkapi dengan kemahiran yang tinggi. Tindakan yang lahir dari gabungan kedua sifat itu, mencerminkan lebih kurang tingkat profesionalisme yang diharapkan dimiliki seseorang.
Apabila pengertian ini kita terapkan di dalam kehidupan secara luas, maka di semua segi kehidupan diperlukan profesionalisme, walaupun kita belum terbiasa mendengar apa arti suami profesional, misalnya. Rupa-rupanya aspek kemahiran yang tinggi itulah yang dimaksud apabila kita berbicara tentang pencopet profesional. Atau pelacur profesional. Bagaimana dengan petinju profesional? Apakah, apabila dia tergolong petinju amatir, ia tidak dapat atau tidak boleh bertinju secara profesional? Bagaimana dengan guru yang profesional? Apa beda guru profesional di Amerika dengan guru di Indonesia? Bagaimana profesionalisme guru di zaman Orde Baru dibandingkan dengan guru Orde Reformasi? Dalam kaitannya dengan pendidikan jasmani, bagaimana pula sosok ideal guru pendidikan jasmani yang profesional?
Guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesional. Tetapi sejauh mana ketentuan ini berlaku umum? Apakah sekolah guru menjamin lulusannya pasti adalah guru yang profesional? Banyak juga lulusan sekolah guru yang memberi kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan guru. Jadi realitas ini tidak sesuai dengan yang seharusnya berlaku. Bahkan, sesekali ada juga orang yang tidak merupakan lulusan sekolah guru, yang kemudian ternyata dapat menjadi guru. Apakah mereka itu berhak menyandang predikat guru profesional ?
Berita dari dunia pendidikan menggetarkan: pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.
Hal menarik, yang dikemukakan oleh Prof Nanang Fatah, yaitu bahwa pada uji kompetensi Matematika, dari 40 pertanyaan rata-rata hanya dua pertanyaan yang diisi dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidangnya (Kompas, 9/12/05). Berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? Memprihatinkan dan mengenaskan. Bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru menjadi profesional?
Menengok kasus diatas, lalu apakah sebaiknya kita tidak usah persyaratkan perlunya seseorang terlebih dahulu bersekolah guru sebelum dapat menjadi guru yang profesional? Bagaimana pula keadaannya apabila tuntutan untuk menjadi guru profesional adalah begitu kuat, tetapi lingkungan dan kondisi kerja sama sekali tidak mendukung? Ataukah kita menggunakan istilah guru profesional hanya dengan harapan agar guru masih mau bekerja mati-matian, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi tanpa segala-galanya! Di dalam kondisi yang setengah mati buruknya? Sunggguh tidak berperikemanusiaan untuk menuntut profesionalisme dari guru, kalau guru sebenarnya sudah tergolong kaum the have nots, di luar dan di dalam habitatnya sebagai guru.
Di kalangan kelompok-kelompok atau organisasi profesional, dokter, pengacara, dan sekarang juga guru, seringkali kita mengenal sebuah sifat lagi yang ditambahkan di dalam persyaratan profesi: kode etik. Kode etik dokter, misalnya, tidak membenarkan anggota-anggotanya menceritakan kian kemari penyakit atau penderitaan seorang pasien, kecuali di dalam hal tertentu yang dikehendaki oleh hukum. Seorang hakim tidak dibenarkan menerima suap dalam keadaan bagaimanapun, seperti juga seorang polisi, petugas penegak hukum. Guru juga begitu: banyak rambu-rambu yang diperkenalkan di dalam kode etik organisasi profesional, yang intinya adalah untuk memastikan agar setiap anggotanya menjunjung tinggi tugas yang diberikan ke- padanya, termasuk menyimpan rahasia jabatan. Tetapi kata orang, pelacuran pun mempunyai kode etik atau rahasia jabatan, yakni tidak mengambil langganan yang sudah menjadi `milik' pelacur lain, dan tidak membongkar identitas pelanggannya. Jadi profesionalisme yang bagaimana yang kita perlukan?

B. PROSES PROFESIONALISASI GURU

Profesionalisme bukanlah sebuah istilah baku. Juga bukan berharga mati. Pro- fesionalisme adalah konsep yang dinamis, berkembang sepanjang masa. Dengan itu kita harus mengerti bahwa adalah tidak mungkin untuk menetapkan standar profesi yang berlaku sepanjang masa, di dalam keadaan yang bagaimanapun. Persyaratan menjadi guru yang baik lima puluh tahun yang lalu, berbeda dari sekarang, dan ada alasan untuk meramalkan bahwa persyaratan itu akan berubah lagi lima puluh tahun dari sekarang. Tetapi janganlah berhitung dalam jarak lima puluh tahun. Terlalu lama. Di setiap saat, profesionalisme berlangsung terus, karena profesionalisme adalah suatu proses dengan ujung atau pucuk terbuka, yang selalu terjadi, dan yang terjadi terus menerus, tidak pernah benar-benar selesai. Artinya, apabila profesionalisasi berjalan terus sebagaimana seharusnya, maka yang kita peroleh adalah hasil yang semakin hari semakin baik, semakin hari semakin lebih profesional.
Tetapi kalau profesionalisasi adalah konsep yang begitu dinamis, bagaimana kita dapat mengamati atau menilai bahwa kita telah sampai pada tahap yang acceptable, dan yang sekaligus improvable? Inilah sisi lain lagi dari masalah profesionalisasi di bidang kependidikan. Profesionalisasi, sebagai sebuah proses, terjadi di dalam sebuah konteks yang riil, bukan di dalam ruang hampa.
Profesionalisasi berkaitan dengan apa yang kita percayai sebagai tujuan yang semestinya kita capai. Dengan serangkaian tujuan yang jelas, kita kemudian dapat mengidentifikasi berbagai indikator keberhasilan. Dan dengan itu akan lebih mudah kita memahami wujud profesionalisme yang dikehendaki. Tetapi profesionalisasi juga berkaitan dengan living realisties yang berpengaruh terhadap keberhasilan kita mendidik tenaga-tenaga profesional; sumber daya manusia, sarana, iklim politik, dan berbagai unsur di dalam ecosystem pendidikan yang harusnya diperhitungkan di dalam mencapai tujuan.
Tidak dapat dinaifkan bahwa memang tidak mudah merumuskan dan menggambarkan profil seorang guru profesional. Apakah mungkin karena itu, maka kita tidak dapat menemukan guru yang memenuhi syarat profesionalisme? Tidak. Bukan karena itu, masih banyak guru yang berhati guru dan berjiwa guru. Masih banyak guru yang hidup dan matinya diberikan kepada tugasnya mendidik anak bangsa. Masih banyak guru yang berpotensi profesional. Tetapi dunia sekeliling guru tidak memahami potensi itu. Dunia sekeliling guru masih terlalu banyak berwatak anti profesionalisme. Watak birokrasi misalnya, masih terlalu kental sebagai watak yang tidak menghormati _ karena tidak memahami _ hakikat profesionalisme.
Dalam arti yang sudah dikemukan yakni, sebagai sebuah proses kontekstual yang selalu menjadi (in the state of becoming) dan terus menjadi, profesionalisasi tidak hanya perlu, tetapi mutlak. Sebenarnya, hampir-hampir menjadi sebuah tautologi, kalau menjadi guru masih dipersyaratkan untuk menjadi profesional. Guru itu sudah sebuah profesi. Sebagai profesi, memang diperlukan berbagai syarat, dan syarat itu tidak sebegitu sukar dipahami, dan dipenuhi, kalau saja setiap orang guru memahami dengan benar apa yang harus dilakukan, mengapa ia harus me-lakukannya dan menyadari bagaimama ia dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya, kemudian ia melakukannya sesuai dengan pertimbangan yang terbaik. Dengan berbuat demikian, ia telah berada di dalam arus pro-ses untuk menjadi seorang profesional, yang menjadi semakin profesional.
Mengajar tugas utama guru adalah proses yang harus berdasarkan penerimaan prinsip perubahan; menerima perubahan yang terjadi di dalam diri anak, dan menerima perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Tanpa perubahan (luar) yang tampak dengan jelas pun, mengajar adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan. Oleh karena itu, mereka yang menerima tugas guru sebagai sebuah tugas pelestarian, telah bertentangan dengan sebuah prinsip dasar profesionalisme di dalam pendidikan. Pendidikan adalah perubahan (walaupun perubahan tidak mesti berarti pendidikan). Lalu apa yang bisa kita lakukan agar profesionalisasi guru ini dapat terwujud?
Peralihan paradigma dari yang terlalu berorientasi ke masa lalu ke paradigma yang berorientasi ke masa depan. Guru dengan karakteristik profesional yang demikian, akan mengajar dengan lebih banyak menggunakan bahasa harapan masa depan, dan bukan bahasa nostalgia masa lalu.
Peralihan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Guru dengan orientasi profesio-nal demikian, akan merangsang anak di- diknya untuk mencari jawaban, untuk meneliti masalah, dan mengembangkan sendiri berbagai informasi baru. Dia tidak secara dogmatis atau indoktriner memaksakan informasi usang yang sudah tidak berharga apa-apa di dalam kehidupan anak didik.
Peralihan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis, guru dengan tingkat profesionalisme yang tinggi antara lain, adalah guru yang mampu menghidupkan alam dan kehidupan demokrasi di dalam situasi mengajar dan belajar sebagai sebuah cara hidup. Tanpa kewaspadaan guru, sangat mudah proses itu menjadi feodalistik dan paternalistik. Guru adalah lambang democracy in action, bukan democracy in words.
Peralihan paradigma pendidikan yang terpusat di satu tangan ke seragam, menjadi paradigma pendidikan yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan anak didik. Di sini, guru bertanggung jawab, lebih masalah sebelumnya, sebagai pengelola proses belajar dan mengajar. Profesionalisme guru yang tinggi, akan menciptakan kemandirian lembaga.
Peralihan paradigma tersebut pasti memakan waktu; jauh lebih mudah membicarakan dari pada merealisasikannya. Sektor pendidikan kita tergolong sebagai sektor yang sangat tidak peka pada tuntutan perubahan. Tetapi, sebagai bagian reformasi, kita tidak dapat menangguhkan terjadinya proses itu berlama-lama karena sudah terdapat banyak petunjuk bahwa salah satu sebab utama keterbelakangan kita di dunia pendidikan sekarang adalah karena pendidikan dikembangkan de-ngan "profesionalisme" yang berdasarkan pa-radigma yang salah. Guru-guru yang diharapkan dari semula lahir sebagai guru dengan paradigma yang benar, perlu dipersiapkan sedini mungkin melalui lembaga atau sistem pendidikan guru, yang memang juga bersifat profesional.

C. SOSOK IDEAL GURU PENDIDIKAN JASMANI YANG PROFESIONAL

Pendidikan jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum. Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang.
Sumbangan nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor). Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan keterampilan. Ada tiga hal penting yang bisa menjadi sumbangan unik dari pendidikan jasmani, yaitu:
1. meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan siswa,
2. meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta
3. meningkatkan pengertian siswa dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.
Adakah pelajaran lain (seperti bahasa, matematika, atau IPS) yang bisa menyumbang kemampuan-kemampuan seperti di atas?

