Minggu, 11 Januari 2009

GURU PENDIDIKAN JASMANI PROFESIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasional

Menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional tidak semudah yang dibayangkan orang selama ini. Salah jika ada yang menganggap mereka hanya dengan modal peluit bisa menjadi guru pendidikan jasmani di sekolah. Bahkan sebaliknya, bahwa untuk menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional akan lebih sulit dibanding menjadi guru mata pelajaran yang lain. Hal ini disebabkan bahwa mata pelajaran pendidikan jasmani lebih kompleks permasalahannya dibanding dengan mata pelajaran yang lain. Oleh sebab itu tidak bisa guru mata pelajaran lain diminta untuk mengajar mata pelajaran pendidikan jasmani atau sebaliknya.
Profesi guru pendidikan jasmani secara umum sama dengan guru mata pelajaran yang lain pada umumnya, namun secara khusus ada letak perbedaan yang prinsip dan ini merupakan ciri khas tersendiri. Profesionalisasi tenaga kependidikan menjadi kebutuhan yang utama dalam masyarakat jika masyarakat itu sendiri mengakuinya. Tenaga kependidikan khususnya guru sangat diakui oleh masyarakat jika guru tersebut mempunyai tingkat kredibilitas yang tinggi, yaitu komitmen, dapat dipercaya, dan profesional dalam bidangnya. Begitu pentingnya profesionalisasi, maka di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) ditawarkan matakuliah Persiapan Profesi Guru, sebagai salah satu matakuliah yang wajib diikuti oleh para mahasiswa calon guru.
Kebutuhan guru pendidikan jasmani yang profesional sangat tinggi, dalam rangka menanggapi tantangan zaman modern. Seiring dengan itu banyak dinyatakan beberapa praktisi bahwa guru pendidikan jasmani secara umum belum menunjukkan profesionalnya. Hal itu dapat diberikan beberapa contoh yaitu: guru mengajar hanya duduk di pinggir lapangan, sedangkan siswa suruh latihan sendiri tanpa ada motivasi, penghargaan, dan perhatian yang serius. Contoh yang lain guru mengajar hanya secara tradisional yaitu tanpa menggunakan media dan metode yang sesuai dengan yang seharusnya.
Guru pendidikan jasmani tugasnya tidak hanya menyampaikan materi yang bersifat fisik dan motorik saja, melainkan semua ranah harus tersampaikan pada siswanya melalui pembelajaran dan pendidikan yang utuh. Manajemen kelas merupakan kelemahan secara umum bagi guru pendidikan jasmani ketika mengajar. Padahal terkait dengan manajemen kelas merupakan salah satu syarat yang mutlak untuk keberhasilan pembelajaran. Untuk membekali calon guru pendidikan jasmani yang profesional, maka perlu mendapatkan bahan-bahan yang terkait dengan profesinya, salah satunya matakuliah Persiapan Profesi Guru Pendidikan Jasmani.

B. Definisi dan Makna
1. Tuntutan Profesionalisme
Seseorang guru pendidikan jasmani saat sekarang dan mendatang sangat dituntut profesionalismenya. Hal ini selaras dengan persaingan dalam beberapa aspek, yaitu aspek sosial, teknologi, dan kemanusiaan, karena persyaratan kemampuan seseorang yang profesional untuk melakukan pekerjaan semakin meningkat. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah ditanamkan oleh dosen kepada calon guru masih sangat terbatas, oleh sebab itu para mahasiswa calon guru agar selalu dapat meningkatkan kemandiri-annya untuk mengembangkan dan menuju ke arah profesional. Negara manapun di dunia ini pasti menginginkan guru dan SDM yang profesional, apalagi di negara maju. Di Indonesia saat sekarang sangat dituntut guru yang memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS ) juga guru yang beriman dan bertaqwa (IMTAQ)
Guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensinya baik ranah afektif, kognitif, maupun fisik dan psikomotorik. Guru juga orang yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didiknya dalam pertumbuhan dan perkembangannya agar dapat mencapai tingkat kedewasaan serta mampu mandiri dalam memenuhi tugas sebagai manusia hamba Tuhan.
Dalam buku berjudul Kiat Menjadi Guru Profesional karangan Muhammad Nurdin telah dijelaskan bahwa ada 9 syarat yang harus ditempuh untuk menjadi guru yang profesional yaitu: Pertama, sehat jasmani dan rokhani, ini akan membuat seorang guru dapat melaksanakan proses pembelajaran tanpa ada gangguan dari segi jasmani dan rokhani, apalagi untuk guru pendidikan jasmani hal ini merupakan syarat yang mutlak. Kedua, bertaqwa, yaitu bahwa guru yang bertaqwa akan memberikan keteladanan kepada para peserta didiknya, sehingga dapat ditiru oleh peserta didiknya. Ketiga, berpenge-tahuan yang luas, artinya wajib bagi guru untuk selalu mengikuti perkembangan IPTEKS, mengingat perkembangan pada masa sekarang begitu pesat. Keempat, berlaku adil, sehingga tidak membedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Sebagai guru pendidikan jasmani juga harus memberikan layanan kepada semua peserta didik, apakah peserta didik tersebut normal atau mengalami kecacatan. Jika ada peserta didik yang cacat maka pemberian layanannya disesuaikan dengan sifat kecacatannya, apakah tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, maupun tuna netra. Kelima, berwibawa, di sini dimaksudkan agar guru berpenampilan yang dapat menimbulkan wibawa dan rasa hormat sehingga peserta didik mendapat pengayoman dan perlindungan. Sekaligus para peserta didik tidak akan mengabaikan apa saja yang menjadi keputusan seorang guru. Keenam, ikhlas, sehingga pekerjaan yang dilakukan bukanlah sebuah sebuah beban melainkan merupakan amanah yang wajib dilaksanakan dengan tulus ikhlas agar mendapatkan pahala. Guru yang melaksanakan tugas dengan rasa ikhlas lahir batin akan dapat memudahkan untuk masuk sorga, karena manusia meninggal hanya ada tiga perkara yang dibawa, yaitu anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat, dan amal jariyah. Guru yang setiap hari menyampaikan ilmu yang bermanfaat kepada peserta didik akan memiliki bekal ilmu yang bermanfaat. Ketujuh, memiliki tujuan Rabbani, artinya segala sesuatu harus bersandar pada Allah swt. Tuhan yang Mahaesa dan selalu mentaatinya, mempunyai keyakinan bahwa manusia hanya dapat merencanakan dan melaksanakan, sedangkan semua keputusan dan takdir hanya dari Tuhan Allah swt.. Kedelapan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan. Seorang guru yang profesional harus dapat membuat rancangan sesuai kaidah yang berlaku dan dapat melaksanakannya dengan baik. Kesembilan, menguasai bidang yang ditekuni. Guru pendidikan jasmani harus benar-benar menguasai tentang hakikat pendidikan jasmani, baik aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikapnya.

2. Definisi Profesi
Istilah profesi semakin populer sejalan dengan semakin kuatnya tuntutan kemampuan profesional dalam pekerjaan. Apapun jenis maupun bentuk pekerjaannya, kemampuan profesional telah menjadi kebutuhan individu. Secara etimologi profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa Latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Penyandang profesi boleh menyatakan bahwa dia mampu atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu asalkan pengakuannya disertai bukti yang nyata bahwa dia benar-benar mampu melaksanakan suatu pekerjaan yang diklaim sebagai keahliannya. Namun pengakuan itu idealnya berasal dari masyarakat atau pengguna jasa penyandang profesi itu atau berangkat dari karya ilmiah atau produk lain yang dihasilkan oleh penyandang profesi tersebut. Pengakuan itu terutama didasari atas kemampuan konseptual-aplikatif dari penyandang profesi tersebut.
Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental yang dimaksudkan di sini adalah adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis. Merujuk pada definisi ini, pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan manual atau fisikal, meskipun levelnya tinggi, tidak digolongkan dalam profesi. Dengan demikian tidak muncul organisasi profesi, seperti Ikatan Tukang Becak Indonesia, Ikatan Tukang Kayu Indonesia, Ikatan Penganyam Rotan Indonesia, Ikatan Petani Indonesia, dsb. Namun yang ada adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).
Secara sosiologis menurut Vollmer & Mills (1972) bahwa profesi menunjuk pada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang dapat diperoleh, jika pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh. Istilah “ideal” itu hanya ada dalam kata, tidak atau sulit dalam realita, karena sifatnya hanya sebuah abstraksi. Kondisi ideal tidak lebih dari harapan yang tidak selesai karena fenomena yang ada hanya sebatas mendekati hal yang ideal tersebut.
Ada tiga pilar pokok yang ditunjukkan untuk suatu profesi, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Pengetahuan merupakan fenomena yang diketahui dan disistematisasikan sedemikian rupa sehingga memiliki daya prediksi, daya kontrol, dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat yang lebih tinggi, pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang dimiliki oleh seseorang melalui proses belajar. Keahlian bermakna penguasaan substansi keilmuan yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Keahlian juga bermakna kepakaran dalam cabang ilmu tertentu untuk dibedakan dengan kepakaran lainnya. Persiapan akademik mengandung makna bahwa untuk derajat profesional atau memasuki jenis profesi tertentu, diperlukan persyaratan pendidikan khusus, berupa pendidikan prajabatan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan formal, khususnya jenjang perguruan tinggi.

3. Profesional, Profesionalisme, dan Profesionalisasi
Kata profesional merujuk dua hal yaitu: Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, seperti “Agus adalah seorang profesional”. Orang yang profesional biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan dia mengabdi diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya itu. Istilah otonom yang berarti bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh seorang yang menyandang profesi benar-benar sesuai dengan keahliannya. Otonom itu adakalanya berseri, misalnya guru pendidikan jasmani melakukan pekerjaan mulai dari membuat program tahunan, program semester, membuat rancangan pembelajaran, melakukan proses pembelajaran, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran, selanjutnya menetapkan nilai akhir untuk siswanya. Kedua, kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkatan yang tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni yang menjadi ciri tampilan profesional seorang penyandang profesi. Kiat atau seni ini umumnya tidak dapat dipelajari secara khusus meskipun dapat saja diasah melalui latihan. Misalnya, seni guru dalam mengolah pertanyaan kepada siswa, memberikan umpan balik, dan mengemas humor secara tepat selama mengajar. Juga termasuk kemampuan intuitif, yaitu seorang profesional sungguhan seringkali tidak perlu mengumpulkan data terlalu banyak dan lama untuk mengambil kesimpulan atas sebuah fenomena yang dihadapinya.
Profesionalisme berasal dari kata bahasa Inggris profesionalism yang secara leksikal berarti sifat profesi. Orang-orang yang profesional sangat berbeda dengan orang-orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau bekerja dalam satu ruang yang sama. Tidak jarang ada orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dan bekerja pada instansi yang sama, namun kinerjanya berbeda, termasuk pengakuan dari masyarakat yang berbeda pula. Sifat profesional berbeda dengan sifat para profesional atau tidak profesional sama sekali. Sifat yang dimaksud adalah seperti yang dapat ditampilkan dalam perbuatan, bukan hanya dalam kata-kata saja. Untuk menunjukkan seseorang itu profesional adalah dengan perbuatan yang dilakukan bukan hanya dalam kata-kata yang diucapkan saja. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya tersebut.
Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifkasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksentasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan seprofesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik terkini, dsb. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, penataran, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi.

C. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang termaktub di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 1992 tanggal 17 Juli 1992. Dalam PP tersebut pasal 3 ayat 1 sampai 3) disebutkan beberapa jenis tenaga dalam lingkup ketenagaan kependidikan, sebagai berikut :
1. Tenaga kependidikan yang terdiri atas tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, dan penguji.
2. Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, pengajar, dan pelatih.
3. Pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, dan pimpinan satuan pendidikan luar sekolah.
Yang termasuk dalam jenis tenaga kependidikan adalah pengelola sistem pendidikan, seperti kepala kantor dinas pendidikan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Jika hendak diperluas, tenaga kependidikan sesungguhnya termasuk tenaga administratif bidang pendidikan yang berfungsi sebagai subjek yang menjalankan fungsi pendukung pelaksanaan pendidikan.
Secara umum tenaga kependidikan dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu :
Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, penguji, pengajar, dan pelatih.
Tenaga fungsional kependidikan terdiri atas penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang kependidikan, dan pustakawan.
Tenaga teknis kependidikan terdiri atas laboran dan teknisi sumber belajar.
Tenaga pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rector, dan pimpinnan satuan pendidikan luar sekolah.
Tenaga lain yang mengurusi masalah-masalah manajerial atau administrative kependidikan.
Guru pendidikan jasmani merupakan tenaga kependidikan yang sangat dibutuhkan dalam semua jenjang pendidikan yaitu dari pra sekolah hingga sekolah menengah atas, bahkan di perguruan tinggi. Hal ini karena manfaat pendidikan yang sudah diketahui hasilnya, yaitu dalam rangka mendewasakan anak atau siswa, yaitu pendidikan pada semua ranah, ranah afektif, kognitif, fisik, dan psikomotorik. Dalam rangka menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan jasmani sangat dibutuhkan pada semua jenjang pendidikan.

D. Multiperan Guru Pendidikan Jasmani
Tugas, fungsi, dan uraian tugas guru secara umu dapat dirangkum dalam matrik berikut:

TUGAS
FUNGSI
URAIAN TUGAS
I. Mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih

1. Sebagai Pendidik

1.1 Mengembangkan potensi/ kemampuan dasar peserta didik.
1.2 Mengembangkan kepribadian peserta didik.
1.3 Memberikan keteladanan.
1.4 Menciptakan suasana pendidikan yang kondusif.
2. Sebagai Pengajar
2.1 Merencanakan pembelajaran.
2.2 Melaksanakan pembelajaran yang mendidik.
2.3 Menilai proses dan hasil pembelajaran.
3. Sebagai Pembimbing
3.1 Mendorong berkembangnya perilaku positif dalam pembelajaran.
3.2 Membimbing peserta didik memecahkan masalah dalam pembelajaran.
4. Sebagai Pelatih
4.1 Melatih keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam pembelajaran.
4.2 Membiasakan peserta didik berperilaku positif dalam pembelajaran.
II. Membantu pengelolaan dan pengem-bangan program sekolah
5. Sebagai pengembang program
5.1 Membantu mengembangkan program pendidikan sekolah dan hubungan kerjasama intra sekolah.
6. Sebagai pengelola program
6.1 Membantu secara aktif dalam menjalin hubungan dan kerjasama antar sekolah dan masyarakat.
III. Mengembang-kan keprofe-sionalan
7. Sebagai tenaga profesional
7.1 Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional.

Sedangkan secara khusus tugas guru pendidikan jasmani secara nyata sangat kompleks antara lain:

1. Sebagai pengajar
Guru pendidikan jasmani sebagai pengajar tugasnya adalah lebih banyak memberikan ilmu pengetahuan yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah kognitif peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik mendapatkan banyak pengetahuan bagaimana hakikat masing-masing materi.

2. Sebagai pendidik
Guru pendidikan jasmani sebagi pendidik tugasnya adalah lebih banyak memberikan dan menanamkan sikap atau afektif ke peserta didik melalui pembelajaran pendidikan jasmani. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik ditanamkan sikap, agar benar-benar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dengan unsur-unsur sikap : tanggung jawab, jujur, menghargai orang lain, ikut berpartisipasi, rajin belajar, rajin hadir, dan lain-lain.


3. Sebagai pelatih
Guru pendidikan jasmani sebagai pelatih tugasnya adalah lebih banyak memberikan keterampilan dan fisik yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah fisik dan psikomotorik peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik fisik dan keterampilan gerak yang baik.

4. Sebagai pembimbing
Guru pendidikan jasmani sebagai pembimbing tugasnya adalah lebih banyak mengarahkan kepada peserta didik pada tambahan kemampuan para peserta didiknya. Sebagai contoh : membimbing baris berbaris, petugas upacara, mengelola UKS, mengelola koperasi, kegiatan pecinta alam, dan juga membimbing peserta didik yang memiliki masalah atau khusus.













BAB II
PROFESIONALISASI GURU PENDIDIKAN JASMANI

A. Profesionalisasi Guru Pendidikan Jasmani
Pendidikan merupakan salah satu instrumen utama pengembang sumber daya manusia (SDM), maka tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk mengemban tugas mengembangkan SDM. Oleh karena itu siapa saja yang mengemban tugas profesi tenaga kependidikan harus secara kontinyu menjalani profesionalisasi, baik secara formal maupun informal. Di Indonesia saat sekarang sudah dibentuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di setiap propinsi, yang bertugas secara umum bagaimana meningkatkan tenaga kependidikan menjadi bermutu dan profesional.
Menurut R.D. Lansbury dalam Profesionals and Management (1978) (Sudarman Danim, 2002), dalam konteks profesionalisasi, istilah profesionalisasi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik.

1. Pendekatan Karakteristik
Pendekatan ini memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan yang lain. Seorang penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti menjadi bagian integral dalam kehidupannya. Kesimpulan dari para ahli mengenai sifat atau karakteristik profesi sebagai berikut :
Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, termasuk di sini pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki seorang penyandang profesi.
Memiliki pengetahuan spesialisasi, yaitu sebuah kekhususan penguasaan bidang keilmuan tertentu. Contoh: siapa saja bisa menjadi guru, tetapi guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang diperoleh dalam pendidikan tinggi, yaitu guru pendidikan jasmani lulusan dari program studi pendidikan jasmani.
Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien. Jika guru maka kliennya adalah siswa.
Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable. Seorang guru harus memilik teknik berkomunikasi agar mudah dipahami oleh peserta didik, sehingga apa yang disampaikan dapt diserap dengan mudah.
Memiliki kapasitas mengorganisaskan kerja secara mandiri atau self-organization. Istilah mandiri berarti kewenangan akademik melekat pada dirinya, maksudnya bahwa pekerjaannya dapat dilakukan sendiri dengan tanpa harus minta bantuan kepada orang lain.
Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Seorang guru harus siap selalu memberikan layanan yang terbaik kepada para peserta didiknya pada saat diperlukan kapan saja dan di mana saja.
Memiliki kode etik. Guru Indonesia sudah memiliki kode etik guru yaitu :
” Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut :
1) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4) Guru menciptakan suasana sekola sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesionalnya.
7) Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.”
Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunita. Manakala terjadi “malpraktik”, seorang guru penjas harus siap menerima sanksi pidana, sanksi dari masyarakat, atau sanksi dari atasannya. Misalnya mengajar renang karena guru teledor, sehingga terjadi kecelakaan ada siswa yang tenggelam dan meninggal dunia, maka guru tersebut harus bertanggung jawab dan menerima sanksi.
Mempunyai sstem upah atau standar gaji. Guru penjas yang profesional supaya mempunyai sistem upah yang jelas.
Budaya profesional. Budaya profesi dapat berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol untuk profesi lain.

2. Pendekatan Institusional
Pendekatan institusional memandang bahwa profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Maksudnya adalah kemajuan suatu pekerjaan ke arah pencapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya. H.L. Wilensky (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima langkah untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan yaitu:
Memunculkan suatu pekerjaan yang penuh waktu atau full-time, bukan pekerjaan sambilan. Sebutan full-time mengandung arti bahwa penyandang profesi menjadikan suatu pekerjaan tertentu tertentu sebagai pekerjaan utamanya.
Menetapkan sekolah sebagai tempat untuk menjalani proses pendidikan atau pelatihan. Jenis profesi tertentu hanya dihasilkan oleh lembaga tertentu pula, misalnya guru penjas hanya dihasilkan oleh program studi penjas di FIK atau FPOK atau JPOK.
Mendirikan asosiasi profesi. Untuk profesi guru penjas adalah PGRI dan ISORI.
Melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan tersebut. PGRI, misalnya mempunyai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pendiriannya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap guru.
Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan seorang penyandang pekerjaan profesional dalam bekerja.
Sedangkan Wilensky T. Caplow (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima tahap memprofesionalkan suatu pekerjaan sebagai berikut:
Menetapkan perkumpulan profesi. Perkumpulan profesi merupakan sebuah organisasi yang keanggotaannya terdiri atas orang-orang yang seprofesi atau seminat.
Mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pekerjaan itu dibutuhkan oleh masyarakat, umumnya dalam bentuk jasa atau layanan khusus yang bersifat khas.
Menetapkan dan mengembangkan kode etik. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan perilaku. Kode etik bersifat mengikat bagi penyandang profesi, dalam makna bahwa pelanggaran kode etik berarti mereduksi martabat profesinya.
Melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dukungan di sini bermakna pengakuan. Tidak jarang pula suatu atau kelompok profesi mempunyai kekuatan khusus (bargaining power) yang diperhitungkan masyarakat, penguasa, dunia kerja, dll.
Secara bersama mengembangkan fasilitas latihan. Fasilitas latihan merupakan wahana bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju sosok profesi yang sesungguhnya.
Tahap-tahap untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan di atas tidak mutlak dilakukan secara rijid, artinya tidak mutlak harus menetapkan pekerjaan terlebih dahulu, melainkan dapat diawali dengan mendirikan sekolah-sekolah sebagai wahana pendidikan lebih dahulu.



3. Pendekatan Legalistik
Pendekatan legalistik yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh Negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan disebut profesi jika dilindungi undang-undang atau produk hokum yang ditetapkan pemerintah suatu Negara. Menurut M. Friedman (Sudarman Danim, 2002), pengakuan suatu pekerjaan agar menjadi suatu profesi sungguhan dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu:
Registrasi yaitu suatu aktivitas yang jika sesorang ingin melakuakn pekerjaan profesional, terlebh dahulu rencananya harus diregistrasikan pada kantor registrasi milik Negara, dengan persyaratan tertentu yang dibutuhkan oleh profesi tersebut.
Sertifikasi mengandung makna jika hasil penelitian atau persyaratan pendaftaran yang diajukan calon penyandang profesi dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Misalnya calon guru penjas sebelummenjadi guru diadakan tes kompetensi guru penjas, dan setelah lulus mendapatkan sertifikasi.
Lisensi mengandung makna bahwa atas dasar sertifkat yang dimiliki oleh seseorang, barulah orang tersebut memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

B. Tingkat Kemampuan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Untuk mengetahui seseorang guru penjas itu profesional atau tidak, dapat diketahui dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari latar belakang pendidikannya, guru tersebut lulusan dari program studi pendidikan jasmani atau bukan, jika bukan lulusan dari program studi pendidikan jasmani jelas tidak profesional. Jika lukusan dari program studi pendidikan jasmani, dari jenjang DII ; DIII ; atau S1/DIV, jika guru tersebut lulusan DII sesuai dengan PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka termasuk para-profesional. Jika guru tersebut lulusan dari DIII berarti termasuk semi profesional, dan jika guru tersebut lulusan dari DIV/S1 berarti termasuk profesional, baik itu untuk SD/MI ; SMP/MTs ; maupun SMA/MA/SMK. Kedua, penguasan guru terhadap materi ajar, merencanakan pembelajaran, mengelola proses, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, menilai, dan lain-lain lebih lengkap sesuai yang ada pada Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP) di halaman belakang. Dalam hal ini berarti guru pendidikan jasmani harus memiliki standar kompetensi minimal yang baik sesuai SKGP yang ada.
Merujuk pada konsep yang dianut oleh Depdiknas selain SKGP yang ada, maka guru harus memiliki sepuluh standar kompetensi sebagai berikut:
1. mengembangkan kepribadian
2. menguasai landasan kependidikan
3. menguasai bahan pelajaran
4. menyusun program pengajaran
5. melaksanakan program pengajaran
6. menilai hasil dan proses belajar-mengajar
7. menyelengarakan program bimbingan
8. menyelenggarakan administrasi sekolah
9. kerjasama dengan sejawat dan masyarakat
10. menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh guru pendidikan jasmani harus dikembangkan dan ditingkatkan dalam rangka untuk menuju unjuk kerja profesional yang penuh.

C. Guru Pendidikan Jasmani yang Profesional
Untuk menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional, harus memenuhi persyaratan tertentu antara lain harus memiliki kompetensi pokok yaitu: kompetensi kepribadian; kompetensi pedagogik; kompetensi keprofesionalan; dan kompetensi sosial. Lebih detail dalam dilihat pada lampiran 1 halaman 29 tentang Standar Guru Pemula (SKGP) Guru Penjas jenjang S1 dan lampiran 2 halaman 52 tentang Standar Guru Pemula (SKGP) Guru Penjas jenjang DII PGSD Penjas. Guru pendidikan jasmani yang dinyatakan profesional dan akan mendapatkan sertifikat profesi adalah yang memenuhi syarat yaitu: memiliki ijazah S1 atau D4; mengikuti pendidikan profesi yang dinyatakan lulus; memiliki standar kompetensi yang dinyatakan dalam SKGP (lampiran 1).


E. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan
Ada dua jenis pendidikan tenaga kependidikan di Indonesia yaitu:
1. Pendidikan Prajabatan (Pre-service Education)
Pendidikan prajabatan tenaga guru merupakan pendidikan pendidikan persiapan mahasiswa untuk meniti karir dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Menurut Page & Thomas (Sudarman Danim, 2002), pendidikan prajabatan merupakan sebuah istilah yang paling lazim digunakan lembaga pendidikan keguruan, yang merujuk pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga jenjang universiter atau kolese (university or college) pendidikan untuk menyiapkan mahasiswa yang hendak meniti karir dalam bidang pengajaran. Pada intinya bahwa seseorang sebelum menjadi guru harus mengikuti pendidikan guru lebih dahulu melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
2. Pendidikan dalam Jabatan (In-service Education)
Pendidikan dalam jabatan juga disebut pendidikan, pelatihan, dan pengembangan. Pelembagaan pendidikan, pelatihan, dan pengembangan berangkat dari asumsi bahwa sungguhpun guru telah menjalani orientasi ketika meniti karir dan sudah lama bekerja serta memahami seluk beluk pekerjaan, dalam kenyataannya tidak jarang muncul kebiasan buruk dan produktivitas yang rendah. Menurut Siagian, Flippo, dan Handoko (Sudarman Danim, 2002), bahwa sangat perlunya pendidikan, pelatihan, dan pengembangan bagi para guru yang belum memiliki kualifikasi minimal. Selanjutnya Castetter (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan tiga manfaat pengembangan personalia, termasuk guru sbb:
i. peningkatan performansi personalia sesuai dengan posisinya saat sekarang,
ii. pengembangan keterampilan personalia untuk mengantisipasi tugas-tugas baru yang bersifat reformasi,
iii. merangsang pertumbuhan diri personalia bagi penciptaan kepuasan kerja secara individual.
Selain bermanfaat bagi kepentingan pribadi juga bermanfaat bagi kepentingan lembaga. Secara umum pengembangan personalia dilakukan dengan menempuh tahapan-tahapan tertentu, yaitu:
a. menganalisis kebutuhan,
b. merumuskan tujuan dan sasaran,
c. mendesain program,
d. mengimplementasikan dan mendeliverikan program
e. mengevaluasi program
Sedangkan secara umum komponen-komponen pelatihan adalah sbb:
a. penyajian teori,
b. peragaan dan pendemonstrasian keterampilan atau model,
c. praktik yang disimulasikan dan setting kelas,
d. umpan balik terstruktur,
e. umpan balik open-ended,
f. pembekalan untuk aplikasi.
Sudarman Danim (2002), menyatakan bahwa keunggulan dan kelemahan program pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sebagai berikut:
Metode/Teknik Pelatihan
Keunggulan
Kelemahan
Pelatihan instruksi pe-kerjaan
1. Memfasilitasi transfer belajar
2. Tidak memerlukan fasilitas terpisah
1. Terjadi pencampuradukan kinerja
2. Dapat merusak fasilitas
Pemagangan
1. Tidak menggangu pekerjaan nyata
2. Menuntut pelatihan intensif
1. Memerlukan waktu lama
2. Biayanya mahal
3. Dapat saja tak terkait dengan pekerjaan
Internsip/Asistensip
1. Memfasilitasi transfer belajar
2. Memberi gambaran pekerjaan nyata
1. Tidak seperti pekerjaan sesungguhnya
2. Belajar bersifat vikarius
Rotasi pekerjaan
1. Mendapatkan pengalaman tentang pekerjaan
2. Belajar nyata
1. Kurang rasa bertanggung jawab penuh
2. Adakalanya terlalu singkat berada pada pekerjaan tertentu
Perencaan Karir Pribadi
1. Karyawan berpartisipasi dalam pengem-bangan karir
2. Membantu perencanaan suksesi
1. Sangat mungkin kurang sesuai dengan harapan
2. Dapat saja minim manfaatnya
Pelatihan eksekutif
1. Melibatkan pengalaman tingkat tinggi
1. Tidak semua posisi memungkinkan
2. Sangat mungkin biayanya mahal
Asisten kepenyeliaan
1. Informal, terintegrasi dengan pekerjaan
2. Pengalaman yang baik
1. Keefektifan muncul dari penyelia
2. Tidak semua penyelia dapat melakukan-nya
Kursus formal
1. Tidak mahal jika pesertanya banyak
2. Tidak mengganggu pekerjaan
1. Mensyaratkan kemampuan verbal
2. Merintangi transfer belajar
Simulasi
1. Membantu transfer pengalaman dan keterampilan
2. Mengkreasi situasi kerja lebih hidup
1. Tidak selalu dapat meniru situasi riil
Bermain peran
1. Baik untuk keterampilan interpersonal
2. Memberi wawasan kepada yang lain
1. Tidak dapat mengkreasi situasi nyata selama bermain peran

Pelatihan sensitivitas
1. Meningkatkan kesadaran diri
2. Memberi wawasan kepada yang lain
1. Boleh jadi tidak dapat ditransfer dalam pekerjaan
2. Boleh jadi tidak terkait dengan pekerjaan
BAB III
PENGEMBANGAN PROFESIONAL GURU PENDIDIKAN JASMANI

A. Tujuan Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Tujuan pengembangan profesional guru penjas adalah untuk memenuhi tiga kebutuhan yang pokok yaitu: Pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi, serta melakukan adaptasi untuk penyusunan kebutuhan-kebutuhan kemasyarakatan. Hal ini terkait dengan kebutuhan kemasyarakatan guru di tempat mereka berdomisili. Kedua, kebutuhan untuk menemukan cara-cara membantu staf pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Hal ini terkait dengan spirit dan moral guru di sekolah tempat bekerja. Ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong keinginan guru dalam menikmati dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti halnya guru membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan untuk memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.Hal ini sebagai proses seleksi untuk menentukan mutu guru yang akan disertakan dalam berbagai kegiatan pelatihan dan penjenjangan jabatan.
Pengembangan profesional guru dapat diketahui berdasarkan orientasi kebutuhan kemasyarakatan, sekolah, dan individual/perorangan. Pengembangan profesional gurumerasa dibutuhkan manakala para guru itu sendiri belum siap dalam melaksanakan tugas secara profesional, baik guru yang melalui prajabatan maupun guru yang melalui dalam jabatan. Guru yang melalui prajabatan jika masih lemah dalam hal kompetensi yang terkait dengan tugas, maka guru tersebut juga memerlukan program pengembangan profesional.

B. Inisiatif Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Inisiatif pengembangan profesional guru pendidikan jasmani dapat timbul dari dua sebab : Pertama, karena dorongan atau inisiatif dari luar individu guru itu sendiri (ekstrinsik) yaitu dorongan yang berasal dari orang lain. Hal ini kadang-kadang bahkan sering karena keterpaksaan, sehingga kurang baik. Kedua, karena dorongan atau inisiatif dari dalam individu guru itu sendiri (intrinsik), dan inisiatif ini lebih bagus karena akan lebih kuat dan lebih tahan lama dalam hal motivasi dibandingkan dengan dorongan dari luar, karena guru memiliki kesadaran sendiri untuk mengembangkan profesinya.

C. Pandangan Praktisi Pendidikan Terhadap Jabatan Guru Pendidikan Jasmani
Para praktisi pendidikan menyatakan bahwa profesi guru pendidikan jasmani merupakan profesi yang mulia, sehingga harus para guru harus benar-benar bersedia untuk mengembangkan profesinya dalam rangka memenuhi kebutuhan minimal dalam tugasnya sebagai guru. Perlunya para guru saling berkunjung ke sekolah untuk memperoleh tambahan pengalaman dalam hal pembelajaran pendidikan jasmani secara khusus, maupun tugas guru pendidikan jasmani secara umum. Para guru yang mengikuti kegiatan pengembangan profesi masih banyak yang tidak nampak perbedaannya, karena mereka kurang peduli dan kurang merasa butuh. Hal ini dapat berakibat pada kinerja guru itu sendiri yaitu kurang profesionalnya kualitas guru tersebut.
Ada beberapa hal untuk meningkatkan mutu pengembangan profesional guru pendidikan jasmani yaitu :
Tugas-tugas atau kegiatan pendidikan dalam jabatan yang berkelanjutan dapat mengembankan kompetensi profesional guru secara reguler, meningkatkan mutu sekolah, dan memperkaya khasanah kehidupan individual guru.
Banyak hasil penelitian bidang pendidikan dalam jabatan yang bermutu sehingga dapat diaplikasikan oleh para guru.
Latihan meneliti merupakan salah satu langkah awal bagi guru untuk mengembangkan profesionalitasnya.
Guru merupakan peserta pelatihan pengembangan yang lebih efektif dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan secara umum.
Lingkungan sekolah yang kondusif merupakan factor utama dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.
Adanya hubungan yang baik antara sekolah, masyarakat, dan orang tua siswa, sehingga kehidupan sekolah benar-benar sehat.
Guru yang aktif dan kreatif akan lebih berhasil dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikannya.

D. Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani di Pedesaan
Tujuan utama pengembangan profesional guru pendidikan jasmani di pedesaan atau daerah pinggiran adalah untuk meningkatkan kualitas proses pembuatan keputusan pendidikan dengan berbagai cara yaitu:
Guru penjas di pedesaan agar dapat mengurangi atau meghilangkan keterasingan dengan cara salah satunya adalah dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lingkungan sekolah pedesaan.
2. Guru penjas di pedesaan agar dapat mengembangkan kemanjuran sistem sosial, artinya bagaimana supaya guru penjas di pedesaan bisa berbaur dengan masyarakat luas di lingkungan sekolah pedesaan.
3. Agar dapat memperluas hubungan dengan masyarakat di lingkungan sekolah pedesaan.
4. Melakukan kegiatan-kegiatan yang terintegrasi antara sekolah dengan masyarakat, sehingga masyarakat merasa dilibatkan dalam kegiatan sekolah.
5. Menciptakan kebutuhan-kebutuhan local yang sesuai dengan focus dan tindakan yang akan dilakukannya.















BAB IV
PROFESIONALISASI CALON KEPALA SEKOLAH

Kepala sekolah merupakan jabatan yang mengandung konsekuensi tanggung jawab dalam lingkungan keberadaan suatu sekolah. Seseorang akan menjadi kepala sekolah ada dua cara, yaitu pertama melalui pendidikan formal calon kepala sekolah, dan yang kedua karena menduduki pangkat dan golongan tertentu serta mampu sehingga diangkat menjadi kepala sekolah. Menurut Harbison & Myers (Sudarman Danim, 2002), ada empat jalur pengembangan SDM, yaitu: Pertama, jalur pendidikan formal menurut jenjang dan jenisnya. Kedua, pelatihan dalam jabatan pelatihan informal yang dilembagakan. Ketiga, jalur pengembangan diri (self-development) untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan kapasitas kerja yang lebih besar. Keempat, melalui peningkatan mutu kesehatan populasi, seperti program layanan medis, layanan kesehatan publik, perbaikan nutrisi, dan sebagainya. Sampai dengan saat ini di Indonesia belum mengacu salah satu pendekatan yang di atas. Lagi pula belum dilakukannya pengangkatan kepala sekolah yang secara khusus menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh negara dengan menempuh langkah-langkah sistematis seperti registrasi, sertifikasi, dan lisensi.
Sesuai dengan PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan, kebijakan pengangkatan kepala sekolah semakin jelas. Selanjutnya diperkuat dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 085//1994 tanggal 14 April 1994 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Sekolah di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Kemendikbud tersebut antara lain berisi:
syarat-syarat pengangkatan kepala sekolah;
masa jabatan kepala sekolah ;
proses identifikasi lowongan kepala sekolah, pengadaan calon dan pengangkatannya.
Selanjutnya Kepmendikbud juga menetapkan tentang :
tata cara penilaian kepala sekolah;
tata cara pemberhentian dan perpanjangan masa jabatan kepala sekolah ;
kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah.

A. Pendidikan Khusus Calon Kepala Sekolah
Pengangkatan kepala sekolah di Indonesia pada awalnya menonjolkan proses pembiakan daripada didasarkan atas pendekatan karir atas dasar pendidikan yang dikhususkan untuk jabatan itu. Kepala sekolah dipilih dan diangkat dari tenaga guru yang memiliki masa kerja dan pangkat/golongan tertentu, tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan yang dikhususkan sebagai kepala sekolah. Pembinaan dan pengembangan itu sendiri hanya dilakukan secara insidental melalui pelatihan, penataran, lokakarya, rapat dinas, dan yang lain.
Persiapan untuk menjadi kepala sekolah dan pengawas telah diatur dalam PP No. 30 Tahun 1992 Pasal 20 ayat (1) sampai dengan (3) yang berbunyi sbb:
Tenaga kependidikan yang ditugaskan untuk bekerja sebagai pengelola satuan pendidikan dan pengawas pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipilih dari kalangan guru.
Tenaga kependidikan yang akan ditugaskan untuk bekerja sebagai pengelola satuan pendidikan dan penilik di jalur pendidikan luar sekolah dipilih dari kalangan tenaga pendidik.
Calon tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipersiapkan melalui pendidikan khusus.

B. Kepala Sekolah yang Profesional
Tugas kepala sekolah sangatlah kompleks, sehingga tidak mungkin berjalan dengan baik jika tidak dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang profesional. Dengan kata lain kepala sekolah yang profesional sangat diperlukan dalam memimpin sekolah agar dapat berjalan dengan baik. Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan beberapa kemampuan profesional yang harus ditunjukkan oleh kepala sekolah, yaitu :
Kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya selaku unit kehadiran siswa.
Kemampuan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan konseptual, manusiawi, dan teknis pada kedudukan dari jenis ini.
Kemampuan untuk memotivasi para bawahan untuk bekerja sama secara sukarela dalam mencapai maksud-maksud unit dan organisasi.
Kemampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan sosial, ekonomis, politik, dan educational ; arti yang mereka sumbangkan kepada unit ; untuk memulai dan memimpin perubahan-perubahan yang cocok di dalam unit didasarkan atas perubahan-perubahan sosial yang luas.
Banyak kepala sekolah karena tidak dipersiapkan dengan baik untuk menjadi kepala sekolah, sehingga sangat rendah pemahamannya dalam menghadapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan. Mereka melakukan pola hubungan cenderung bersifat bapakisme, feodalisme, dan otoritatif. Selanjutnya selain ke empat kemampuan profesional tersebut, untuk menjadi kepala sekolah yang profesional juga harus memiliki tiga jenis keterampilan yaitu:
Keterampilan teknis (technical skill), ini paling penting bagi administrator level bawah atau sekolah. Keterampilan ini mencakup pemahaman menyeluruh seorang kepala sekolah dan kepiawaiannya dalam hal metode, proses, prosedur, dan teknik-teknik pendidikan. Dilihat dari segi non-instruksional, keterampilan teknis meliputi pengetahuan khusus tentang keuangan, akuntansi, penjadwalan, pembelajaran, konstruksi, dan pemeliharaan fasilitas. Keterampilan teknis keadministrasian yang harus dimiliki oleh kepala sekolah ada dua yaitu keterampilan manajerial dan keterampilan teknis operasional. Keterampilan teknis manajerial terdiri atas:
a. pemahaman yang luas terhadap seluruh operasi sekolah dalam hubungan dengan semua tuntutan teknis yang dihadapi,
b. pemahaman terhadap manajemen keorganisasian,
c. pemahaman yang luas tentang berbagai teknologi pendidikan dan organisasi.
Sedangkan keterampilan teknis operasional, kepala sekolah dituntut untuk memiliki pemahaman yang luas mengenai masalah ketatalaksanaan, proses dan prosedur manajemen kelas, menciptakan disiplin siswa, dan teknik membuat keputusan yang efektif. Keterampilan ini biasanya diperoleh melalui pendidikan dan latihan, pengalaman kerja, dan ketekunan atau motivasi untuk berkembang.
Keterampilan melakukan hubungan-hubungan kemanusiaan (human skill). Keterampilan diperlukan oleh administrator sekolah, mengingat adminitrasi merupakan proses sosial yang memadukan dimensi kelembagaan dengan dimensi pribadi. Dimensi kelembagaan mengandung makna unsur-unsur formal yang melekat pada status kepala sekolah yang memang berhubungan. Sedangkan dimensi pribadi mengandung makna unsur-unsur pribadi tempat kepala sekolah yang dikaitkan dengan unsur-unsur pribadi tempat kepala sekolah itu berhubungan. Dalam kaitannya dengan hubungan manusiawi, kepala sekolah dituntut untuk dapat melakukan secara efisien dan efektif, sehingga kinerja di sekolah benar-benar menjadi nyaman dan lancar.
Keterampilan konseptual (conceptual skill). Keterampilan ini berkaitan dengan cara kepala sekolah memandang sekolah, keterkaitan sekolah dengan struktur di atasnya dan dengan masyarakat, serta program kerja sekolah secara keseluruhan. Pekerjaan kepala sekolah di sini adalah bagaimana membuat konsep, sebagai suatu proses kerja, administrasi sekolah yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan dengan initi kegiatan membuat keputusan.
Kepala sekolah harus memiliki sifat komitmen dalam menjalankan tugas teknis manajerial yaitu tentang:
a. interpersonal, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin, dan juru runding;
b. informational, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar, dan perantara;
c. decisional, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, disturbance-hander, pengalokasi sumber-sumber, dan negosiator.

C. Alternatif Program dan Kurikulum
Menurut Gibson dan Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), pendidikan prajabatan minimal bagi kepala sekolah adalah Strata dua (Magister) dengan spesialisasi administrasi/manajemen pendidikan, bahkan sampai Strata tiga (Doktor). Sedangkan di Indonesia persyaratan menjadi guru saja menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan minimal S1/D4, yang diharapkan bisa terealisir paling lambat 15 tahun mendatang. Saat sekarang menurut Standar Sekolah Nasional (SSN), seorang kepala sekolah minimal berlatar belakang pendidikan Strata satu (Sarjana).
Pendidikan kekepalasekolahan penyetaraan diprioritaskan bagi kepala sekolah pendidikan dasar dan menengah yang masih aktif (belum memasuki masa pensiun/masa kerja masih lama), dan juga diprioritaskan kepada kepala sekolah di pedesaan mengingat relatif jauh tertinggal dibanding yang ada di perkotaan. Program penyetaraan bagi para kepala sekolah pendidikan dasar dapat dilakukan secara penuh dan juga secara berjenjang. Secara penuh artinya blocking time system, sedang berjenjang artinya ada tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat lanjut, dan tingkat profesional.
Kurikulum yang ditawarkan dalam kurikulum prajabatan menurut Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), sebagai berikut:
Program Inti yang terdiri atas mata kuliah-matakuliah:
a. Konsep-konsep Administrasi
b. Teori dan Organisasi Pendidikan Nasional
c. Kurikulum dan Supervisi Pengajaran
d. Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan
e. Manajemen Pelayanan Siswa
f. Manajemen Gedung dan Fasilitas
g. Manajemen Ketatalaksanaan Pendidikan
h. Pembiayaan Pendidikan
i. Hubungan Sekolah-Masyarakat
j. Orientasi Profesional dan Penyuluhan
k. Landasan Hukum dan Kebijakan Pendidikan
l. Perencanaan Kelembagaan
m. Kepemimpinan Pendidikan
Komponen Ilmu Penunjang terdiri atas matakuliah-matakuliah:
a. Penelitian Pendidikan
b. Statistika Pendidikan
c. Psikologi Pendidikan
d. Inovasi Pendidikan
e. Evaluasi Pendidikan
f. Ekonomi Pendidikan
Intership terdiri atas:
a. Magang di sekolah dasar bagi calon kepala sekolah dasar
b. Magang di SMP/MTs bagi calon kepala SMP/MTs
c. Magang di SMA/MAN/SMK bagi calon kepala SMA/MAN/SMK
d. Magang di SMA/MAN bagi calon kepala SMA/MAN
e. Magang di SMK bagi calon kepala SMK
Karya Ilmiah terdiri atas:
a. Filsafat Ilmu
b. Skripsi/Tesis/Disertasi