Secara umum, manfaat pendidikan jasmani di sekolah mencakup sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan anak akan gerak
Pendidikan jasmani memang merupakan dunia anak-anak dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Di dalamnya anak-anak dapat belajar sambil bergembira melalui penyaluran hasratnya untuk bergerak. Semakin terpenuhi kebutuhan akan gerak dalam masa-masa pertumbuhannya, kian besar kemaslahatannya bagi kualitas pertumbuhan itu sendiri.
2. Mengenalkan anak pada lingkungan dan potensi dirinya
Pendidikan jasmani adalah waktu untuk ‘berbuat’. Anak-anak akan lebih memilih untuk ‘berbuat’ sesuatu dari pada hanya harus melihat atau mendengarkan orang lain ketika mereka sedang belajar. Suasana kebebasan yang ditawarkan di lapangan atau gedung olahraga sirna karena sekian lama terkurung di antara batas-batas ruang kelas. Keadaan ini benar-benar tidak sesuai dengan dorongan nalurinya.
Dengan bermain dan bergerak anak benar-benar belajar tentang potensinya dan dalam kegiatan ini anak-anak mencoba mengenali lingkungan sekitarnya. Para ahli sepaham bahwa pengalaman ini penting untuk merangsang pertumbuhan intelektual dan hubungan sosialnya dan bahkan perkembangan harga diri yang menjadi dasar kepribadiannya kelak.
3. Menanamkan dasar-dasar keterampilan yang berguna
Peranan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar cukup unik, karena turut mengembangkan dasar-dasar keterampilan yang diperlukan anak untuk menguasai berbagai keterampilan dalam kehidupan di kemudian hari. Menurut para ahli, pola pertumbuhan anak usia sekolah hingga menjelang akil balig atau remaja disebut pola pertumbuhan lambat. Pola ini merupakan kebalikan dari pola pertumbuhan cepat yang dialami anak ketika mereka baru lahir hingga usia 5 tahunan.
4. Menyalurkan energi yang berlebihan
Anak adalah mahluk yang sedang berada dalam masa kelebihan energi. Kelebihan energi ini perlu disalurkan agar tidak menganggu keseimbangan perilaku dan mental anak. Segera setelah kelebihan energi tersalurkan, anak akan memperoleh kembali keseimbangan dirinya, karena setelah istirahat, anak akan kembali memperbaharui dan memulihkan energinya secara optimum.
5. Merupakan proses pendidikan secara serempak baik fisik, mental maupun emosional
Pendidikan jasmani yang benar akan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap pendidikan anak secara keseluruhan. Hasil nyata yang diperoleh dari pendidikan jasmani adalah perkembangan yang lengkap, meliputi aspek fisik, mental, emosi, sosial dan moral. Tidak salah jika para ahli percaya bahwa pendidikan jasmani merupakan wahana yang paling tepat untuk “membentuk manusia seutuhnya”.
Secara sederhana, pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk:
Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas jasmani, perkembangan estetika, dan perkembangan sosial.
Mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk menguasai keterampilan gerak dasar yang akan mendorong partisipasinya dalam aneka aktivitas jasmani.
Memperoleh dan mempertahankan derajat kebugaran jasmani yang optimal untuk melaksanakan tugas sehari-hari secara efisien dan terkendali.
Mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui partisipasi dalam aktivitas jasmani baik secara kelompok maupun perorangan.
Berpartisipasi dalam aktivitas jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang.
Menikmati kesenangan dan keriangan melalui aktivitas jasmani, termasuk permainan olahraga.
Berdasarkan uraian diatas lalu bagaimanakah sosok guru pendidikan yang profesional yang mampu mencapai semua tujuan pendidikan jasmani yang telah ditetapkan? Tentunya guru pendidikan jasmani tersebut adalah seseorang yang telah melewati sebuah proses pendidikan melalui suatu lembaga pendidikan yang profesional pula sehingga tercapai kompetensi yang diharapkan, serta layak dan mampu untuk mengajar. Kompetensi tersebut antara lain:
1. Pengetahuan disiplin keilmuan
1.1. Pengetahuan tentang dimensi filosofis pendidikan jasmani termasuk etika sebagai aturan dan profesi
1.2. Pengetahuan tentang perspektif sejarah pendidikan jasmani
1.3. Pengetahuan tentang anatomi manusia, secara struktur dan fungsinya.
1.4. Pengetahuan tentang aspek kinesiologi dan kinerja fisik manusia
1.5. Pengetahuan fisiologi manusia dan efek dari kinerja latihan.
1.6. Pengetahuan aspek psikologi pada kinerja manusia, termasuk motivasi dan tujuan, kecemasan dan stress, dan persepsi diri.
1.7. Pengetahuan pada aspek sosiologi dalam kinerja diri, termasuk dinamika sosial; etika dan perilaku moral, dan budaya, suku, dan perbedaan jenis kelamin.
1.8. Pengetahuan pada perkembangan gerak, termasuk pematangan dan gerak dasar.
1.9. Pengetahuan tentang belajar gerak, termasuk keterampilan dasar dan kompleks dan hubungan timbal balik di antara domain kognitif, afektif dan psikomotorik.

Pengetahuan dan keterampilan professional
Komponen ini meliputi aspek humanistik dan tingkah laku tentang pendidikan profesi. Penekanan pada suatu hakikat profesi; hakikat pada mengajar pendidikan jasmani. komitmen terhadap keahlian , penelitian dan pelayanan: konteks individual dan budaya untuk belajar dan mengajar gerak manusia. Mempersiapkan lulusan program guru pendidikan jasmani yang akan mununjukkan kompetensinya yaitu:
2.1. Pengetahuan tentang aturan suatu profesi dan hakikat pendidikan jasmani sebagai suatu profesi
2.2. Pengetahuan tentang dampak pendidikan jasmani pada individu dan masyarakat (termasuk orang-orang dengan kebutuhan khusus), berkaitan dengan kualitas hidup, secara individu dan global.
2.3. Pengetahuan tentang peranan pendidikan jasmani di sekolah, termasuk perspektif sejarah dan kekuatan sosial politik
2.4. Pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan filosofis pribadi pada pendidikan jasmani.
2.5. Pengetahuan dan keterampilan untuk mendukung keahlian penelitian (pelanggan dan penelitian), dan pelanggan (bantuan pelanggan, bantuan program, penjelasan kepada sekolah, komunitas, pelayanan kepada profesi.
2.6. Pengetahuan pada aspek budaya pada aktivitas fisik dan olahraga
2.7. Pengetahuan dan keterampilan dalam merancang secara lengkap (komprehensif), kurikulum yang berkembang secara memadai, pada berbagai populasi (termasuk populasi dengan kebutuhan khusus), berdasarkan pada teori kurikulum dan mata pelajaran pendidikan jasmani
2.8. Pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan aspek-aspek pengembangan program pendidikan jasmani (penambahan kedalam kurikulum), termasuk pemeliharaan dan tempat penyimpanannya peralatan.
Pengetahuan dan keterampilan kependidikan
Komponen ini termasuk belajar dan mengajar penerapan teori dan aplikasi professional dari batang tubuh pengetahuan. Penekanan pada perancangan kurikulum, evaluasi belajar dan evaluasi program. Mempersiapkan lulusan program guru pendidikan jasmani yang akan menunjukkan kompetensi (termasuk pengalaman laboratorium dan klinis) dalam:
3.1. Pengetahuan tentang teori belajar pendidikan
3.2. Pengetahuan dan aplikasi teori mengajar efektif
3.3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menerjemahkan kurikulum kedalam kegiatan pembelajaran.
3.4. Pengetahuan dan keterampilan dalam merancang satuan yang sistematik dan pelajaran yang berangkai (termasuk belajar berangkai)
3.5. Pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis gerakan, penilaian kinerja motorik, dan penilaian proses pembelajaran.
3.6 Pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan kelas.
Elemen-elemen pengetahuan yang perlu ada pada seseorang guru untuk melaksanakan pengajarannya menurut Shulman (1987)ialah
a. Ilmu konten (content knowledge) yaitu pengetahuan tentang kandungan subjek bidang yang hendak di ajarkan.
b. Ilmu pedagogi am (general pedagogical knowledge) merujuk kepada pengetahuan tentang kaedah mengajar yang melibatkan semua mata pelajaran dan dalam pelbagai situasi.
c. Ilmu konten pedagogi (pedagogical content knowledge) bermaksud pengetahuan tentang bagaimana cara mengajar sesuatu kandungan atau topik pelajaran kepada sekumpulan murid tertentu dalam konten yang spesifik.
d. Pengetahuan tentang kurikulum (curriculum knowledge) adalah pengetahuan tentang perkembangan kurikulum yang sesuai dan program-program bagi setiap jenjang pencapaian murid.
e. Pengetahuan tentang konteks Pendidikan (knowledge of educational contexs) bermaksud pengetahuan tentang impak dalam konteks mengajar.
f. Pengetahuan terhadap murid dan ciri-ciri murid (knowledge of learners and their characteristics) merujuk kepada pengetahuan tentang pembelajaran seseorang murid yang diaplikasikan dalam mengajar
g. Pengetahuan tentang tujuan pendidikan (knowledge of educational goals) ialah pengetahuan tentang matlamat, tujuan dan struktur sistem pendidikan.
Tentunya dibutuhkan sebuah lembaga profesional yang mampu menciptakan guru-guru pendidikan jasmani yang memiliki standar kompetensi seperti yang telah diuraikan diatas, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pendidik yang profesional yang pada akhirnya akan mewujudkan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya tujuan pendidikan secara keseluruhan.



D. PENUTUP

Akhirnya, kembali kepada persoalan pokok, kita dapat berkesimpulan bahwa memang ternyata begitu banyak yang harus diperhitungkan, baru untuk memulai sebuah proses profesionalisasi tenaga-tenaga kependidikan. Sekarang, pilihan terletak di tangan kita masing-masing. Kalau kita mau mudah saja, dan kalau kita anggap cukup untuk sekedar membuat sebuah perumusan profesionalisasi pendidikan yang dapat berlaku di segala zaman, maka tentu itu pun dapat kita lakukan.
Tetapi kalau itu yang kita lakukan, kita sudah mulai dari awal bertindak anti profesional. Tidak ada sikap dan tindakan anti profesionalisme yang dapat membangun profesionalisme. Paling-paling, kita akan menjadi `profesional' di dalam bertindak anti profesional. Kita tidak menghendaki itu bukan?
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan, dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Memang harus disadari bahwa kondisi guru seperti yang tercermin pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama. Kondisi itulah yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malahan untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu (yang tidak ada manfaatnya sama sekali). Dari itu semua yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu sekaligus pula jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar tak mungkin kerasan dan bangga jadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro Poedjinoegroho. 2006. Guru Profesional, Adakah? www.ditplb.or.id/2006/profil.php?id=66 diakses tanggal 1 maret 2007

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri. No 23 tahun 2006

Universitas Negeri Yogyakarta.2007.Panduan Pengajaran Mikro. Yogyakarta: UPPL UNY

Winarno Surakhmad.2006. Profesionalisme Dunia Pendidikan. http://ppp.upsi.edu.my/ewacana/teras%20pengetahuan.htm diakses tanggal 1 maret 2007

Jumat, 06 Maret 2009

Usaha Perbaikan Kualitas Guru dengan Mengoptimalkan Kompetensi Profesional dan Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Guru menjadi faktor utama dalam penciptaan suasana pembelajaran. Kompetensi guru dituntut dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Studi tentang pendidikan guru di akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 menunjukkan fenomena yang semakin kuat menempatkan guru sebagai suatu profesi. Kondisi nyata kini memandang bahwa guru sebagai sebuah profesi, bukan lagi dianggap sebagai suatu pekerjaan (vokasional) biasa yang memerlukan pendidikan tertentu Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Mutu pendidikan ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu menyangkut input, proses, dukungan lingkungan, sarana dan prasarana. Penjabaran lebih lanjut mengenai faktor-faktor tersebut bahwa input berkaitan dengan kondisi peserta didik (minat, bakat, potensi, motivasi, sikap), proses berkaitan erat dengan penciptaan suasana pembelajaran, yang dalam hal ini lebih banyak ditekankan pada kreativitas pengajar (guru), dukungan lingkungan berkaitan dengan suasana atau situasi dan kondisi yang mendukung terhadap proses pembelajaran seperti lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, sedangkan sarana dan prasarana adalah perangkat yang dapat memfasilitasi aktivitas pembelajaran, seperti gedung, alat-alat laboratorium, komputer dan sebagainya. Berkaitan dengan faktor proses, guru menjadi faktor utama dalam penciptaan suasana pembelajaran.
Sudah banyak usaha-usaha yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya kualitas guru ,kesejahteraan dan pendidikan guru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun patut disayangkan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas guru, kesejahteraan dan pendidikan guru tersebut dilaksanakan berdasarkan pandangan dari "luar kalangan guru ataupun luar pendidikan guru". Terlalu banyak kebijaksanaan di bidang pendidikan yang bersifat teknis diambil dengan sama sekali tidak mendengarkan suara guru. Pengambilan keputusan yang menyangkut guru di atas seakan-akan melecehkan guru sebagai seseorang yang memiliki "kepribadian".


B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah bertujuan agar para guru meningkatkan kualitasnya dalam mengajar agar anak didik juga mendapat pendidikan yang lebih baik. Untuk itu diperlukan dukungan Pemerintah dalam upaya perbaikan ini baik dari sisi spiritual maupun materiil. Makalah ini juga memberikan gambaran tentang kondisi guru saat ini di Indonesia dan juga prospek guru di masa depan.

C. Rumusan Masalah
Makalah yang berjudul ” Usaha Perbaikan Kualitas Guru dengan Mengoptimalkan Kompetensi Profesional dan Sosial ” mengambil beberapa masalah untuk dibahas, diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan kualitas guru ?
2. Apa saja yang mencakup kompetensi guru ?
3. Apa saja kriteria dari guru yang berkualitas ?
4. Apa saja kendala para guru dalam meningkatkan kualitasnya dalam mengajar ?
5. Bagaimana upaya Pemerintah dalam memperbaiki kualitas guru khususnya guru Geografi ?
6. Sejauh mana usaha Pemerintah dalam mengatasi kendala perbaikan kualitas guru ?
7. Bagaimana kaitan antara usaha memperbaiki kulitas guru dengan mengoptimalkan tercapainya kompetensi profesionalismedan sosial guru?