D. Kepala Sekolah dan Inovasi Administrasi Pendidikan
Kepala sekolah adalah guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Untuk melaksanakan tugas kepala sekolah agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat berjalan dengan lancar dan maju, maka harus dilakukan oleh kepala sekolah yang profesional dan berjiwa inovatif, karena tugas kepala sekolah sangat kompleks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh kepala sekolah dalam kepemimpinannya, dan dibantu oleh para guru yang kompeten dan komitmen di sekolah tersebut. Meskipun jabatan kepala sekolah merupakan tugas tambahan, namun kepala sekolah merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap aplikasi prinsip-prinsip administrasi pendidikan yang inovatif di sekolah. Kepala sekolah juga orang yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan sekolah yang dipumpunnya.
Kemajuan dalam administrasi pendidikan dapat dicapai jika administrasi pendidikan tersebut dkelola secara inovatif oleh orang-orang yang senang dan berjiwa inovatif. Di Indonesia secara umum terjadi keterlambatan dalam inovasi pendidikan, sehingga menunda proses menuju lembaga yang efisen dan efektif baik dalam pengeloaan SDM, fasilitas, maupun proses pembelajarannya. Menurut Coombs (Sudarman Danim, 2002), berpendapat bahwa revolusi dalam pendidikan harus diawali dengan revolusi dalam bidang administrasi pendidikan, yang berarti lembaga pendidikan harus dikelola secara administrasi yang inovatif. Sekolah yang dikelola dengan administrasi pendidikan secara inovatif akan mampu menampung dinamika perkembangan yang terjadi di luar sistem pendidikan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat. Hal ini disebabkan karena administrasi pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur lain dalam lembaga pendidikan, misalnya : guru, sarana dan prasarana, keuangan, hubungan sekolah dengan orang tua siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, perencanaan perkembangan sekolah, dll.
























BAB V
JENJANG KEPANGKATAN DAN JABATAN GURU

Guru di Indonesia memiliki kepangkatan dan jabatan tertentu sesuai dengan latar belakang pendidikan (jenjang pendidikan) dan masa kerja, serta kenaikan pangkat yang mereka usulkan. Guru yang rajin dan ulet dalam bekerja, baik dalam bidang pengajaran/pendidikan, penelitian/kara ilmiah, pengabdian masyarakat, dan unsur pendukung/penunjang. Guru dapat mengusulkan kenaikan pangkat pada setiap 2 tahun sekali jika angka kredit yang diperoleh telah memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Dalam kenaikan jabatan/pangkat, seorang guru harus mengumpulkan angka kredit yang diperoleh dari bidang pengajaran/pendidikan berupa mengajar yang ditunjukkan dengan SK mengajar dari Kepala Sekolah, penelitian/kara ilmiah ditunjukkan dengan hasil penelitian atau artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, pengabdian masyarakat dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang telah ditunjukkan dengan SK atau surat tugas, dan unsur pendukung/penunjang dapat ditunjukkan dengan SK panitia atau sertifikat/piagam.


DAFTAR KEPANGKATAN DAN JABATAN GURU DI INDONESIA
PANGKAT DAN GOLONGAN RUANG
JABATAN FUNGSIONAL
KETERANGAN
Pengatur Muda/IIa

Guru Pratama
Lulusan D1
Pengatur Muda Tingkat I/IIb
Guru Pratama Tingkat I
Lulusan D2
Pengatur/IIc
Guru Muda
Lulusan D3
Pengatur Tingkat I/IId
Guru Muda Tingkat I

Penata Muda/IIIa
Guru Madya
Lulusan S1
Penata Muda Tingkat I/IIIb
Guru Madya Tingkat I
Lulusan S2
Penata/IIIc
Guru Dewasa
Lulusan S3
Penata Tingkat I/IIId
Guru Dewasa Tingkat I

Pembina/IVa
Guru Pembina

Pembina Tingkat I/IVb
Guru Pembina Tingkat I

Pembina Utama Muda/IVc
Guru Utama Muda

Pembina Utama Madya/IVd
Guru Utama Madya

Pembina Utama/IVe
Guru Utama


Lebih jelas dan detail dapat dilihat pada lampiran 3 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dikti Depdiknas. (2004). Standar Kompetensi Guru Pemula Prgram Studi Pendidikan Jasmani Jenjang Strata 1. Jakarta: Dikti Depdiknas.

________ .(2005). Standar Kompetensi Guru Pemula Jenjang DI1 Pendidikan Jasmani. Jakarta: Depdiknas.

Hadi Setia Tunggal. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Harvarindo.

Sudarwan Danim. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Mendikbud dan Menpan. (1993). Keputusan Menpan Nomor 84/1993 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Depdikbud.

Nurkolis. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Oemar Hamalik.(2003). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Presiden RI. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Naional Pendidikan. Jakarta: Presiden RI.

_________. (2005). Undang-undang Guru dan Dosen. Jakarta: Sekretaris Presiden RI.

Soeninggjo. (t.t.). Persiapan Profesi Olahraga Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan STO.