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kualitas Guru
Kualitas guru adalah kemampuan yang dimiliki seorang guru untuk diberikan pada anak didiknya. Ada tiga kegiatan penting yang diperlukan oleh guru untuk bisa meningkatkan kualitasnya sehingga bisa terus menanjak pangkatnya sampai jenjang kepangkatan tertinggi. Pertama para guru harus memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi pelajaran dan berinteraksi dengan peserta didik. Tukar pikiran tersebut bisa dilaksanakan dalam perternuan guru sejenis di sanggar kerja guru, ataupun dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan hal itu. Kegiatan ilmiah ini hendaknya selalu mengangkat topik pembicaraan yang bersifat aplikatif. Artinya, hasil pertemuan bisa digunakan secara langsung untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Hanya perlu dicatat, dalam kegiatan ilmiah semacam itu hendaknya faktor-faktor yang bersifat struktural administrative harus disingkirkan jauh-jauh. Misalnya, tidak perlu yang memimpin pertemuan harus kepala sekolah.
Kedua, akan lebih baik kalau apa yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah yang dihadiri para guru adalah merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para guru sendiri. Dengan demikian guru harus melakukan penelitian. Untuk ini perlulah anggapan sementara ini bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh para akademisi yang bekerja di perguruan tinggi atau oleh para peneliti di lembaga-lembaga penelitian harus dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu diyakini pada semua fihak bahwa hasil-hasil penelitian-penelitian tentang apa yang terjadi di kelas dan di sekolah yang dilakukan oleh para guru adalah sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab para gurulah yang nyata-nyata memahami dan manghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di kelas.
Ketiga, guru harus membiasakan diri untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan, khususnya lewat media cetak. Untuk itu tidak ada alternatif lain bagi guru meningkatkan kemampuan dalam menulis laporan penelitian.

B. Pengertian Kompetensi Guru
Kompetensi pendidik merupakan pilar penting dalam menopang pencapaian mutu pendidikan secara menyeluruh. Kompetensi merupakan seperangkat kemampuan yang harus dimiliki guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah (kurikulum), tuntutan masyarakat, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kompetensi dimaksud meliputi kompetensi Keterampilan proses dan penguasaan pengetahuan.
-Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus digugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya: (1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya; (2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama; (3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat; (4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya sopan santun dan tata karma dan; (5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
- Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting. Oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi sebagai berikut: (1) kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, institusional, kurikuler dan tujuan pembelajaran; (2) pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar; (3) kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya; (4) kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (5) kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (6) kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (7) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (8) kemampuan dalam melaksanakan unsur penunjang, misalnya administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan dan; (9) kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
- Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan dan; (3) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok Di era yang serba canggih ini guru dituntut untuk selalu berkembang dalam hal wawasan serta kemampuannya dalam proses belajar mengajar. Wawasan seorang guru diharapkan mampu menyokong kegiatannya dalam proses belajar mengajar, selain itu wawasan yang luas membuat guru memiliki cara pandang yang maju dalm menilai berbagi hal.
C. Upaya Peningkatan Kualitas Kompetensi dan Sosial Guru
Jalan yang dapat dilakukana untuk meningkatkan Profesionalisme guru antara lain:
1.Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diriny dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
2.Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
3.Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya.
E.Upaya Pemerintah dalam Peningkatan Kualitas Guru
Guru sebagai pilar negara berupaya meningkatkan kualitas guru dengan cara sebagai berikut:
1. Standardisasi Kompetensi Guru
Standardisasi Kompetensi Guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional Guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Persyaratan dimaksud adalah penguasaan proses belajar mengajar dan penguasaan pengetahuan. jabatan Fungsional Guru adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seseorang guru yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
2. Undang-undang Guru dan Dosen
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-undang guru dan dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatakan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru untuk memiliki kualifikasi strata 1 atau D4 dan memiliki sertifikasi profesi. Dengan sertifikat profesi ini guru berhak mendapatkan tunjangan 1 bulan gaji pokok guru.
F. Kendala Yang Dihadapi Guru Saat Ini
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut.
1. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.
2. Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.
3. Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.
4. Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
5. Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar. Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.
F. Kaitan Antara Usaha Usaha Perbaikan Kualitas Guru Geografi Dengan Peningkatan Prefosionalisme dan Sosial Guru
Guru akan semakin terdorong untuk meningkatkan kerjanya dalam mengajar siswa bila kebutuhan sosialnya dapat terpenuhi dengan baik. Contohnya seorang guru yang kehidupanya berkecukupan atau bahkan kelebihan uang akan menyisihkan sebagian uangnya untuk mengikuti seminar, diklat, atau study banding. Dalam acara-acara tersebut guru dapat diberikan pelatihan maupun pelatihan maupun pengetahuan, sehingga secara tidak langsung profesionalisme guru pun bertambah. Makin professional seorang guru maka makin berkualitas pula guru tersebut . Hal ini terlihat guru sedang mengajar dikelas. Ketika buku bahan ajar tertinggal di rumah, tidak menjadi masalah karena guru tersebut msih bisa menerangkan materi yang telah ia kuasai.
Di Indonesia, Profesional dan sosial guru masih diragukan oleh Negara lain di dunia selain di Indonesia tergolong Negara terbelakang dan miskin, kualitas SDM pun belum tergali secara optimal. Untuk itulah pemerintah berupaya meningkatkan kualitas guru, salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan profesionalisme dan sosial guru.

Selasa, 03 Maret 2009

CPNS Coy.......!

Akhir tahun lalu, aku mendapat berkah, Alhamdullilah aku diterima seleksi CPNS.
Wah cita-cita jadi guru negeri tercapai juga.
Makin bersyukur, pas pemberkasan kemarin, kayaknya aku jadi CPNS termuda deh, baru 22 tahun (kecuali yang D2, emang ada yang lebih muda, tapi yang S1 sih kayaknya aku paling muda, hahahaha).
Sesuai kata dosen pembimbing skripsiku, pak caly setiawan: "A big step start from a small one. Menjadi guru bukan berarti akhir dari perjalanan karier."
Ya iyalah, aku masih memiliki ambisi yang besar, masih banyak yang harus kuperjuangkan.
Aku yakin aku bisa memiliki kontribusi yang besar dari posisiku sebagai guru, ada banyak yang harus dibenahi dari pendidikan jasmani di Indonesia.

Sebelum tes CPNS kemarin aku sempet ikut tes dosen UNY.
Gagal di tes wawancara padahal tinggal 7 orang.
Wah aku sedih banget,
Pas aku curhat ma seorang guru honorer di skul yang kuajar dulu, dia bilang : "Santai aja mas Willy, kegagalan pertama emang sakit, tapi kalo udah sering gagal kayak saya ini, nanti lama-lama juga udah biasa".
Loh......?
Gagal kok biasa?
Ternyata banyak juga orang yang bisa beradaptasi dengan kegagalan.
Wah menurutku ini penyakit paling kronis orang Indonesia. Banyak orang Indonesia yang kurang spirit, menganggap kegagalan adalah takdir absolut. Gak bisa diganggu gugat.

Menurutku kegagalan bukanlah sesuatu yang harus dimaklumi.
Kegagalan bukanlah sukses yang tertunda.
Kegagalan adalah kekurangan kita.
kebodohan kita.
Nah tugas kitalah untuk memperbaikinya, bukan malah nglokro.

Hey, betapa pentingnya spirit! Betapa pentingnya motivasi, tanpa motivasi seakan akan ilmu yang kita miliki tidak berguna. Begitu kesadaran dan motivasi muncul, semangat juang spontan terbakar siap menghadapi segala kesulitan dan tantangan apapun yang menghadang!Tidak mundur karena kegagalan sesaat, pantang putus asa sebelum berhasil. Jika manusia telah menemukan arti motivasi dan tau apa yang menjadi kekuatannya, maka hasil sukses luar biasa selalu dapat tercipta!
kelebihan diri +motivasi = dahsyat man......!

Ah aku kok sekarang jadi sok pinter,
udah mbakat jadi guru nie, hahahahaha

Btw untuk siswa-siswaku :

"Hey, I'm Coming..........!"

Jumat, 06 Februari 2009

PENGERTIAN TES, PENGUKURAN, EVALUASI DAN ASSESSMENT

A. Pengertian Tes

a. Menurut Riduwan ( 2006: 37) tes sebagai instrumen pengumpulan data adalah serangkaian pertanyaan / latihan yang digunakan untuk mengukur ketrampilan pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu / kelompok.
b. Menurut Allen Philips (1979: 1-2) A test is commonly difined as a tool or instrument of measurement that is used to obtain data about a specific trait or characteristic of an individual or group.( Test biasanya diartikan sebagai alat atau instrumen dari pengukuran yang digunakan untuk memperoleh data tentang suatu karakteristik atau ciri yang spesifik dari individu atau kelompok.)
c. Menurut Rusli Lutan (2000:21) tes adalah sebuah instrument yang dipakai untuk memperoleh informasi tentang seseorang atau obyek.

B. Pengertian Pengukuran

a. Menurut William Shockley ( id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran). Pengukuran adalah perbandingan dengan standar.
b. Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). Pengukuran adalah suatu kegiatan untuk mengetahui informasi atau data secara kuantitatif. Pengukuran tidak melibatkan pertimbangan mengenai baik-buruknya, tidak menentukan siapa yang lulus dan tidak lulus.
c. Menurut Rusli Lutan (2000:21) pengukuran ialah proses pengumpulan informasi.
d. Menurut Gronlund yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran : suatu kegiatan atau proses untuk memperoleh deskripsi numerik dan tingkatan atau derajat karakteristik khusus yang dimiliki individu.
e. Menurut Allen Philips (1979: 1-2) a measure is the score that has been assigned on the basis of a test. ( Pengukuran adalah mencetak prestasi yang telah ditugaskan atas dasar suatu perjanjian.)
f. Menurut Kerlinger yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran : sebagai pemberian angka-angka pada obyek atau kejadian-kejadian menurut suatu aturan tertentu.
g. Menurut id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran. Pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, atau kepercayaan konsumen.
h. Menurut Sridadi (2007) pengukuran adalah suatu prose yang dilakukan secara sistematis untuk memperoleh besaran kuantitatif dari suatu obyek tertentu dengan menggunakan alat ukur yang baku.
i. Menurut Wolf (1984: 7) Measurement is the act of process of measuring. (Pengukuran adalah tindakan dari proses dari mengukur.)

C. Pengertian Evaluasi

a. Menurut Rusli Lutan (2000:22) evaluasi merupakan proses penentuan nilai atau kelayakan data yang terhimpun.
b. Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). Evaluasi adalah suatu kegiatan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan seperti program pendidikan termasuk perencanaan suatu program, substansi pendidikan seperti kurikulum, pengadaan dan peningkatan kemampuan guru, pengelolaan pendidikan, dan lain-lain.
c. Menurut Sridadi (2007) evaluasi : suatu proses yang dirancang secara sistematis dan terencana dalam rangka untuk membuat alternatif-alternatif keputusan atas dasar pengukuran dan penilaian yang telah dilakukan sebelumnya.
d. Allen Philips (1979: 1-2) evaluation is a complex term that often is misused by both teachers and students. It involves making decicions or judgements about students based on the extent to which instructional objectives are achieved by them. (evaluasi adalah suatu istilah kompleks yang sering disalahgunakan oleh para guru dan para siswa. Evaluasi melibatkan pembuatan keputusan atau penghakiman tentang para siswa didasarkan pada tingkat sasaran hasil yang dicapai oleh mereka.
e. Menurut Sutarsih dan Kadarsih yang dikutip oleh Sridadi (2007) evaluasi : suatu proses untuk memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.

D. Pengertian Assessment

a. Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). assessment adalah alih-bahasa dari istilah penilaian. Penilaian digunakan dalam konteks yang lebih sempit daripada evaluasi dan biasanya dilaksanakan secara internal. Penilaian atau assessment adalah kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik-buruk, efektif-tidak efektif, berhasil-tidak berhasil, dan semacamnya sesuai dengan kriteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.
b. Menurut www.elook.org/dictionary/assessment.htm Definition of assessment: the classification of someone or something with respect to its worth.
( Definisi dari penilaian adalah penggolongan seseorang atau sesuatu berkenaan dengan harganya.)
c. Menurut Angelo (1991: 17) Classroom Assessment is a simple method faculty can use to collect feedback, early and often, on how well their students are learning what they are being taught. (Penilaian Kelas adalah suatu metode yang sederhana dapat menggunakan fakultas (sekolah) untuk mengumpulkan umpan balik, awal dan setelahnya, pada seberapa baik para siswa mereka belajar apa yang mereka ajarkan.)
d. Menurut Suharsimi yang dikutip oleh Sridadi(2007) penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk → bersifat kualitatif.
e. Menurut Depag yang dikutip Sridadi (2007) penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah selanjutnya.
f. Menurut Rusli Lutan (2000:9) assessment termasuk pelaksanaan tes dan evaluasi. Asessment bertujuan untuk menyediakan informasi yang selanjutkan digunakan untuk keperluan informasi.



DAFTAR PUSTAKA

Angelo, T.A., (1991). Ten easy pieces: Assessing higher learning in four dimensions. In Classroom research: Early lessons from success. New directions in teaching and learning (#46), Summer, 17-31.
Buana. (2005). Ujian Nasional: Penilaian atau Evaluasi. www.fajar.co.id/news.php?
Diakses tanggal 20 September 2007
Phillips, Allen D. (1979). Measurement and Evaluation in physical education. Canada: John Whiley & Sons, Inc.
Rusli Lutan. (2000). Pengukuran dan Evaluasi Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sridadi. (2007). Diktat Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Penjas. Yogyakarta: FIK UNY
William Shockley. id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran). Diakses tanggal 20 September 2007
Wolf, Richard, M. (1984). Evaluation in education. New York: Praeyer Publishers

www.elook.org/dictionary/assessment.html. Diakses tanggal 20 September 2007

PENILAIAN PENJAS


A. Pendahuluan

Guru tidak dapat bekerja secara efektif jika tidak dapat menilai secara akurat pencapaian siswanya. Menilai secara akurat sangat penting sebab guru tidak dapat membantu siswanya secara efektif jika tidak mengetahui pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai siswanya dan pelajaran apa yang masih menjadi masalah bagi siswanya. Hal yang sama pentingnya adalah guru tidak dapat memperbaiki jika tidak memperoleh indikasi efektifitas dalam mengajar.
Menurut Prof. Dr. Rusli Lutan penilaian (grading) merupakan salah satu bentuk pelaporan umpan balik tentang kemajuan belajar siswa. Penilaian mencakup komponen essensial dalam tujuan pendidikan jasmani. Fungsi penilaian yaitu:
1. Nilai memberi gambaran tentang kemajuan siswa yang bersangkutan baik untuk dirinya sendiri maupun orang tuanya.
2. Nilai dapat membangkitkan motivasi untuk menyempurnakan penampilannya.
3. Nilai merupakan dasar untuk kenaikan kelas maupun tingkat.
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Begitu banyak aspek yang dinilai dalam pendidikan, karena pendidikan jasmani adalah sebuah pelajaran dengan karakteristik yang unik karena menyangkut tiga ranah sekaligus, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik secara bersama-sama. Tentunya dibutuhkan sebuah sistem penilaian yang tepat agar segala prestasi yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran mampu dijabarkan dan disajikan secara gamblang dan sesuai realita dilapangan.
Pendidikan jasmani di SMP berisi berbagai macam materi pembelajaran, salah satunya adalah atletik nomor lempar. Terdapat berbagai model penilaian untuk menentukan nilai siswa. Dalam makalah ini akan disajikan berbagagai macam penilaian tersebut dengan harapan guru mampu memilih model yang sesuai dengan sekolah dan karakteristik siswanya.


B. Penilaian

Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka, deskripsi verbal) analisis, interpretasi informasi untuk membuat keputusan. Sedangkan penilaian kelas sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan & penggunaan informasi oleh guru melalui sejumlah bukti untuk buat keputusan ttg pencapaian hasil belajar.
Menurut Suharsimi (1995) penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk → bersifat kualitatif. Sedang menurut Depag (1992) penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah selanjutnya.
Unsur-unsur penilaian antara lain:
1. Ada proses pengukuran dengan standar yang ada.
2. Ada standar yang dijadikan pembanding.
3. Terjadi proses perbandingan dengan hasil.
4. Ada hasil penilaian yang bersifat kualitatif.
Guru perlu melakukan penilaian untuk:
1. Mengetahui tingkat keberhasilan siswa.
2. Mengetahui kesesuaian materi yang diajarkan.
3. Memberikan informasi kepada orang tua.
4. Memberikan informasi kepada sekolah.
5. Memberikan informasi kepada pihak luar, BP, atau staf pengajar yang lain.
Ciri-ciri penilaian antara lain:
1. Menggunakan acuan patokan/kriteria
2. Penilaian otentik:
- proses penilaian bagian integral dari proses pembelajaran,
- mencerminkan masalah dunia nyata bukan dunia sekolah,
- menggunakan berbagai cara dan kriteria,
- holistik (kognitif, afektif, psikomotor)
Kriteria penilaian kelas antara lain:
• Validitas: hasil penilaian dapat ditafsirkan sebagai apa yang akan dinilai.
• Realibilitas: hasil penilaian ajeg, menggambarkan kemampuan yang sesungguhnya.
• Fokus kompetensi: pencapaian kompetensi yang sesuai kurikulum, materi terkait langsung dengan indikator pencapaian.
• Komprehensif: informasi yang diperoleh cukup untuk buat keputusan.
• Objektif: adil, terencana, berkesinambungan
• Mendidik : penilaian untuk perbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan kualitas belajar
Langkah-langkah untuk menilai siswa yaitu:
• Menyesuaikan materi dengan kompetensi pada kurikulum.
• Alat penilaian sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
• Ketika penilaian berlangsung mempertimbangkan kondisi anak.
• Petunjuk pelaksanaan jelas, menggunakan bahasa yang mudah dipahami
• Kriteria penyekoran jelas
• Gunakan berbagai cara dan alat untuk nilai beragam kompetensi
• Lakukan rangkaian aktivitas penilaian melalui: pemberian tugas, PR, ulangan, pengamatan, dsb.
Sistem penilaian yang bisa digunakan adalah:
1. Unjuk Kerja (Performance) yaitu pengamatan terhadap aktivitas siswa sebagaimana terjadi (unjuk kerja, tingkah laku, interaksi)
2. Penugasan (project) adalah penilaian terhadap suatu tugas (mengandung investigasi) yang harus selesai dalam waktu tertentu
3. Hasil Kerja (Produk) adalah penilaian terhadap kemampuan membuat produk misalnya teknologi atau seni
4. Tertulis, misalnya memilih jawaban: Pilihan ganda, 2 pilihan (B-S; ya-tidak) mensuplai jawaban: Isian atau melengkap Jawaban singkat, uraian
5. Portofolio: : Menekankan penghargaan kepada seluruh pengalaman dan kemajuan siswa baik yang diperagakan disekolah maupun di luar sekolah.Bentuk bisa berupa laporan essai tertulis, maupun pengisian formulir yang tersedia.
6. Penilaian sikap yaitu penilaian berdasarkan pengamatan sehari hari yaitu penilaian terhadap perilaku dan keyakinan siswa terhadap obyek sikap
7. Metode Kesenjangan dalam distribusi. Sebuah distribusi skor tes biasanya ada kesenjangan skor (tak ada skor) beberapa guru menggunakannya untuk menilai siswa.
8. Metode persentase. Misalnya nilai A bila mampu menjawab minimal 90% soal dengan benar.
9. Metode himpunan angka / nilai.Yaitu menjumlahkan angka dari siswa berdasarkan komponen-komponen nilai.
10. Metode kurva normal. Yaitu membuat grading berdasar sistem kurva normal dan memasukkan nilai siswa kedalam tebel tersebut.
11. Penilaian berdasarkan kontrak. Yaitu penilaian berdasarkan kesepakatan guru dan murid.
Pelaporan penilaian pada siswa maupun orang tua dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Tipe-tipe dari pelaporan penilaian antara lain,
1. Deskriptif (kata-kata)
2. Persentase, misalnya 70% dari 100%
3. Nilai dengan skala, misalnya A B C D E atau skala 1-10.
4. Dikotomi, hasil dengan dua kategori penilaian, misalnya lulus dan tidak lulus.
5. Skor sebenarnya yang diperoleh dari test.

Disekolah, terutama di SMP tipe penilaian yang sering digunakan adalah tes unjuk kerja (performance) yaitu pengamatan terhadap aktivitas siswa sebagaimana terjadi dan disajikan dalam bentuk skala, misalnya 1-10. Namun sejalan dengan digunakannya kurikulum KTSP maka penilaian dengan model penilaian kelas pun digunakan. Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dapat dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar yang akan dinilai. Oleh sebab itu, penilaian lebih merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan, dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan belajarnya.
Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum. Penilaian merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.
Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri. Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik tidak dianjurkan untuk dibandingkan dengan peserta didik lainnya, tetapi dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelumnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu untuk mencapai apa yang diharapkan. Prinsip penilaian kelas, dalam melaksanakan penilaian, guru seyogianya:
a. Memandang penilaian dan kegiatan pembelajaran secara terpadu, sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses pembelajaran.
b. Mengembangkan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata.
c. Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin diri.
d. Melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.
e. Mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
f. Mengembangkan dan menyediakan penilaian pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
g. Menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.
h. Melakukan penilaian kelas secara berkesinambungan terhadap semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
i. Mengadakan ulangan harian bila sudah menyelesaikan satu atau beberapa indikator.

C. Kurikulum Pendidikan Jasmani SMP

Berikut adalah standar kompetensi serta kompetensi dasar pendidikan jasmani SMP berdasarkan KTSP untuk kelas VII semester 1.
Kelas VII, Semester 1
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1. Mempraktikkan berbagai teknik dasar permainan dan olahraga, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya

1.1 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan dan olahraga beregu bola besar lanjutan dengan koordinasi yang baik, serta nilai kerjasama, toleransi, percaya diri, keberanian, menghargai lawan, bersedia berbagi tempat dan peralatan**)
1.2 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan dan olahraga beregu bola kecil lanjutan dengan koordinasi yang baik , serta nilai kerjasama, toleransi, percaya diri, keberanian, menghargai lawan, bersedia berbagi tempat dan peralatan **)
1.3 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar atletik serta nilai toleransi, percaya diri, keberanian, menjaga keselamatan diri dan orang lain, bersedia berbagi tempat dan peralatan. **)
1.4 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan olahraga bela diri dengan koordinasi yang baik serta nilai keberanian, kejujuran, menghormati lawan dan percaya diri **)

2. Mempraktikkan latihan kebugaran jasmani , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya

2.1 Mempraktikkan jenis latihan kekuatan dan daya tahan otot serta nilai disiplin dan tanggung jawab
2.2 Mempraktikkan latihan daya tahan jantung dan paru-paru , serta nilai disiplin dan tanggung jawab



3. Mempraktikkan senam dasar dengan teknik dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya

3.1 Mempraktikkan senam dasar dengan bentuk latihan keseimbangan bertumpu pada kaki , serta nilai disiplin, keberanian, dan tanggung jawab
3.2 Mempraktikkan senam dasar dengan bentuk latihan keseimbangan bertumpu selain kaki serta nilai disiplin, keberanian dan tanggung jawab

4 Mempraktikkan senam irama tanpa alat , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya
4.1 Mempraktikkan teknik dasar senam irama tanpa alat, gerak langkah kaki mengikuti irama , serta nilai disiplin, estetika, toleransi dan keluwesan
4.2 Mempraktikkan teknik dasar senam irama tanpa alat, gerak mengayun satu lengan mengikuti irama , serta nilai kedisiplinan, estetika, toleransi dan keluwesan

5. Mempraktikkan sebagian teknik dasar renang gaya dada , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya*)

5.1 Mempraktikkan teknik dasar gerakan kaki renang gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan
5.2 Mempraktikkan teknik dasar gerakan lengan renang gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan
5.3 Mempraktikkan teknik dasar gerakan kaki, gerakan lengan, dan pernapasan gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan

6. Mempraktikkan perkemahan dan dasar-dasar penyelamatan di lingkungan sekolah , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya***)

6.1 Mempraktikkan pemilihan tempat yang tepat untuk mendirikan tenda perkemahan, mempraktikkan teknik dasar pemasangan tenda untuk perkemahan di lingkungan sekolah secara beregu , serta nilai kerjasama, tanggung jawab dan tenggang rasa

6.2 Mempraktikkan penyelamatan dan P3K terhadap jenis luka ringan serta nilai kerja sama, tanggung jawab dan tenggang rasa

7. Menerapkan budaya hidup sehat
7.1 Memahami pola makan sehat
7.2 Memahami perlunya keseimbangan gizi


Untuk kelas VIII dan IX standar kompetesi dan kompetensi dasar serta hampir sama, namun penekanannya untuk kelas VIII semester I adalah mempraktikkan teknik dasar, kelas VIII semester II adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar. Sedang untuk kelas IX semester I adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar dengan konsisten, untuk kelas IX semester II adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar lanjutan dengan tepat dan lancar. Untuk atletik nomor lempar, cabang yang bisa diberikan antara lain,
1. Lempar cakram.
2. Lempar lembing.
3. Tolak peluru.
4. Tolak martil ( Jarang dilakukan dalam pembelajaran disekolah, bisa diberikan jika sarana dan prasarananya mendukung.)

D. Sistem Penilaian Atletik Cabang Lempar
Penilaian untuk nomor lempar biasanya berdasarkan jarak lemparan serta teknik siswa saja, namun di dalam pembelajaran penjas, tentunya ada beberapa hal lain yang menjadi komponen penilaian, antara lain kognitif dan afektif siswa. Hal tersebut bisa dilihat dari kehadiran siswa, perilakunya saat pelajaran, keaktivan saat diskusi, dll.
Apabila cabang yang dinilai hanya satu cabang, maka penilaian yang lazim digunakan adalah sistem skala 1 sampai dengan 10. Sebelumnya ditentukan dahulu standar nilai untuk murid (nilai yang didapatkan siswa apabila melakukan unjuk kerja dalam level tertentu) Patokan tersebut harus diberitahukan pada murid. Misalnya untuk tolak peluru, nilai 8 didapat apabila mampu menolak sejauh 4 meter sampai 4,5 meter, nilai 9 jika mampu menolak sejauh 4,5 meter sampai dengan 5 meter, nilai 10 bila lebih dari 5 meter.
Bentuk tes yang biasa kita rancang adalah unjuk kerja melakukan lemparan sejauh-jauhnya per individu. Nilai dirangkum berdasarkan jarak yang lemparan siswa serta teknik yang dikuasai siswa ( berdasarkan pengamatan). Nilai kemudian dijumlah dan dijadikan satu hasilnya merupakan nilai aspek psikomotorik.
Penilaian diatas hanya mempedulikan kemampuan melempar siswa, padahal penilaian juga harus memperhatikan ranah kognitif dan afektif siswa. Lalu cara apa yang bisa kita gunakan agar nilai kognitif, afektif dan psikomotorik dapat teramgkum dalam satu nilai? Cara yang bisa gunakan adalah dengan melakukan rangkuman nilai kognitif dan afektif (bisa pula dilakukan tes) lalu digabungkan dengan nilai tes malempar. Bila nilai kasar telah disusun dalam tabel distribusi, rumus statistika yang bisa digunakan untuk mengolah data adalah standar score. Namun sebelumnya kita harus mencari standar deviasi terlebih dahulu, yaitu dengan rumus:
Setelah mendapatkan standar deviasi, langkah selanjutnya adalah mencari angka standar, dengan rumus:


Z = Angka standar (nilai siswa)
X = Angka kasar siswa
M = Mean distribusi
SD = Standar deviasi
Bila telah didapatkan Z selanjutnya nilai Z masing-masing siswa dijumlah. Nilai tertinggi adalah yang terbaik. Nilai kemudian diranking dan dimasukkan tabel kurva normal, selanjutnya tentukan nilai siswa tergantung tabel tersebut. Nilai tersebut adalah nilai kumulatif dari tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dan diharapkan mampu mengakomodasi ketiga ranah tersebut.