Sabtu, 03 Januari 2009

FILSAFAT MANUSIA

Ditulis oleh Aiter dan Billy

PENDAHULUAN
Banyak tulisan modern sarat dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan ketidak-artian. Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah antara lain karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan, kebencian serta ketidak-manusiawian dan mengakibatkan korban berjuta-juta, ditambah lagi semua pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal. Barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peranan-peranan di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkhianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah apakah kita sebagai pribadi atau sebagai masyarakat, masih sanggup memberikan suatu makna kepada kehidupan kita. Kita berefleksi tentang diri kita sendiri dan tentang pertanyaan eksistensial ini: apakah hidup kita masih mempunyai makna? Dan kalau masih ada makna yang bagaimana?
Dalam tulisan ini kami berusaha untuk menampilkan beberapa filsuf yang representatif berbicara mengenai manusia. Beberapa thema yang penting yang menjadi pokok pembahasan yang digeluti misalnya seperti tentang siapakah manusia (Sokrates), makna tertinggi keberadaan manusia (Plato), esensi atau hakekat manusia (Descartes), eksistensi manusia (Kierkegaard, Sartre), tubuh manusia (Plato, Marcel). Dan akhirnya kami mengakhiri tulisan ini dengan sebuah mini eksegese dari tulisan Paulus kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2) yang menurut hemat kami menjadi jawaban yang mengakhiri semua perdebatan filsuf-filsuf tentang manusia.
PRE-SOKRATES --- SOKRATES
Pada permulaan perkembangan pemikiran filsafat Yunani, tampaknya semata-mata berurusan dengan dunia fisik saja. Kosmologi jelas amat mengungguli penyelidikan-penyelidikan dalam cabang-cabang filsafat lainnya.· Mazhab Milesian mengembangkan filsafat jasmaniah.· Mazhab Pythagorean mengembangkan filsafat matematis. Aliran ini berpendapat bahwa unsur-unsur kualitatif kosmos berasal dari unsur-unsur kuantitatif, yaitu bilangan-bilangan. Mazhab ini juga menaruh perhatian yang dalam pada masalah manusia, tetapi terutama dari sudut keagamaan di dalam kelompok tertutup tempat mereka hidup.·
Para pemikir Eleatik menjadi orang-orang pertama yang menggariskan cita-cita logika. Mereka menegaskan bahwa hanya rasio yang dapat membuka jalan ke arah Ada yang benar dan nyata.· Heraklitos berdiri pada garis perbatasan antara pemikiran kosmologis dan pemikiran antropologis. Dia menolak konsep tentang Ada yang dikemukakan Mazhab Eleatik. Bagi dia, pengenalan indrawi menjadi titik tolak yang terpecaya meskipun ia sangat menjunjung tinggi rasio (logos) sebagai kemampuan untuk mengenal, namun rasio itu sama bergerak dan terlibat dalam proses menjadi seperti segala sesuatu yang ada.·
Protagoras, seorang sofis, mengatakan bahwa bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan kita yang menentukan Ada. Jadi bukan obyektivisme, melainkan subyektivisme. Oleh sebab itu dia berpendapat bahwa "manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya".Meskipun mereka tergolong filsuf alam, namun Heraklitos sudah yakin bahwa mustahil menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia manusia. Kita harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri bila kita hendak tetap menguasai realitas dan memahami maknanya. Oleh sebab itu Heraklitos menyebut seluruh filsafatnya dengan dua kata edizesamen emeoton ("Aku mencari diriku sendiri"). Namun kecendrungan berpikir yang baru ini, baru matang pada masa Sokrates, sehingga persoalan tentang manusia merupakan patokan yang membedakan pemikiran Sokrates dengan pemikiran pre-Sokrates. Ungkapan Sokrates yang sangat terkenal adalah "kenalilah dirimu sendiri". Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Sokrates berkata dalam Apologia, "Hidup yang tidak dikaji" adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Bagi Sokrates, manusia adalah makhluk yang bila disoroti pertanyaan yang rasional dapat menjawab secara rasional pula. Menurut Sokrates, hakekat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri atau pada nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri. Semua hal yang 'ditambahkan dari luar' kepada manusia adalah kosong dan hampa. Kekayaan, pangkat, kemasyhuran dan bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok (adiaphoron). Satu-satunya persoalan adalah kecendrungan sikap terdalam pada hati manusia. Hati nurani merupakan "hal yang tidak dapat memperburuk diri manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam".
PLATO (427 - 347 SM)
Terjadi titik balik dalam kebudayaan dan pemikiran Yunani ketika Plato menafsirkan semboyan "kenalilah dirimu sendiri" (gnothi seauton) dengan cara yang sama sekali baru. Penafsiran ini memunculkan persoalan yang tidak hanya tidak terdapat pada pemikiran pre-Sokrates, tetapi juga di luar jangkauan metode Sokrates sendiri. Untuk memenuhi permintaan orakel Delphi, untuk memenuhi kewajiban religius berupa pengkajian diri serta pengenalan diri, Sokrates mendekati manusia sebagai individu. Pendekatan Sokrates ini oleh Plato dianggap punya keterbatasan-keterbatasan.
Bagi Plato, untuk memecahkan persoalan tersebut kita harus membuat rancangan yang lebih luas. Dalam pengalaman individual, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, rumit dan saling bertentangan, sehingga kita sulit melihatnya secara jelas. Manusia seharusnya dipelajari dari sudut kehidupan sosial dan politis. Menurut Plato, manusia adalah ibarat teks yang sulit, maknanya harus diuraikan oleh filsafat. Tapi dalam pengalaman kita sebagai pribadi, teks itu ditulis dengan huruf-huruf yang terlampau kecil sehingga tidak terbaca. Maka sebagai tugas pertama, filsafat harus 'memperbesar' tulisan-tulisan tersebut. Filsafat hanya dapat mengajukan teori yang memadai tentang manusia apabila sampai pada teori tentang negara. Dalam teori tentang negara, sifat-sifat manusia ditulis dengan huruf-huruf besar. Dalam teori tentang negara, arti 'teks' yang semula tersembunyi seketika muncul, dan apa yang semula kabur dan ruwet menjadi jelas dan dapat dibaca. Namun negara bukanlah segala-galanya, serta negara tidak mencerminkan dan tidak menyerap seluruh aktivitas manusia, meskipun kegiatan manusia dalam perkembangan sejarahnya berhubungan erat dengan bertumbuhnya negara. Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia menggunakan pembagian jiwa atas 3 fungsi, yaitu:· Epithymia (suatu bagian keinginan dalam jiwa).· Thymos, (suatu bagian energik dalam jiwa).· Logos, (suatu bagian rasional dalam jiwa dan sebagai puncak dan pelingkup).
Menurut Plato, negara diibaratkan sebagai Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas 3 bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa, yaitu:· Epithymia, golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang.· Thymos, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit.· Logos, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.Plato juga mengajarkan teori tentang pra-eksistensi jiwa.
Dia mengatakan sebelum kita dilahirkan, atau sebelum kita memperoleh suatu status badani, kita sudah berada sebagai jiwa-jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi di mana kita memandang suatu dunia rohani. Sejak kita dilahirkan, kita berada di bumi dan jiwa kita meringkuk dalam penjara tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Karena penjelmaan dalam tubuh itu, jiwa kita tidak lagi menyadarkan diri dan dengan mendadak tidak lagi menyadari pengetahuan tentang idea-idea dalam dunia kayangan dulu. Dari sini Plato kemudian mengembangkan teori tentang manusia. Manusia pada mulanya adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Jadi, kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Tetapi kita gagal mencapai kehidupan yang sebagaimana mestinya karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea tersebut, sehingga kita langsung terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke dalam tubuh. Kita harus berusaha naik ke atas dan memperoleh perhatian dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu. Akan tetapi kemungkinan untuk mewujudkan makna ini sangat dibatasi karena kita terbelenggu dalam materi. Bagi kita, dunia jasmani dan tubuh menjadi kemungkinan-kemungkinan buruk untuk tersesat lebih jauh lagi dan tenggelam dalam rawa-rawa materi dan sensual. Kemungkinan yang paling jahat ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme radikal) dan kepada benda-benda jasmani (materialisme dan sensualisme). Jadi, bagi manusia, dunia dan tubuh itu bersifat ambivalen, artinya dunia serta tubuh dapat merayu dia ke arah kemungkinan-kemungkinan yang jahat, tetapi dapat juga mendorong dia kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik. Manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Eros memenuhi kita dengan semangat kebersamaan, membebaskan kita dari kesendirian kita, dan mengajak kita ke pesta, musik, tarian, dan permaian. Plato menyebutnya sebagai "bapak segala kehalusan, segala kepuasan dan kelimpahan, segala daya tarik, keinginan dan asmara". Eros mendorong kita semakin tinggi, sehingga kita dapat beralih dari cinta yang kelihatan kepada cinta yang tidak kelihatan, ideal, ilahi. Menurut Plato, kematian hanyalah permulaan suatu reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya sebelumnya. Dalam karyanya: Phaidros, Plato berkata bahwa setelah 10.000 tahun, jiwa akan kembali ke asal usulnya. Jadi menurut pandangan Plato, manusia mempunyai banyak jiwa dan banyak manusia individu.
RENE DESCARTES (1596-1650)
Filsafat Rasionalismenya membawa dampak terhadap pandangan tentang manusia. Pemikiran-pemikiran penting dalam filsafatnya:· Ada dua bentuk realitas yang berbeda, dua "substansi". Yang pertama adalah gagasan (res cogitan), atau "pikiran", dan yang kedua adalah perluasan (res extensa). Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam ruang dan tidak mempunyai kesadaran.· Kedua substansi tersebut tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung pada pikiran à dualisme.·
Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan - itu terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung pada realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara "roh" dan "materi". Pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah. Namun pikiran dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls 'tercela' semacam itu dan bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat. Maka manusia mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul daripada badan.
SÖREN KIERKEGAARD (1813-1855)
Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya:· Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan.·
Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona.· Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif - termasuk agama - harus mendarah daging dalam si individu.·
Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis . Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku ."
Kierkegaard mencarikebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vécue), a real knowledge.· Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius.· Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi seorang hedonis yang sempurna, seorang "perayu" seperti Don Juan, atau seorang yang "sok tahu" dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan teologi).· Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis.· Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang terkoyak-koyak (bandingkan Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Sebagai orang Kristen - ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk - dengan ketidakpastian intelektual yang besar - mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia.
GABRIEL MARCEL (1889-1973)
Salah satu thema utama dalam filsafatnya adalah mengenai tubuh. Beberapa hal yang penting:· Masalah mengenai "mempunyai" dan "Ada" dikaitkan dengan tubuh. Saya mempunyai tubuhku atau saya adalah tubuhku? Tubuhku bagi saya bukan obyek, melainkan selalu melibatkan pengalaman saya sendiri tentang organisme fisis-kimiawi, inilah yang ingin diselidiki oleh Marcel.·
Analogi "saya mempunyai tubuhku" dengan "saya mempunyai anjingku" harus dihentikan karena tiga aspek:
1) antara saya dan tubuhku tidak terdapat struktur qui-quid (subyek yang mempunyai dan yang dipunyai) seperti antara saya dan anjingku;
2) tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing;
3) saya tidak merupakan "yang lain" terhadap tubuhku seperti saya memang merupakan "yang lain" terhadap anjingku.· Tubuh bukanlah alat. Martil berada antara tukang kayu dan papan yang sedang dikerjakan. Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang dikerjakan. Bila saya menulis, tubuh tidak berada antara "aku" dan kertas.· Tubuh adalah "alat absolut", artinya alat yang memungkinkan alat2 tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain.·
Tubuh adalah "prototipe" di bidang "mempunyai", yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain.· Sekalipun demikian saya tidak identik begitu saja dengan tubuhku. Tetapi jelas penengahan antara saya dan tubuhku tidak bersifat instrumental. Marcel menyebutnya sympathetic mediation: penengahan pada taraf "merasakan" (sentir). Saya adalah tubuhku, hanya sejauh saya adalah makhluk yang merasakan.·
Proses "merasakan" harus dimengerti sebagai suatu "message" dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang ditarik antara "di luar" dan "di dalam" harus ditolak karena "menerima" dalam hal perasaan tidak pernah sama dengan "menerima semata-mata pasif". "Menerima" di sini harus dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri; "menerima" seperti tuan rumah menyambut tamu-tamunya. "Merasakan" berarti menerima dalam wilayah yang merupakan wilayah saya.· "Inkarnasi" manusia hanya mungkin karena dengan tubuhku saya berada dalam dunia, bukan saja dalam arti bahwa saya dapat mempengaruhi benda-benda, tetapi juga dalam arti bahwa saya terpengaruhi oleh benda-benda. Dualisme antara "di luar" dan "di dalam" harus ditinggalkan. Inkarnasi itu merupakan titik tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran.
JEAN PAUL SARTRE (1905 -1980)
Manusia merupakan suatu proyek ke masa depan yang tidak mungkin didefinisikan. Manusia adalah sebagaimana ia diperbuat oleh dirinya sendiri. Ia adalah masa depannya. Moral dan etika harus diciptakan oleh manusia sendiri. Kita adalah kebebasan total, "kita dihukum untuk bertindak bebas". Inilah kemegahan dan sekaligus kemalangan bagi kita, sebab kebebasan mengandung juga tanggung-jawab. Kita bertanggung-jawab atas seluruh eksistensi kita dan bahkan kita bertanggung-jawab atas semua manusia karena terus-menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri, kita sekaligus memilih untuk semua orang. Dari tanggung-jawab yang mengerikan ini lahirlah kecemasan atau keputus-asaan. Kita berusaha meloloskan diri dari kecemasan serta keputusasaan itu melalui sikap malafide (mauvaise foi) serta keikhlasan (sincerite), dengan berlagak seolah-olah kita bisa ada sebagaimana seharusnya kita ada dan secara diam-diam menyisipkan suatu identifikasi antara en-soi (Ada-pada-dirinya) dan pour-soi (kesadaran kita).Mungkinkah kehidupan manusia tanpa Tuhan? Apakah hidup manusia masih mempunyai makna? Secara obyektif kehidupan kita memang tidak mempunyai makna sedikitpun dan absurd sama sekali. Kita tidak mempunyai alasan untuk berada. Manusia merupakan une pasion inutile, suatu gairah yang tidak berguna. Namun kita bisa memberi makna kepada kehidupan kita dan dengan itu kehidupan manusiawi sebetulnya baru menjadi mungkin. Jadi seorang manusia dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya. Sartre pernah menyebut orang lain "neraka", tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya sendiri, saya memerlukan orang lain. Jadi Sartre yang sebagai atheis ingin menciptakan suatu way of life yang baru, yaitu semacam moral manusiawi yang baru. Karena saya terikat dengan orang lain, maka kebebasan saya harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain itu. Saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Setelah semua manusia mati, seluruh sejarah umat manusia dapat disingkatkan dengan mengatakan, "begitulah manusia". Akan tetapi, siapakah yang dapat mengetahui serta mengatakan hal itu karena tidak ada lagi manusia? Selama masih ada manusia hidup, selalu terlalu pagi untuk mengatakan "begitulah manusia". Bagi manusia individu, kemungkinan ultimate adalah kematian, tetapi kemungkinan ultimate seluruh umat manusia tidak kita ketahui.
RASUL PAULUS
Kita akan mengkonsentrasikan pandangan Paulus, khususnya dalam suratnya kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2). Di sini Paulus mengaitkan tubuh (sebagai persembahan yang hidup kepada Allah), keberbedaan kita dengan dunia, pembaharuan budi dan mengetahui kehendak Allah (yang baik dan sempurna).·
Berbeda dengan Plato dan Descartes yang cenderung melihat tubuh sebagai penjara jiwa, yang seringkali menghalangi akal sehat yang seharusnya memimpin, berbeda juga dengan Marcel yang cenderung memberhalakan tubuh sebagai "alat absolut" yang tidak dijadikan oleh sesuatu apapun yang lain, maka Paulus menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Di sini kita melihat pandangan yang positif tentang tubuh (bukan sesuatu yang jahat), sekaligus dilarang untuk memberhalakannya, karena Allah sebagai Pencipta tubuh kita berhak untuk memakainya, bahkan "mempunyainya" sebagai "alat" di tangan-Nya.· Berbeda dengan Marcel yang mengatakan bahwa kita seharusnya terbuka terhadap setiap "message" dari luar yang diterima (dirasakan) oleh tubuh, terpengaruhi oleh benda-benda dlsb, Paulus mengatakan agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Permasalahannya di sini bukanlah bahwa kita harus memiliki satu sikap eksistensial berani ditransformasi oleh segala sesuatu "yang lain", melainkan pertanyaan "apa yang mentransformasi kita?" Alkitab mengatakan bahwa transformasi itu terjadi dalam "pikiran" (mind) yang mengenal kehendak Allah. Transformasi pikiran inilah sebenarnya yang dikejar dan didambakan oleh Plato dan yang disebutnya sebagai "kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi". Alkitab tidak pernah mengajarkan agar kita memberikan diri untuk ditransformasi oleh apa saja (asal bersedia ditransformasi), melainkan bahwa yang mentransformasi kita adalah firman Tuhan. Transformasi yang dikerjakan oleh firman Tuhan membuat kita semakin mengerti dan mengenal kehendak Allah. Di sini kita melihat bahwa Alkitab menghendaki pengertian pikiran kita (understanding of our mind) terus-menerus disempurnakan, sehingga menjadi orang kristen yang berkenan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari mengerti dan memikirkan apa yang kita percaya karena di situlah transformasi itu terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, orang kristen seharusnya menjadi seseorang yang memiliki "a mind in love with God". Mind corresponds to the understanding of the truth of God's perfections. Love corresponds to the delight in the worth and beauty of those perfections. God is glorified both by being understood and by being delighted in. He is not glorified so much by one brand of evangelicals who divorce delight from understanding. And he is not glorified so much by another branch of evangelicals who divorce understanding from delight (John Piper, God's Passion for His Glory. Wheaton: Crossway Books, 1998, p.82).·
Plato mengatakan bahwa kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Paulus mengatakan bahwa mengetahui dan dapat membedakan kehendak Allah adalah apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Plato secara samar-samar memiliki pengertian tentang makna ultimate keberadaan manusia, namun Pauluslah yang dipercayakan Tuhan untuk menyatakan apa yang baik itu, yang benar, yang indah, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna yaitu mengetahui kehendak Allah. Dengan mengetahui kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya manusia menemukan makna ultimate keberadaan dirinya.Soli Deo Gloria!
Sumber: gettech.tripod.com/ARSIP/filsafat.htm