E. Teknik Penyajian Data
Setelah mendapat nilai dari siswa keseluruhan, data dapat disajikan dalam beberapa cara antara lain:
F. PENUTUP
Demikian makalah tentang penilaian pendidikan jasmani disekolah, khususnya atletik nomor lempar, semoga dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Pendidikan jasmani adalah pelajaran dengan karakteristik unik dan rumit karena melibatkan ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik secara bersama-sama. Tak ada sebuah sistem penilaian yang benar-benar tepat mampu menilai semua materi pelajaran. Hendaknya guru pendidikan jasmani mampu memilih sebuah sistem penilaian yang tepat berdasarkan materi pelajaran, kondisi sekolah, maupun karakteristik siswa, agar segala prestasi yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran mampu dijabarkan dan disajikan secara gamblang, obyektif dan sesuai realita dilapangan.


DAFTAR PUSTAKA

Hari A. Rahman. (2007). Diktat Kuliah Statistika. Yogyakarta: FIK UNY

Nitro. (2007). Penilaian Pendidikan Jasmani Tentang Senam. Yogyakarta: FIK UNY

Peraturan Menteri no.22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Rusli Lutan. (2000). Pengukuran dan Evaluasi Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. (2006). Sistem Penilaian. http://jip.pdkjateng.go.id/Data/PEDOMAN-KHUSUS
Diakses tanggal 14 mei 2007

GURU PENDIDIKAN JASMANI PROFESIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasional

Menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional tidak semudah yang dibayangkan orang selama ini. Salah jika ada yang menganggap mereka hanya dengan modal peluit bisa menjadi guru pendidikan jasmani di sekolah. Bahkan sebaliknya, bahwa untuk menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional akan lebih sulit dibanding menjadi guru mata pelajaran yang lain. Hal ini disebabkan bahwa mata pelajaran pendidikan jasmani lebih kompleks permasalahannya dibanding dengan mata pelajaran yang lain. Oleh sebab itu tidak bisa guru mata pelajaran lain diminta untuk mengajar mata pelajaran pendidikan jasmani atau sebaliknya.
Profesi guru pendidikan jasmani secara umum sama dengan guru mata pelajaran yang lain pada umumnya, namun secara khusus ada letak perbedaan yang prinsip dan ini merupakan ciri khas tersendiri. Profesionalisasi tenaga kependidikan menjadi kebutuhan yang utama dalam masyarakat jika masyarakat itu sendiri mengakuinya. Tenaga kependidikan khususnya guru sangat diakui oleh masyarakat jika guru tersebut mempunyai tingkat kredibilitas yang tinggi, yaitu komitmen, dapat dipercaya, dan profesional dalam bidangnya. Begitu pentingnya profesionalisasi, maka di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) ditawarkan matakuliah Persiapan Profesi Guru, sebagai salah satu matakuliah yang wajib diikuti oleh para mahasiswa calon guru.
Kebutuhan guru pendidikan jasmani yang profesional sangat tinggi, dalam rangka menanggapi tantangan zaman modern. Seiring dengan itu banyak dinyatakan beberapa praktisi bahwa guru pendidikan jasmani secara umum belum menunjukkan profesionalnya. Hal itu dapat diberikan beberapa contoh yaitu: guru mengajar hanya duduk di pinggir lapangan, sedangkan siswa suruh latihan sendiri tanpa ada motivasi, penghargaan, dan perhatian yang serius. Contoh yang lain guru mengajar hanya secara tradisional yaitu tanpa menggunakan media dan metode yang sesuai dengan yang seharusnya.
Guru pendidikan jasmani tugasnya tidak hanya menyampaikan materi yang bersifat fisik dan motorik saja, melainkan semua ranah harus tersampaikan pada siswanya melalui pembelajaran dan pendidikan yang utuh. Manajemen kelas merupakan kelemahan secara umum bagi guru pendidikan jasmani ketika mengajar. Padahal terkait dengan manajemen kelas merupakan salah satu syarat yang mutlak untuk keberhasilan pembelajaran. Untuk membekali calon guru pendidikan jasmani yang profesional, maka perlu mendapatkan bahan-bahan yang terkait dengan profesinya, salah satunya matakuliah Persiapan Profesi Guru Pendidikan Jasmani.

B. Definisi dan Makna
1. Tuntutan Profesionalisme
Seseorang guru pendidikan jasmani saat sekarang dan mendatang sangat dituntut profesionalismenya. Hal ini selaras dengan persaingan dalam beberapa aspek, yaitu aspek sosial, teknologi, dan kemanusiaan, karena persyaratan kemampuan seseorang yang profesional untuk melakukan pekerjaan semakin meningkat. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah ditanamkan oleh dosen kepada calon guru masih sangat terbatas, oleh sebab itu para mahasiswa calon guru agar selalu dapat meningkatkan kemandiri-annya untuk mengembangkan dan menuju ke arah profesional. Negara manapun di dunia ini pasti menginginkan guru dan SDM yang profesional, apalagi di negara maju. Di Indonesia saat sekarang sangat dituntut guru yang memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS ) juga guru yang beriman dan bertaqwa (IMTAQ)
Guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensinya baik ranah afektif, kognitif, maupun fisik dan psikomotorik. Guru juga orang yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didiknya dalam pertumbuhan dan perkembangannya agar dapat mencapai tingkat kedewasaan serta mampu mandiri dalam memenuhi tugas sebagai manusia hamba Tuhan.
Dalam buku berjudul Kiat Menjadi Guru Profesional karangan Muhammad Nurdin telah dijelaskan bahwa ada 9 syarat yang harus ditempuh untuk menjadi guru yang profesional yaitu: Pertama, sehat jasmani dan rokhani, ini akan membuat seorang guru dapat melaksanakan proses pembelajaran tanpa ada gangguan dari segi jasmani dan rokhani, apalagi untuk guru pendidikan jasmani hal ini merupakan syarat yang mutlak. Kedua, bertaqwa, yaitu bahwa guru yang bertaqwa akan memberikan keteladanan kepada para peserta didiknya, sehingga dapat ditiru oleh peserta didiknya. Ketiga, berpenge-tahuan yang luas, artinya wajib bagi guru untuk selalu mengikuti perkembangan IPTEKS, mengingat perkembangan pada masa sekarang begitu pesat. Keempat, berlaku adil, sehingga tidak membedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Sebagai guru pendidikan jasmani juga harus memberikan layanan kepada semua peserta didik, apakah peserta didik tersebut normal atau mengalami kecacatan. Jika ada peserta didik yang cacat maka pemberian layanannya disesuaikan dengan sifat kecacatannya, apakah tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, maupun tuna netra. Kelima, berwibawa, di sini dimaksudkan agar guru berpenampilan yang dapat menimbulkan wibawa dan rasa hormat sehingga peserta didik mendapat pengayoman dan perlindungan. Sekaligus para peserta didik tidak akan mengabaikan apa saja yang menjadi keputusan seorang guru. Keenam, ikhlas, sehingga pekerjaan yang dilakukan bukanlah sebuah sebuah beban melainkan merupakan amanah yang wajib dilaksanakan dengan tulus ikhlas agar mendapatkan pahala. Guru yang melaksanakan tugas dengan rasa ikhlas lahir batin akan dapat memudahkan untuk masuk sorga, karena manusia meninggal hanya ada tiga perkara yang dibawa, yaitu anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat, dan amal jariyah. Guru yang setiap hari menyampaikan ilmu yang bermanfaat kepada peserta didik akan memiliki bekal ilmu yang bermanfaat. Ketujuh, memiliki tujuan Rabbani, artinya segala sesuatu harus bersandar pada Allah swt. Tuhan yang Mahaesa dan selalu mentaatinya, mempunyai keyakinan bahwa manusia hanya dapat merencanakan dan melaksanakan, sedangkan semua keputusan dan takdir hanya dari Tuhan Allah swt.. Kedelapan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan. Seorang guru yang profesional harus dapat membuat rancangan sesuai kaidah yang berlaku dan dapat melaksanakannya dengan baik. Kesembilan, menguasai bidang yang ditekuni. Guru pendidikan jasmani harus benar-benar menguasai tentang hakikat pendidikan jasmani, baik aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikapnya.

2. Definisi Profesi
Istilah profesi semakin populer sejalan dengan semakin kuatnya tuntutan kemampuan profesional dalam pekerjaan. Apapun jenis maupun bentuk pekerjaannya, kemampuan profesional telah menjadi kebutuhan individu. Secara etimologi profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa Latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Penyandang profesi boleh menyatakan bahwa dia mampu atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu asalkan pengakuannya disertai bukti yang nyata bahwa dia benar-benar mampu melaksanakan suatu pekerjaan yang diklaim sebagai keahliannya. Namun pengakuan itu idealnya berasal dari masyarakat atau pengguna jasa penyandang profesi itu atau berangkat dari karya ilmiah atau produk lain yang dihasilkan oleh penyandang profesi tersebut. Pengakuan itu terutama didasari atas kemampuan konseptual-aplikatif dari penyandang profesi tersebut.
Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental yang dimaksudkan di sini adalah adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis. Merujuk pada definisi ini, pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan manual atau fisikal, meskipun levelnya tinggi, tidak digolongkan dalam profesi. Dengan demikian tidak muncul organisasi profesi, seperti Ikatan Tukang Becak Indonesia, Ikatan Tukang Kayu Indonesia, Ikatan Penganyam Rotan Indonesia, Ikatan Petani Indonesia, dsb. Namun yang ada adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).
Secara sosiologis menurut Vollmer & Mills (1972) bahwa profesi menunjuk pada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang dapat diperoleh, jika pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh. Istilah “ideal” itu hanya ada dalam kata, tidak atau sulit dalam realita, karena sifatnya hanya sebuah abstraksi. Kondisi ideal tidak lebih dari harapan yang tidak selesai karena fenomena yang ada hanya sebatas mendekati hal yang ideal tersebut.
Ada tiga pilar pokok yang ditunjukkan untuk suatu profesi, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Pengetahuan merupakan fenomena yang diketahui dan disistematisasikan sedemikian rupa sehingga memiliki daya prediksi, daya kontrol, dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat yang lebih tinggi, pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang dimiliki oleh seseorang melalui proses belajar. Keahlian bermakna penguasaan substansi keilmuan yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Keahlian juga bermakna kepakaran dalam cabang ilmu tertentu untuk dibedakan dengan kepakaran lainnya. Persiapan akademik mengandung makna bahwa untuk derajat profesional atau memasuki jenis profesi tertentu, diperlukan persyaratan pendidikan khusus, berupa pendidikan prajabatan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan formal, khususnya jenjang perguruan tinggi.

3. Profesional, Profesionalisme, dan Profesionalisasi
Kata profesional merujuk dua hal yaitu: Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, seperti “Agus adalah seorang profesional”. Orang yang profesional biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan dia mengabdi diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya itu. Istilah otonom yang berarti bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh seorang yang menyandang profesi benar-benar sesuai dengan keahliannya. Otonom itu adakalanya berseri, misalnya guru pendidikan jasmani melakukan pekerjaan mulai dari membuat program tahunan, program semester, membuat rancangan pembelajaran, melakukan proses pembelajaran, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran, selanjutnya menetapkan nilai akhir untuk siswanya. Kedua, kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkatan yang tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni yang menjadi ciri tampilan profesional seorang penyandang profesi. Kiat atau seni ini umumnya tidak dapat dipelajari secara khusus meskipun dapat saja diasah melalui latihan. Misalnya, seni guru dalam mengolah pertanyaan kepada siswa, memberikan umpan balik, dan mengemas humor secara tepat selama mengajar. Juga termasuk kemampuan intuitif, yaitu seorang profesional sungguhan seringkali tidak perlu mengumpulkan data terlalu banyak dan lama untuk mengambil kesimpulan atas sebuah fenomena yang dihadapinya.
Profesionalisme berasal dari kata bahasa Inggris profesionalism yang secara leksikal berarti sifat profesi. Orang-orang yang profesional sangat berbeda dengan orang-orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau bekerja dalam satu ruang yang sama. Tidak jarang ada orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dan bekerja pada instansi yang sama, namun kinerjanya berbeda, termasuk pengakuan dari masyarakat yang berbeda pula. Sifat profesional berbeda dengan sifat para profesional atau tidak profesional sama sekali. Sifat yang dimaksud adalah seperti yang dapat ditampilkan dalam perbuatan, bukan hanya dalam kata-kata saja. Untuk menunjukkan seseorang itu profesional adalah dengan perbuatan yang dilakukan bukan hanya dalam kata-kata yang diucapkan saja. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya tersebut.
Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifkasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksentasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan seprofesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik terkini, dsb. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, penataran, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi.

C. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang termaktub di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 1992 tanggal 17 Juli 1992. Dalam PP tersebut pasal 3 ayat 1 sampai 3) disebutkan beberapa jenis tenaga dalam lingkup ketenagaan kependidikan, sebagai berikut :
1. Tenaga kependidikan yang terdiri atas tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, dan penguji.
2. Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, pengajar, dan pelatih.
3. Pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, dan pimpinan satuan pendidikan luar sekolah.
Yang termasuk dalam jenis tenaga kependidikan adalah pengelola sistem pendidikan, seperti kepala kantor dinas pendidikan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Jika hendak diperluas, tenaga kependidikan sesungguhnya termasuk tenaga administratif bidang pendidikan yang berfungsi sebagai subjek yang menjalankan fungsi pendukung pelaksanaan pendidikan.
Secara umum tenaga kependidikan dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu :
Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, penguji, pengajar, dan pelatih.
Tenaga fungsional kependidikan terdiri atas penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang kependidikan, dan pustakawan.
Tenaga teknis kependidikan terdiri atas laboran dan teknisi sumber belajar.
Tenaga pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rector, dan pimpinnan satuan pendidikan luar sekolah.
Tenaga lain yang mengurusi masalah-masalah manajerial atau administrative kependidikan.
Guru pendidikan jasmani merupakan tenaga kependidikan yang sangat dibutuhkan dalam semua jenjang pendidikan yaitu dari pra sekolah hingga sekolah menengah atas, bahkan di perguruan tinggi. Hal ini karena manfaat pendidikan yang sudah diketahui hasilnya, yaitu dalam rangka mendewasakan anak atau siswa, yaitu pendidikan pada semua ranah, ranah afektif, kognitif, fisik, dan psikomotorik. Dalam rangka menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan jasmani sangat dibutuhkan pada semua jenjang pendidikan.

D. Multiperan Guru Pendidikan Jasmani
Tugas, fungsi, dan uraian tugas guru secara umu dapat dirangkum dalam matrik berikut:

TUGAS
FUNGSI
URAIAN TUGAS
I. Mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih

1. Sebagai Pendidik

1.1 Mengembangkan potensi/ kemampuan dasar peserta didik.
1.2 Mengembangkan kepribadian peserta didik.
1.3 Memberikan keteladanan.
1.4 Menciptakan suasana pendidikan yang kondusif.
2. Sebagai Pengajar
2.1 Merencanakan pembelajaran.
2.2 Melaksanakan pembelajaran yang mendidik.
2.3 Menilai proses dan hasil pembelajaran.
3. Sebagai Pembimbing
3.1 Mendorong berkembangnya perilaku positif dalam pembelajaran.
3.2 Membimbing peserta didik memecahkan masalah dalam pembelajaran.
4. Sebagai Pelatih
4.1 Melatih keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam pembelajaran.
4.2 Membiasakan peserta didik berperilaku positif dalam pembelajaran.
II. Membantu pengelolaan dan pengem-bangan program sekolah
5. Sebagai pengembang program
5.1 Membantu mengembangkan program pendidikan sekolah dan hubungan kerjasama intra sekolah.
6. Sebagai pengelola program
6.1 Membantu secara aktif dalam menjalin hubungan dan kerjasama antar sekolah dan masyarakat.
III. Mengembang-kan keprofe-sionalan
7. Sebagai tenaga profesional
7.1 Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional.

Sedangkan secara khusus tugas guru pendidikan jasmani secara nyata sangat kompleks antara lain:

1. Sebagai pengajar
Guru pendidikan jasmani sebagai pengajar tugasnya adalah lebih banyak memberikan ilmu pengetahuan yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah kognitif peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik mendapatkan banyak pengetahuan bagaimana hakikat masing-masing materi.

2. Sebagai pendidik
Guru pendidikan jasmani sebagi pendidik tugasnya adalah lebih banyak memberikan dan menanamkan sikap atau afektif ke peserta didik melalui pembelajaran pendidikan jasmani. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik ditanamkan sikap, agar benar-benar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dengan unsur-unsur sikap : tanggung jawab, jujur, menghargai orang lain, ikut berpartisipasi, rajin belajar, rajin hadir, dan lain-lain.


3. Sebagai pelatih
Guru pendidikan jasmani sebagai pelatih tugasnya adalah lebih banyak memberikan keterampilan dan fisik yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah fisik dan psikomotorik peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik fisik dan keterampilan gerak yang baik.

4. Sebagai pembimbing
Guru pendidikan jasmani sebagai pembimbing tugasnya adalah lebih banyak mengarahkan kepada peserta didik pada tambahan kemampuan para peserta didiknya. Sebagai contoh : membimbing baris berbaris, petugas upacara, mengelola UKS, mengelola koperasi, kegiatan pecinta alam, dan juga membimbing peserta didik yang memiliki masalah atau khusus.













BAB II
PROFESIONALISASI GURU PENDIDIKAN JASMANI

A. Profesionalisasi Guru Pendidikan Jasmani
Pendidikan merupakan salah satu instrumen utama pengembang sumber daya manusia (SDM), maka tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk mengemban tugas mengembangkan SDM. Oleh karena itu siapa saja yang mengemban tugas profesi tenaga kependidikan harus secara kontinyu menjalani profesionalisasi, baik secara formal maupun informal. Di Indonesia saat sekarang sudah dibentuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di setiap propinsi, yang bertugas secara umum bagaimana meningkatkan tenaga kependidikan menjadi bermutu dan profesional.
Menurut R.D. Lansbury dalam Profesionals and Management (1978) (Sudarman Danim, 2002), dalam konteks profesionalisasi, istilah profesionalisasi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik.

1. Pendekatan Karakteristik
Pendekatan ini memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan yang lain. Seorang penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti menjadi bagian integral dalam kehidupannya. Kesimpulan dari para ahli mengenai sifat atau karakteristik profesi sebagai berikut :
Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, termasuk di sini pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki seorang penyandang profesi.
Memiliki pengetahuan spesialisasi, yaitu sebuah kekhususan penguasaan bidang keilmuan tertentu. Contoh: siapa saja bisa menjadi guru, tetapi guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang diperoleh dalam pendidikan tinggi, yaitu guru pendidikan jasmani lulusan dari program studi pendidikan jasmani.
Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien. Jika guru maka kliennya adalah siswa.
Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable. Seorang guru harus memilik teknik berkomunikasi agar mudah dipahami oleh peserta didik, sehingga apa yang disampaikan dapt diserap dengan mudah.
Memiliki kapasitas mengorganisaskan kerja secara mandiri atau self-organization. Istilah mandiri berarti kewenangan akademik melekat pada dirinya, maksudnya bahwa pekerjaannya dapat dilakukan sendiri dengan tanpa harus minta bantuan kepada orang lain.
Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Seorang guru harus siap selalu memberikan layanan yang terbaik kepada para peserta didiknya pada saat diperlukan kapan saja dan di mana saja.
Memiliki kode etik. Guru Indonesia sudah memiliki kode etik guru yaitu :
” Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut :
1) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4) Guru menciptakan suasana sekola sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesionalnya.
7) Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.”
Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunita. Manakala terjadi “malpraktik”, seorang guru penjas harus siap menerima sanksi pidana, sanksi dari masyarakat, atau sanksi dari atasannya. Misalnya mengajar renang karena guru teledor, sehingga terjadi kecelakaan ada siswa yang tenggelam dan meninggal dunia, maka guru tersebut harus bertanggung jawab dan menerima sanksi.
Mempunyai sstem upah atau standar gaji. Guru penjas yang profesional supaya mempunyai sistem upah yang jelas.
Budaya profesional. Budaya profesi dapat berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol untuk profesi lain.

2. Pendekatan Institusional
Pendekatan institusional memandang bahwa profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Maksudnya adalah kemajuan suatu pekerjaan ke arah pencapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya. H.L. Wilensky (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima langkah untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan yaitu:
Memunculkan suatu pekerjaan yang penuh waktu atau full-time, bukan pekerjaan sambilan. Sebutan full-time mengandung arti bahwa penyandang profesi menjadikan suatu pekerjaan tertentu tertentu sebagai pekerjaan utamanya.
Menetapkan sekolah sebagai tempat untuk menjalani proses pendidikan atau pelatihan. Jenis profesi tertentu hanya dihasilkan oleh lembaga tertentu pula, misalnya guru penjas hanya dihasilkan oleh program studi penjas di FIK atau FPOK atau JPOK.
Mendirikan asosiasi profesi. Untuk profesi guru penjas adalah PGRI dan ISORI.
Melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan tersebut. PGRI, misalnya mempunyai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pendiriannya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap guru.
Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan seorang penyandang pekerjaan profesional dalam bekerja.
Sedangkan Wilensky T. Caplow (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima tahap memprofesionalkan suatu pekerjaan sebagai berikut:
Menetapkan perkumpulan profesi. Perkumpulan profesi merupakan sebuah organisasi yang keanggotaannya terdiri atas orang-orang yang seprofesi atau seminat.
Mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pekerjaan itu dibutuhkan oleh masyarakat, umumnya dalam bentuk jasa atau layanan khusus yang bersifat khas.
Menetapkan dan mengembangkan kode etik. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan perilaku. Kode etik bersifat mengikat bagi penyandang profesi, dalam makna bahwa pelanggaran kode etik berarti mereduksi martabat profesinya.
Melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dukungan di sini bermakna pengakuan. Tidak jarang pula suatu atau kelompok profesi mempunyai kekuatan khusus (bargaining power) yang diperhitungkan masyarakat, penguasa, dunia kerja, dll.
Secara bersama mengembangkan fasilitas latihan. Fasilitas latihan merupakan wahana bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju sosok profesi yang sesungguhnya.
Tahap-tahap untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan di atas tidak mutlak dilakukan secara rijid, artinya tidak mutlak harus menetapkan pekerjaan terlebih dahulu, melainkan dapat diawali dengan mendirikan sekolah-sekolah sebagai wahana pendidikan lebih dahulu.



3. Pendekatan Legalistik
Pendekatan legalistik yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh Negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan disebut profesi jika dilindungi undang-undang atau produk hokum yang ditetapkan pemerintah suatu Negara. Menurut M. Friedman (Sudarman Danim, 2002), pengakuan suatu pekerjaan agar menjadi suatu profesi sungguhan dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu:
Registrasi yaitu suatu aktivitas yang jika sesorang ingin melakuakn pekerjaan profesional, terlebh dahulu rencananya harus diregistrasikan pada kantor registrasi milik Negara, dengan persyaratan tertentu yang dibutuhkan oleh profesi tersebut.
Sertifikasi mengandung makna jika hasil penelitian atau persyaratan pendaftaran yang diajukan calon penyandang profesi dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Misalnya calon guru penjas sebelummenjadi guru diadakan tes kompetensi guru penjas, dan setelah lulus mendapatkan sertifikasi.
Lisensi mengandung makna bahwa atas dasar sertifkat yang dimiliki oleh seseorang, barulah orang tersebut memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

B. Tingkat Kemampuan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Untuk mengetahui seseorang guru penjas itu profesional atau tidak, dapat diketahui dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari latar belakang pendidikannya, guru tersebut lulusan dari program studi pendidikan jasmani atau bukan, jika bukan lulusan dari program studi pendidikan jasmani jelas tidak profesional. Jika lukusan dari program studi pendidikan jasmani, dari jenjang DII ; DIII ; atau S1/DIV, jika guru tersebut lulusan DII sesuai dengan PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka termasuk para-profesional. Jika guru tersebut lulusan dari DIII berarti termasuk semi profesional, dan jika guru tersebut lulusan dari DIV/S1 berarti termasuk profesional, baik itu untuk SD/MI ; SMP/MTs ; maupun SMA/MA/SMK. Kedua, penguasan guru terhadap materi ajar, merencanakan pembelajaran, mengelola proses, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, menilai, dan lain-lain lebih lengkap sesuai yang ada pada Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP) di halaman belakang. Dalam hal ini berarti guru pendidikan jasmani harus memiliki standar kompetensi minimal yang baik sesuai SKGP yang ada.
Merujuk pada konsep yang dianut oleh Depdiknas selain SKGP yang ada, maka guru harus memiliki sepuluh standar kompetensi sebagai berikut:
1. mengembangkan kepribadian
2. menguasai landasan kependidikan
3. menguasai bahan pelajaran
4. menyusun program pengajaran
5. melaksanakan program pengajaran
6. menilai hasil dan proses belajar-mengajar
7. menyelengarakan program bimbingan
8. menyelenggarakan administrasi sekolah
9. kerjasama dengan sejawat dan masyarakat
10. menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh guru pendidikan jasmani harus dikembangkan dan ditingkatkan dalam rangka untuk menuju unjuk kerja profesional yang penuh.

C. Guru Pendidikan Jasmani yang Profesional
Untuk menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional, harus memenuhi persyaratan tertentu antara lain harus memiliki kompetensi pokok yaitu: kompetensi kepribadian; kompetensi pedagogik; kompetensi keprofesionalan; dan kompetensi sosial. Lebih detail dalam dilihat pada lampiran 1 halaman 29 tentang Standar Guru Pemula (SKGP) Guru Penjas jenjang S1 dan lampiran 2 halaman 52 tentang Standar Guru Pemula (SKGP) Guru Penjas jenjang DII PGSD Penjas. Guru pendidikan jasmani yang dinyatakan profesional dan akan mendapatkan sertifikat profesi adalah yang memenuhi syarat yaitu: memiliki ijazah S1 atau D4; mengikuti pendidikan profesi yang dinyatakan lulus; memiliki standar kompetensi yang dinyatakan dalam SKGP (lampiran 1).


E. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan
Ada dua jenis pendidikan tenaga kependidikan di Indonesia yaitu:
1. Pendidikan Prajabatan (Pre-service Education)
Pendidikan prajabatan tenaga guru merupakan pendidikan pendidikan persiapan mahasiswa untuk meniti karir dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Menurut Page & Thomas (Sudarman Danim, 2002), pendidikan prajabatan merupakan sebuah istilah yang paling lazim digunakan lembaga pendidikan keguruan, yang merujuk pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga jenjang universiter atau kolese (university or college) pendidikan untuk menyiapkan mahasiswa yang hendak meniti karir dalam bidang pengajaran. Pada intinya bahwa seseorang sebelum menjadi guru harus mengikuti pendidikan guru lebih dahulu melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
2. Pendidikan dalam Jabatan (In-service Education)
Pendidikan dalam jabatan juga disebut pendidikan, pelatihan, dan pengembangan. Pelembagaan pendidikan, pelatihan, dan pengembangan berangkat dari asumsi bahwa sungguhpun guru telah menjalani orientasi ketika meniti karir dan sudah lama bekerja serta memahami seluk beluk pekerjaan, dalam kenyataannya tidak jarang muncul kebiasan buruk dan produktivitas yang rendah. Menurut Siagian, Flippo, dan Handoko (Sudarman Danim, 2002), bahwa sangat perlunya pendidikan, pelatihan, dan pengembangan bagi para guru yang belum memiliki kualifikasi minimal. Selanjutnya Castetter (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan tiga manfaat pengembangan personalia, termasuk guru sbb:
i. peningkatan performansi personalia sesuai dengan posisinya saat sekarang,
ii. pengembangan keterampilan personalia untuk mengantisipasi tugas-tugas baru yang bersifat reformasi,
iii. merangsang pertumbuhan diri personalia bagi penciptaan kepuasan kerja secara individual.
Selain bermanfaat bagi kepentingan pribadi juga bermanfaat bagi kepentingan lembaga. Secara umum pengembangan personalia dilakukan dengan menempuh tahapan-tahapan tertentu, yaitu:
a. menganalisis kebutuhan,
b. merumuskan tujuan dan sasaran,
c. mendesain program,
d. mengimplementasikan dan mendeliverikan program
e. mengevaluasi program
Sedangkan secara umum komponen-komponen pelatihan adalah sbb:
a. penyajian teori,
b. peragaan dan pendemonstrasian keterampilan atau model,
c. praktik yang disimulasikan dan setting kelas,
d. umpan balik terstruktur,
e. umpan balik open-ended,
f. pembekalan untuk aplikasi.
Sudarman Danim (2002), menyatakan bahwa keunggulan dan kelemahan program pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sebagai berikut:
Metode/Teknik Pelatihan
Keunggulan
Kelemahan
Pelatihan instruksi pe-kerjaan
1. Memfasilitasi transfer belajar
2. Tidak memerlukan fasilitas terpisah
1. Terjadi pencampuradukan kinerja
2. Dapat merusak fasilitas
Pemagangan
1. Tidak menggangu pekerjaan nyata
2. Menuntut pelatihan intensif
1. Memerlukan waktu lama
2. Biayanya mahal
3. Dapat saja tak terkait dengan pekerjaan
Internsip/Asistensip
1. Memfasilitasi transfer belajar
2. Memberi gambaran pekerjaan nyata
1. Tidak seperti pekerjaan sesungguhnya
2. Belajar bersifat vikarius
Rotasi pekerjaan
1. Mendapatkan pengalaman tentang pekerjaan
2. Belajar nyata
1. Kurang rasa bertanggung jawab penuh
2. Adakalanya terlalu singkat berada pada pekerjaan tertentu
Perencaan Karir Pribadi
1. Karyawan berpartisipasi dalam pengem-bangan karir
2. Membantu perencanaan suksesi
1. Sangat mungkin kurang sesuai dengan harapan
2. Dapat saja minim manfaatnya
Pelatihan eksekutif
1. Melibatkan pengalaman tingkat tinggi
1. Tidak semua posisi memungkinkan
2. Sangat mungkin biayanya mahal
Asisten kepenyeliaan
1. Informal, terintegrasi dengan pekerjaan
2. Pengalaman yang baik
1. Keefektifan muncul dari penyelia
2. Tidak semua penyelia dapat melakukan-nya
Kursus formal
1. Tidak mahal jika pesertanya banyak
2. Tidak mengganggu pekerjaan
1. Mensyaratkan kemampuan verbal
2. Merintangi transfer belajar
Simulasi
1. Membantu transfer pengalaman dan keterampilan
2. Mengkreasi situasi kerja lebih hidup
1. Tidak selalu dapat meniru situasi riil
Bermain peran
1. Baik untuk keterampilan interpersonal
2. Memberi wawasan kepada yang lain
1. Tidak dapat mengkreasi situasi nyata selama bermain peran

Pelatihan sensitivitas
1. Meningkatkan kesadaran diri
2. Memberi wawasan kepada yang lain
1. Boleh jadi tidak dapat ditransfer dalam pekerjaan
2. Boleh jadi tidak terkait dengan pekerjaan
BAB III
PENGEMBANGAN PROFESIONAL GURU PENDIDIKAN JASMANI

A. Tujuan Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Tujuan pengembangan profesional guru penjas adalah untuk memenuhi tiga kebutuhan yang pokok yaitu: Pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi, serta melakukan adaptasi untuk penyusunan kebutuhan-kebutuhan kemasyarakatan. Hal ini terkait dengan kebutuhan kemasyarakatan guru di tempat mereka berdomisili. Kedua, kebutuhan untuk menemukan cara-cara membantu staf pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Hal ini terkait dengan spirit dan moral guru di sekolah tempat bekerja. Ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong keinginan guru dalam menikmati dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti halnya guru membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan untuk memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.Hal ini sebagai proses seleksi untuk menentukan mutu guru yang akan disertakan dalam berbagai kegiatan pelatihan dan penjenjangan jabatan.
Pengembangan profesional guru dapat diketahui berdasarkan orientasi kebutuhan kemasyarakatan, sekolah, dan individual/perorangan. Pengembangan profesional gurumerasa dibutuhkan manakala para guru itu sendiri belum siap dalam melaksanakan tugas secara profesional, baik guru yang melalui prajabatan maupun guru yang melalui dalam jabatan. Guru yang melalui prajabatan jika masih lemah dalam hal kompetensi yang terkait dengan tugas, maka guru tersebut juga memerlukan program pengembangan profesional.

B. Inisiatif Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Inisiatif pengembangan profesional guru pendidikan jasmani dapat timbul dari dua sebab : Pertama, karena dorongan atau inisiatif dari luar individu guru itu sendiri (ekstrinsik) yaitu dorongan yang berasal dari orang lain. Hal ini kadang-kadang bahkan sering karena keterpaksaan, sehingga kurang baik. Kedua, karena dorongan atau inisiatif dari dalam individu guru itu sendiri (intrinsik), dan inisiatif ini lebih bagus karena akan lebih kuat dan lebih tahan lama dalam hal motivasi dibandingkan dengan dorongan dari luar, karena guru memiliki kesadaran sendiri untuk mengembangkan profesinya.

C. Pandangan Praktisi Pendidikan Terhadap Jabatan Guru Pendidikan Jasmani
Para praktisi pendidikan menyatakan bahwa profesi guru pendidikan jasmani merupakan profesi yang mulia, sehingga harus para guru harus benar-benar bersedia untuk mengembangkan profesinya dalam rangka memenuhi kebutuhan minimal dalam tugasnya sebagai guru. Perlunya para guru saling berkunjung ke sekolah untuk memperoleh tambahan pengalaman dalam hal pembelajaran pendidikan jasmani secara khusus, maupun tugas guru pendidikan jasmani secara umum. Para guru yang mengikuti kegiatan pengembangan profesi masih banyak yang tidak nampak perbedaannya, karena mereka kurang peduli dan kurang merasa butuh. Hal ini dapat berakibat pada kinerja guru itu sendiri yaitu kurang profesionalnya kualitas guru tersebut.
Ada beberapa hal untuk meningkatkan mutu pengembangan profesional guru pendidikan jasmani yaitu :
Tugas-tugas atau kegiatan pendidikan dalam jabatan yang berkelanjutan dapat mengembankan kompetensi profesional guru secara reguler, meningkatkan mutu sekolah, dan memperkaya khasanah kehidupan individual guru.
Banyak hasil penelitian bidang pendidikan dalam jabatan yang bermutu sehingga dapat diaplikasikan oleh para guru.
Latihan meneliti merupakan salah satu langkah awal bagi guru untuk mengembangkan profesionalitasnya.
Guru merupakan peserta pelatihan pengembangan yang lebih efektif dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan secara umum.
Lingkungan sekolah yang kondusif merupakan factor utama dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.
Adanya hubungan yang baik antara sekolah, masyarakat, dan orang tua siswa, sehingga kehidupan sekolah benar-benar sehat.
Guru yang aktif dan kreatif akan lebih berhasil dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikannya.

D. Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani di Pedesaan
Tujuan utama pengembangan profesional guru pendidikan jasmani di pedesaan atau daerah pinggiran adalah untuk meningkatkan kualitas proses pembuatan keputusan pendidikan dengan berbagai cara yaitu:
Guru penjas di pedesaan agar dapat mengurangi atau meghilangkan keterasingan dengan cara salah satunya adalah dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lingkungan sekolah pedesaan.
2. Guru penjas di pedesaan agar dapat mengembangkan kemanjuran sistem sosial, artinya bagaimana supaya guru penjas di pedesaan bisa berbaur dengan masyarakat luas di lingkungan sekolah pedesaan.
3. Agar dapat memperluas hubungan dengan masyarakat di lingkungan sekolah pedesaan.
4. Melakukan kegiatan-kegiatan yang terintegrasi antara sekolah dengan masyarakat, sehingga masyarakat merasa dilibatkan dalam kegiatan sekolah.
5. Menciptakan kebutuhan-kebutuhan local yang sesuai dengan focus dan tindakan yang akan dilakukannya.















BAB IV
PROFESIONALISASI CALON KEPALA SEKOLAH

Kepala sekolah merupakan jabatan yang mengandung konsekuensi tanggung jawab dalam lingkungan keberadaan suatu sekolah. Seseorang akan menjadi kepala sekolah ada dua cara, yaitu pertama melalui pendidikan formal calon kepala sekolah, dan yang kedua karena menduduki pangkat dan golongan tertentu serta mampu sehingga diangkat menjadi kepala sekolah. Menurut Harbison & Myers (Sudarman Danim, 2002), ada empat jalur pengembangan SDM, yaitu: Pertama, jalur pendidikan formal menurut jenjang dan jenisnya. Kedua, pelatihan dalam jabatan pelatihan informal yang dilembagakan. Ketiga, jalur pengembangan diri (self-development) untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan kapasitas kerja yang lebih besar. Keempat, melalui peningkatan mutu kesehatan populasi, seperti program layanan medis, layanan kesehatan publik, perbaikan nutrisi, dan sebagainya. Sampai dengan saat ini di Indonesia belum mengacu salah satu pendekatan yang di atas. Lagi pula belum dilakukannya pengangkatan kepala sekolah yang secara khusus menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh negara dengan menempuh langkah-langkah sistematis seperti registrasi, sertifikasi, dan lisensi.
Sesuai dengan PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan, kebijakan pengangkatan kepala sekolah semakin jelas. Selanjutnya diperkuat dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 085//1994 tanggal 14 April 1994 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Sekolah di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Kemendikbud tersebut antara lain berisi:
syarat-syarat pengangkatan kepala sekolah;
masa jabatan kepala sekolah ;
proses identifikasi lowongan kepala sekolah, pengadaan calon dan pengangkatannya.
Selanjutnya Kepmendikbud juga menetapkan tentang :
tata cara penilaian kepala sekolah;
tata cara pemberhentian dan perpanjangan masa jabatan kepala sekolah ;
kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah.