Jumat, 02 Januari 2009

Teaching teachers to play and teach games


This study was designed to determine the extent to which a technical and a tactical approach to teaching a basketball unit to physical education teacher education (PETE) students would each affect their games playing abilities, perceived ability to teach, and approach preference forteaching the game. Pre- and post-unit data were collected through videotape of half-court games play, questionnaire and an eight-lesson planning assignment, submitted by the students at unitend.
Within-group adjusted multiple t tests revealed that the tactical group participants improved
significantly in their overall games playing abilities (skill execution, decision-making and
support). They also significantly improved on self-rated questionnaire items pertaining to their
perceived abilities to teach tactics and strategies as well as to use their basketball skills in a games situation. The technical group participants did not improve significantly in their overall games playing abilities but did improve their overall perceived abilities to apply their basketball skills in games settings. Whereas 80% of the technical group (n ¼ 15) chose the tactical approach, the tactical group (n ¼ 15) unanimously applied a tactical approach in their lesson design.

Keywords: Teaching; Games; Physical education teacher education



In recent years there has been some debate among physical education academics
(McMorris, 1998) about the best way to teach games to pupils from their late
primary years through secondary schooling. The dominant, traditional pedagogical
approach in physical education (PE) has been referred to as technical (or behaviouristic)
games teaching (TGT) and is characterized, perhaps unfairly, by its prescription
of isolated drills and de-contextualized practices (Bunker & Thorpe, 1986).
Essentially, the questioning of games teaching has transpired because physical educationalists
have become knowledgeable about, and interested in, alternative tactical
or constructivist approaches that have mainly originated from Bunker and Thorpe’s
teaching games for understanding, the ‘TGfU’ (1982). Although first conceptualized
in the late 1960s at Loughborough University, the TGfU was initially slow to catch on
elsewhere (Holt et al., 2002). Recent writings in journals such as the European Journal
of Physical Education (McMorris, 1998; Mitchell & Oslin, 1999; Turner et al., 2001),
Journal of Physical Education, Recreation and Dance (Berkowitz, 1996; Butler, 1996;
Oslin, 1996; Turner, 1996; Hopper, 2002; Wilson, 2002) and in the Journal of Teaching
in Physical Education (French, Werner, Rink et al., 1996; French, Werner, Taylor
et al., 1996; Griffin & Placek, 2001; Holt et al., 2002; Kirk & MacPhail, 2002), as well
as two international conferences devoted to TGfU-related approaches (2001 in New
Hampshire, USA and 2003 in Melbourne, Australia), suggest that interest in its
varied applications is becoming more prevalent among PETE faculty. A games
concept approach, the ‘GCA’ (Ministry of Education, 1999), is the particular
TGfU-derived application that is the focus of this study. However, there remains
some resistance among field practitioners (McNeill et al., 2004).
The rationale behind the TGfU has been espoused in great detail (Bunker &
Thorpe, 1982, particularly; Butler, 1996; Oslin, 1996; Turner, 1996; Werner et al.,
1996; McMorris, 1998; Almond, 2001; Kirk & MacPhail, 2002; Griffin & Sheehy,
2004). Therefore it requires no further expansion, other than our reminding
readers that the TGfU focuses on teaching games through a conceptual approach,
through concepts, tactics and strategies rather than through a basis of skill, a
technical games teaching approach, or TGT. As with the TGfU, the GCA’s ‘understanding’
focus is developed through small-sided, situational games, whereby pupils
will typically be given opportunities to play a game at lesson-beginning as well as at
lesson-end (Griffin et al., 1997). Skills are not neglected, but should, as necessary,
come into focus in response to the lesson’s opening situational game. Then, a
teacher-led question and answer period focusing on the pupils’ performance follows
this game (Griffin et al., 1997). Ideally, this process should encourage pupils to think
not only about what they did and why, but also about how they might improve
their play through better decision-making. When a skills practice session, based on
how the pupils performed in the initial game follows, pupils are led to appreciate
the relevance of such practice. It is important that this practice phase is developmental
and occurs in a contextualized games form (Almond, 2001; Kirk, 2001; Launder,
2001). Pupils are then given opportunities to apply what they have learned in a
concluding game, similarly structured, or conditioned, as the lesson’s opening.
Although TGT and TGfU approaches involve game play and skill development,
their lesson emphases differ. There have been a number of studies that have compared
technical with tactical teaching outcomes. Several have revealed that there were no
differences between tactical and technical groups when skills execution was examined
within games settings (Turner & Martinek, 1992; Griffin et al., 1995; Mitchell et al.,
1995; Turner, 1996). However, having found that tactical participants executed skills
better within a games setting than did technical counterparts, Turner and Martinek
(1999) suggested that inconsistency in results could be due to variation of intervention
duration across such studies.
Early investigations of decision-making in games teaching have had mixed findings.
Although some indicated that there were no statistical differences between tactical
and technical groups concerning their ability to make decisions in a game situation
(Turner & Martinek, 1992; Mitchell et al., 1995), others found tactical groups to be
superior in this aspect of play (Turner, 1996; Turner & Martinek, 1999).
A study of teaching tennis to undergraduate adult beginners, and the only study
that we found related to undergraduates’ exposure to the tactical approach, found
that those taught through a technical approach improved both technically and tactically
(McPherson & French, 1991). A second group taught from a tactical perspective
improved tactically but not technically until the second half of the unit when direct
skill instruction commenced, but that improvement was not significant.
While much has been written comparing technical and tactical approaches to
teaching games, the focus of this study will be to examine each approach independently
and from the perspective of a population that has been lacking in the literature
up till now—that of PETE students.
Theoretical perspective
The underpinning theoretical perspective of this study is one of situated learning, particularly
as related to adults. This perspective implies that, rather than acquired in a
de-contextualized environment, knowledge and skills are best learned in classrooms in
ways that make sense in workplace environments (Stein, 1998). In other words, skills
and knowledge are best taught and learned in social contexts that resemble real-life
(Lankard, 1995). Moreover, Brown and co-workers (1989) suggested that adult educators
should reduce their roles as content transmitters and become learning facilitators,
promoting the notion of cognitive apprenticeships. Within this process, teachers
make learning explicitly relevant through their setting problems that require adult
learners to discuss, reflect and evaluate among, and for, themselves. Authors of
TGfU-related studies have also mentioned the relevance of the situated learning perspective
(Langley & Knight, 1996; Kirk et al., 2000; Rovegno et al., 2001), albeit with
younger participants than those in our study. Kirk and MacPhail (2002) have argued
that the TGfU model should be considered and interpreted more specifically from a
situated learning perspective. Indeed, see McNeill et al. (2004) for how this notion is
taken up in a study of student teachers’ using a tactical approach on practicum. Other
pertinent issues related to such a revision will be addressed later in this paper. Important
from our view is the contention that PETE students’ prior knowledge and experiences
need to be carefully considered in order to help them deconstruct deeply held
beliefs about games teaching practices (Kirk, 1986). Dewar (1989) found PETE students
to be products of technical PE and sports backgrounds as was the context of our
study (McNeill et al., 2004). She also suggested that undergraduates were satisfied
with those experiences and would choose a custodial approach to teaching and so
maintain the PE status quo of a teacher-driven, technical paradigm. Our argument
is that, if PETE students experience only TGT approaches in their undergraduate
classes and do not have opportunities to appreciate games teaching from a tactical,
understanding perspective, they will likely reproduce the failures of the traditional
approach to which Bunker and Thorpe (1986) alluded. Ennis (1996) also expressed
Teaching teachers to play and teach games 63
concern that pupils were being turned off sports as a consequence of inconsiderate
teachers who were elitist and trapped in a perennialist cycle.
Purpose
Although much has been written about TGfU in relationship to school pupils’ learning
to play, little has been recorded about its use among PETE students. Our study was
designed to investigate teaching approach influences on selected adult player and
teachers’ behaviours, knowledge and values. Its purpose was therefore to determine
the extent to which two different games teaching approaches, specifically (a) tactical
and (b) technical, affected the game playing ability, perceived ability to teach, preferred
teaching approach and lesson design among 30 final year PETE students.
Methods
Although other investigators have compared the efficacy of technical versus tactical
approaches to teaching games (McPherson & French, 1991; Berkowitz, 1996;
Turner, 1996), our intent was to examine each one’s independent worth. We agree
with Rink (2001) and Holt et al. (2002) that research should move beyond the
debate about which is better and focus on that which occurs in the teaching/learning
processes of these approaches. Essentially, this was a quasi-experimental within-group
study. Our major intention of separately using the approaches was to understand how
each facilitated PETE students’ abilities to play the game (basketball) from execution,
decision-making and support perspectives. Rather than test competence in isolated
skills, we chose to situate practical assessment in games performance. Making
decisions involved the selection of appropriate choices regarding possession of the
ball during a game, and support referred to off-the-ball movements that positioned
a player to receive the ball (Oslin et al., 1998). Secondly, participants’ perceived abilities
to performand teach skills, tactics and strategies, as well as a stated preference for
either a technical or tactical approach for teaching basketball, were determined
through questionnaires. Thirdly, to ascertain a preference for a tactical or technical
approach in students’ planning pertaining to teaching basketball, the study drew on
a course assessment task. Inductive analysis of the assignment led us to consider
issues related to the students’ socialization with regard to TGfU-like approaches.
Ethical approval was gained from the department’s research review committee. The
methods explanation is divided into four parts. Initially, we have described the participants.
Next detailed is the intervention, a basketball unit in two forms: (a) technical
games teaching approach (TGT) and (b) tactical games teaching approach (the
GCA). Then we outline data collection techniques and analysis procedures related
to the phenomena of interest—games playing ability and understanding, perceived
teaching competence, and preferences for teaching and planning.
The participants
The teacher. Steve, lead author, could well be described as an expert teacher/coach. He
has had vast playing and coaching experience. Prior to moving into PETE 12 years
64 S. Wright et al.
earlier as a PE and coach education specialist, he had taught secondary PE and
coached basketball for 11 years. In recent years, he had frequently taught a similar