A. Pendidikan Khusus Calon Kepala Sekolah
Pengangkatan kepala sekolah di Indonesia pada awalnya menonjolkan proses pembiakan daripada didasarkan atas pendekatan karir atas dasar pendidikan yang dikhususkan untuk jabatan itu. Kepala sekolah dipilih dan diangkat dari tenaga guru yang memiliki masa kerja dan pangkat/golongan tertentu, tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan yang dikhususkan sebagai kepala sekolah. Pembinaan dan pengembangan itu sendiri hanya dilakukan secara insidental melalui pelatihan, penataran, lokakarya, rapat dinas, dan yang lain.
Persiapan untuk menjadi kepala sekolah dan pengawas telah diatur dalam PP No. 30 Tahun 1992 Pasal 20 ayat (1) sampai dengan (3) yang berbunyi sbb:
Tenaga kependidikan yang ditugaskan untuk bekerja sebagai pengelola satuan pendidikan dan pengawas pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipilih dari kalangan guru.
Tenaga kependidikan yang akan ditugaskan untuk bekerja sebagai pengelola satuan pendidikan dan penilik di jalur pendidikan luar sekolah dipilih dari kalangan tenaga pendidik.
Calon tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipersiapkan melalui pendidikan khusus.

B. Kepala Sekolah yang Profesional
Tugas kepala sekolah sangatlah kompleks, sehingga tidak mungkin berjalan dengan baik jika tidak dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang profesional. Dengan kata lain kepala sekolah yang profesional sangat diperlukan dalam memimpin sekolah agar dapat berjalan dengan baik. Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan beberapa kemampuan profesional yang harus ditunjukkan oleh kepala sekolah, yaitu :
Kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya selaku unit kehadiran siswa.
Kemampuan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan konseptual, manusiawi, dan teknis pada kedudukan dari jenis ini.
Kemampuan untuk memotivasi para bawahan untuk bekerja sama secara sukarela dalam mencapai maksud-maksud unit dan organisasi.
Kemampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan sosial, ekonomis, politik, dan educational ; arti yang mereka sumbangkan kepada unit ; untuk memulai dan memimpin perubahan-perubahan yang cocok di dalam unit didasarkan atas perubahan-perubahan sosial yang luas.
Banyak kepala sekolah karena tidak dipersiapkan dengan baik untuk menjadi kepala sekolah, sehingga sangat rendah pemahamannya dalam menghadapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan. Mereka melakukan pola hubungan cenderung bersifat bapakisme, feodalisme, dan otoritatif. Selanjutnya selain ke empat kemampuan profesional tersebut, untuk menjadi kepala sekolah yang profesional juga harus memiliki tiga jenis keterampilan yaitu:
Keterampilan teknis (technical skill), ini paling penting bagi administrator level bawah atau sekolah. Keterampilan ini mencakup pemahaman menyeluruh seorang kepala sekolah dan kepiawaiannya dalam hal metode, proses, prosedur, dan teknik-teknik pendidikan. Dilihat dari segi non-instruksional, keterampilan teknis meliputi pengetahuan khusus tentang keuangan, akuntansi, penjadwalan, pembelajaran, konstruksi, dan pemeliharaan fasilitas. Keterampilan teknis keadministrasian yang harus dimiliki oleh kepala sekolah ada dua yaitu keterampilan manajerial dan keterampilan teknis operasional. Keterampilan teknis manajerial terdiri atas:
a. pemahaman yang luas terhadap seluruh operasi sekolah dalam hubungan dengan semua tuntutan teknis yang dihadapi,
b. pemahaman terhadap manajemen keorganisasian,
c. pemahaman yang luas tentang berbagai teknologi pendidikan dan organisasi.
Sedangkan keterampilan teknis operasional, kepala sekolah dituntut untuk memiliki pemahaman yang luas mengenai masalah ketatalaksanaan, proses dan prosedur manajemen kelas, menciptakan disiplin siswa, dan teknik membuat keputusan yang efektif. Keterampilan ini biasanya diperoleh melalui pendidikan dan latihan, pengalaman kerja, dan ketekunan atau motivasi untuk berkembang.
Keterampilan melakukan hubungan-hubungan kemanusiaan (human skill). Keterampilan diperlukan oleh administrator sekolah, mengingat adminitrasi merupakan proses sosial yang memadukan dimensi kelembagaan dengan dimensi pribadi. Dimensi kelembagaan mengandung makna unsur-unsur formal yang melekat pada status kepala sekolah yang memang berhubungan. Sedangkan dimensi pribadi mengandung makna unsur-unsur pribadi tempat kepala sekolah yang dikaitkan dengan unsur-unsur pribadi tempat kepala sekolah itu berhubungan. Dalam kaitannya dengan hubungan manusiawi, kepala sekolah dituntut untuk dapat melakukan secara efisien dan efektif, sehingga kinerja di sekolah benar-benar menjadi nyaman dan lancar.
Keterampilan konseptual (conceptual skill). Keterampilan ini berkaitan dengan cara kepala sekolah memandang sekolah, keterkaitan sekolah dengan struktur di atasnya dan dengan masyarakat, serta program kerja sekolah secara keseluruhan. Pekerjaan kepala sekolah di sini adalah bagaimana membuat konsep, sebagai suatu proses kerja, administrasi sekolah yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan dengan initi kegiatan membuat keputusan.
Kepala sekolah harus memiliki sifat komitmen dalam menjalankan tugas teknis manajerial yaitu tentang:
a. interpersonal, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin, dan juru runding;
b. informational, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar, dan perantara;
c. decisional, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, disturbance-hander, pengalokasi sumber-sumber, dan negosiator.

C. Alternatif Program dan Kurikulum
Menurut Gibson dan Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), pendidikan prajabatan minimal bagi kepala sekolah adalah Strata dua (Magister) dengan spesialisasi administrasi/manajemen pendidikan, bahkan sampai Strata tiga (Doktor). Sedangkan di Indonesia persyaratan menjadi guru saja menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan minimal S1/D4, yang diharapkan bisa terealisir paling lambat 15 tahun mendatang. Saat sekarang menurut Standar Sekolah Nasional (SSN), seorang kepala sekolah minimal berlatar belakang pendidikan Strata satu (Sarjana).
Pendidikan kekepalasekolahan penyetaraan diprioritaskan bagi kepala sekolah pendidikan dasar dan menengah yang masih aktif (belum memasuki masa pensiun/masa kerja masih lama), dan juga diprioritaskan kepada kepala sekolah di pedesaan mengingat relatif jauh tertinggal dibanding yang ada di perkotaan. Program penyetaraan bagi para kepala sekolah pendidikan dasar dapat dilakukan secara penuh dan juga secara berjenjang. Secara penuh artinya blocking time system, sedang berjenjang artinya ada tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat lanjut, dan tingkat profesional.
Kurikulum yang ditawarkan dalam kurikulum prajabatan menurut Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), sebagai berikut:
Program Inti yang terdiri atas mata kuliah-matakuliah:
a. Konsep-konsep Administrasi
b. Teori dan Organisasi Pendidikan Nasional
c. Kurikulum dan Supervisi Pengajaran
d. Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan
e. Manajemen Pelayanan Siswa
f. Manajemen Gedung dan Fasilitas
g. Manajemen Ketatalaksanaan Pendidikan
h. Pembiayaan Pendidikan
i. Hubungan Sekolah-Masyarakat
j. Orientasi Profesional dan Penyuluhan
k. Landasan Hukum dan Kebijakan Pendidikan
l. Perencanaan Kelembagaan
m. Kepemimpinan Pendidikan
Komponen Ilmu Penunjang terdiri atas matakuliah-matakuliah:
a. Penelitian Pendidikan
b. Statistika Pendidikan
c. Psikologi Pendidikan
d. Inovasi Pendidikan
e. Evaluasi Pendidikan
f. Ekonomi Pendidikan
Intership terdiri atas:
a. Magang di sekolah dasar bagi calon kepala sekolah dasar
b. Magang di SMP/MTs bagi calon kepala SMP/MTs
c. Magang di SMA/MAN/SMK bagi calon kepala SMA/MAN/SMK
d. Magang di SMA/MAN bagi calon kepala SMA/MAN
e. Magang di SMK bagi calon kepala SMK
Karya Ilmiah terdiri atas:
a. Filsafat Ilmu
b. Skripsi/Tesis/Disertasi

D. Kepala Sekolah dan Inovasi Administrasi Pendidikan
Kepala sekolah adalah guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Untuk melaksanakan tugas kepala sekolah agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat berjalan dengan lancar dan maju, maka harus dilakukan oleh kepala sekolah yang profesional dan berjiwa inovatif, karena tugas kepala sekolah sangat kompleks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh kepala sekolah dalam kepemimpinannya, dan dibantu oleh para guru yang kompeten dan komitmen di sekolah tersebut. Meskipun jabatan kepala sekolah merupakan tugas tambahan, namun kepala sekolah merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap aplikasi prinsip-prinsip administrasi pendidikan yang inovatif di sekolah. Kepala sekolah juga orang yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan sekolah yang dipumpunnya.
Kemajuan dalam administrasi pendidikan dapat dicapai jika administrasi pendidikan tersebut dkelola secara inovatif oleh orang-orang yang senang dan berjiwa inovatif. Di Indonesia secara umum terjadi keterlambatan dalam inovasi pendidikan, sehingga menunda proses menuju lembaga yang efisen dan efektif baik dalam pengeloaan SDM, fasilitas, maupun proses pembelajarannya. Menurut Coombs (Sudarman Danim, 2002), berpendapat bahwa revolusi dalam pendidikan harus diawali dengan revolusi dalam bidang administrasi pendidikan, yang berarti lembaga pendidikan harus dikelola secara administrasi yang inovatif. Sekolah yang dikelola dengan administrasi pendidikan secara inovatif akan mampu menampung dinamika perkembangan yang terjadi di luar sistem pendidikan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat. Hal ini disebabkan karena administrasi pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur lain dalam lembaga pendidikan, misalnya : guru, sarana dan prasarana, keuangan, hubungan sekolah dengan orang tua siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, perencanaan perkembangan sekolah, dll.
























BAB V
JENJANG KEPANGKATAN DAN JABATAN GURU

Guru di Indonesia memiliki kepangkatan dan jabatan tertentu sesuai dengan latar belakang pendidikan (jenjang pendidikan) dan masa kerja, serta kenaikan pangkat yang mereka usulkan. Guru yang rajin dan ulet dalam bekerja, baik dalam bidang pengajaran/pendidikan, penelitian/kara ilmiah, pengabdian masyarakat, dan unsur pendukung/penunjang. Guru dapat mengusulkan kenaikan pangkat pada setiap 2 tahun sekali jika angka kredit yang diperoleh telah memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Dalam kenaikan jabatan/pangkat, seorang guru harus mengumpulkan angka kredit yang diperoleh dari bidang pengajaran/pendidikan berupa mengajar yang ditunjukkan dengan SK mengajar dari Kepala Sekolah, penelitian/kara ilmiah ditunjukkan dengan hasil penelitian atau artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, pengabdian masyarakat dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang telah ditunjukkan dengan SK atau surat tugas, dan unsur pendukung/penunjang dapat ditunjukkan dengan SK panitia atau sertifikat/piagam.

DAFTAR KEPANGKATAN DAN JABATAN GURU DI INDONESIA
PANGKAT DAN GOLONGAN RUANG
JABATAN FUNGSIONAL
KETERANGAN
Pengatur Muda/IIa

Guru Pratama
Lulusan D1
Pengatur Muda Tingkat I/IIb
Guru Pratama Tingkat I
Lulusan D2
Pengatur/IIc
Guru Muda
Lulusan D3
Pengatur Tingkat I/IId
Guru Muda Tingkat I

Penata Muda/IIIa
Guru Madya
Lulusan S1
Penata Muda Tingkat I/IIIb
Guru Madya Tingkat I
Lulusan S2
Penata/IIIc
Guru Dewasa
Lulusan S3
Penata Tingkat I/IIId
Guru Dewasa Tingkat I

Pembina/IVa
Guru Pembina

Pembina Tingkat I/IVb
Guru Pembina Tingkat I

Pembina Utama Muda/IVc
Guru Utama Muda

Pembina Utama Madya/IVd
Guru Utama Madya

Pembina Utama/IVe
Guru Utama


Lebih jelas dan detail dapat dilihat pada lampiran 3 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dikti Depdiknas. (2004). Standar Kompetensi Guru Pemula Prgram Studi Pendidikan Jasmani Jenjang Strata 1. Jakarta: Dikti Depdiknas.

________ .(2005). Standar Kompetensi Guru Pemula Jenjang DI1 Pendidikan Jasmani. Jakarta: Depdiknas.

Hadi Setia Tunggal. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Harvarindo.

Sudarwan Danim. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Mendikbud dan Menpan. (1993). Keputusan Menpan Nomor 84/1993 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Depdikbud.

Nurkolis. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Oemar Hamalik.(2003). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Presiden RI. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Naional Pendidikan. Jakarta: Presiden RI.

_________. (2005). Undang-undang Guru dan Dosen. Jakarta: Sekretaris Presiden RI.

Soeninggjo. (t.t.). Persiapan Profesi Olahraga Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan STO.