basketball unit to students in a parallel PETE programme. His critical teachingfriend
was a specialist in GCA teaching, Mike, the second author, had a complementary
playing, teaching and coaching background, albeit not in basketball. Potential
bias came through the ‘triple threat’ of Steve’s being researcher/teacher/student-assessor.
In our outlining the study the students were told that research participation was
voluntary and consent could be withdrawn at anytime without penalty.
The students. This investigation drew on two discrete mixed-gender groups of final
year, PETE students, totalling 19 men and 11 women who were enrolled in the
basketball unit. One group comprised 10 men and 5 women, the other 9 men and
6 women. One group experienced learning basketball through a TGT approach,
the other through the GCA. The participants were unknown to Steve, who mainly
taught in another PETE programme. Equally, class assignment to teaching approach
was random because university administrators had designated entry students to
specific cohorts, each with their respective class schedule. Thereby, they were
required to stay in the particular group within their programme, as in this case secondary
school PETE. All participants volunteered written informed consent. These
participants’ PE schooling experiences had typically been through direct teaching
approaches, mainly drill-like instruction (McNeill et al., 2004). In terms of their university
course work, most practically focused modules, designed to develop content
knowledge, were also taught through a TGT approach. The participants had taken
three previous modules that dealt with team games, including soccer, volleyball
taught by our fourth author, and field hockey. Analysis of course materials and our
discussions with teaching staff confirmed that all had had a technical bias. These
PETE students had also been formally exposed to teaching games through a functional,
prescriptive pedagogy in their first of two teaching methods modules
because the department’s course review team had perceived it to present a strong
foundation for management and organization procedures on which a conceptual
approach could later build. With Mosston (1966)/Mosston and Ashworth’s (2002)
notion of teacher-centred styles and pre-discovery threshold as the structural organizer
and dominant pedagogical theory, that academic module had emphasized direct
teaching strategies and included a school-based teaching experience. However, all
students had also experienced a tactical/conceptual approach in two units prior to
the current investigation. One had specifically dealt with the principles of games
from the TGfU perspective of invasion, net/wall, and fielding/run scoring categories
(Almond, 1986). The other was their second pedagogical module that had focused
on indirect teaching modes, particularly the GCA as specified in the national
school PE syllabus (Ministry of Education, 1999; Tan & Tan, 2000). Using teaching
styles on the ‘student-centred’ side of the discovery threshold (Mosston & Ashworth,
2002), it had emphasized teaching games through a conceptual approach that
included concepts, tactics, strategies and sporting behaviours. It also included a
reflective, micro-teaching component in schools. Therefore, all of these participants
Teaching teachers to play and teach games 65
had been engaged theoretically and practically by both TGTand GCA approaches.
The basketball modules, the activity context for the current investigation, differed
from the norm of TGT in that one of the two cohorts was randomly ‘assigned’ to
the TGfU-related mode.
The basketball unit(s)
The unit ran twice weekly for nine weeks. Its objectives for both groups were to
develop (a) knowledge of basketball and perceived confidence in teaching skills,
tactics and strategies related to the game, (b) abilities to play basketball, and (c)
planning skills for teaching basketball in schools.
Whether to teach only tactics to one group and only techniques to the other or
address techniques and tactics to both was a design issue (French, Werner, Rink
et al., 1996).We decided that the PETE participants would ultimately be responsible
for teaching basketball techniques as well as its tactics. Therefore, both games dimensions
were included for each cohort, but strict adherence to either a behaviourist or a
constructivist teaching perspective (Macdonald, 2004) retained a clear distinction
between the two cohorts’ experiences.
Fidelity to teaching guidelines, in this case the teaching approach, was achieved
through researcher collaboration. Steve and Mike met before the study began to
determine appropriate unit plans for both approaches. Subsequently, daily lesson
plans were constructed and reviewed and Steve accordingly taught the classes. As a
safeguard, the tactical and technical lessons were independently observed on six
occasions. The authors conferred after these classes were taught and were satisfied
that the tactical and technical approaches were faithfully delivered. There are a
number of derivatives of the TGfU; we chose Griffin et al.’s (1997) three-phase
lesson structure sequence in an attempt to provide some consistency with the employment
context. Their tactical games teaching text was in wide use in the school district
and members of Griffin’s team had provided in-service to local teachers soon after the
PE syllabus launch. Needless to say, we were also familiar with their perspective.
Their model had also been used in TGfU-related modules previously described.
A unit-planning task—lesson descriptions and their rationale—was one aspect of
the module assessment that accounted for 25% of their final grade. The eight
lessons were to be of 45-minute duration, and targeted at Grade 8 level pupils. The
third author, who was the lecturer for both prior pedagogy modules, provided input
into this assessment task. During the course of the semester, Steve and the research
assistant (RA) assured both cohorts that their chosen teaching approach was immaterial
to their grade.
The TGT unit initially addressed offensive skills through Steve’s teaching drills
related to dribbling, passing and shooting, as well as on- and off-the-ball defensive
skills and blocking out when rebounding, loosely described as ‘practice’, ‘reciprocal’
and ‘inclusion’ styles (Mosston & Ashworth, 2002). After 10 sessions, the content
progressed to small-sided 2 versus 2 and half-court games when tactics, such as the
‘pick and roll’ and the ‘give and go’, were introduced from a ‘how-to-do’ perspective.
66 S. Wright et al.
Content further progressed to 3 versus 3, then 4 versus 4, before he introduced offensive
and defensive strategies for 5 versus 5 through demonstration and explanation.
Interspersed around the game activities were skills development revisions and extensions
that were content-centred and again presented through direct instruction. His
questioning of students was also focused on ‘how’ to do particular skills. For
example, when Steve observed a ‘pick and roll’ he would stop and ask a student
who had set the pick, how to roll after the person with the ball had dribbled past.
He would then have them execute the pick and roll again until effectively done.
Alternatively, the GCA unit engaged participants in concepts such as ‘maintaining
possession of the ball’, ‘attacking the goal’ and ‘defending space’ (Griffin et al., 1997).
Skills were taught from a ‘why’ perspective as they became relevant to the performance
of students in their game play; they were developed in contextualized game scenarios
that promoted problem solving and decision-making capabilities. Similarly, smallsided
games also progressed to full-team play. A major focus for the GCA cohort
was questioning that was embedded in games play; for example, Steve stopped a
group in ‘freeze frame’ in order to probe players’ decisions regarding their on- and
off-the-ball movements. He then asked them to compare the relative worth of tactical
solutions in their following games play. ‘When player A sets a pick for player B, who has
the ball, where should player C move to, and why?’ Once answers were given and
discussed, Steve followed up with, ‘Try it out in your play and be ready to talk about
how well each one worked.’ Questioning also occurred after the opening game and
following the closing game in every lesson. See Table 1 for specific content taught in
each session.Week-by-week the relative GCA and TGT lessons varied, but they eventually
came together in session 17 when both groups were playing full-court, 5 versus 5
games that were respectively designed for problem-raising and feedback-providing
sessions. Steve set aside time for teams to discuss their performance on specific tasks
and encouraged players to give each other feedback.
Data collection techniques
Several methods were used to collect pre- and post-unit data. First, in order to determine
their game playing abilities, the participants were videotaped for 15 minutes
while playing small-sided games of half-court basketball. The same combinations of
players and contestant teams were engaged for unit-beginning and unit-end games.
Front- and back-numbered bibs (pinnies) were worn to aid player identification
during videotape analyses. All participants (except one) were present for every data
collection session and attended at least 88% of the 18 basketball lessons.
Second, we designed a questionnaire probing participants’ confidence levels in
demonstrating, explaining and teaching skills, strategies and tactics to pupils. The
questions used 5-point Likert scales with 1 ¼ not confident at all, to 5 ¼ very
confident. A final item called for a preferred approach to teaching basketball in an
upcoming teaching practicum. Responses indicating a technical preference were
coded 1, and tactical preferences were coded 2; therefore 1.5 represented the point
for discrimination. A panel of four experts, all PETE pedagogy researchers, reviewed
Teaching teachers to play and teach games 67
Table 1. Basketball content for tactically-taught and technically-taught lessons
Lesson
no
Tactical Group—tactical game, followed by
skills (in parenthesis) then another tactical game
Technical Group—skills only
or followed by tactical game
1 Entry level assessment 4v4 half court game
[video] Conceptual Focus (Focus)—What
skills are necessary for maintaining
possession?
2v2, passing, no dribbling (triple threat
position, pivot, ball fake)
Entry level assessment 4v4 half
court game [video]
Ball handling exercises,
dribbling, shielding
2 Focus—What is the role of predictability in
passing?
Cross-over, pivot and behindthe-
back dribble
Maintaining possession in 2v2, passing, no
dribbling (chest, bounce, shoulder pass) 2v2
maintain possession
3 Focus—Think of what is necessary to receive a
pass comfortably!
Defensive position and shuffle
on ball, 1v1
Maintaining possession, 2v2, passing, no
dribbling (support off the ball) 3v1, maintain
possession
4 Focus—Look for ways to shield the ball during
possession!
Shooting form, set shot, jump
stop
Maintaining possession, 2v2, dribble or pass
(protecting the ball when dribbling) 2v2,
maintain possession
5 Focus—Think of what it takes to win the ball! Power lay-up, lay-up
Defence, covering/pressuring the ball, 2v2,
dribble or pass to maintain possession
(defence on ball) 2v2 win the ball
6 Focus—How do you support the ball-hustler?
Defence, covering off the ball, 2v2, dribble or
pass to maintain possession (defence off the
ball) 2v2 win the ball
Jump stop into jump shot,
catch and shoot
7 Focus—How can you improve your availability
to receive?
Station work pertaining to
skills previously taught
Creating space, 2v2, passing only (sharp cuts off
the ball) 2v2 maintain possession, mobility
8 Focus—Think of ways to penetrate the defence!
Attacking the basket, 2v2, passing, dribbling
(dribble penetration) 2v2 penetration
Chest, bounce, skip, and
baseball passes
9 Focus—When and where can you shoot
confidently from?
Passing on the run, finish with
lay-up, weave
Attacking the basket, 2v2, passing, dribbling,
shooting (shooting form) 2v2 scoring
10 Focus—What can you do to threaten a defence?
Attacking the basket, 2v2, passing, dribbling,
shooting (power lay-up, lay-up) 2v2, scoring
from in close
2v1 passing drill, triple threat,
use of pivot, ball fake, then
shooting drill
(continued)
68 S. Wright et al.
the drafted questionnaire and judged it apt in targeting the intended participants’
perspectives on the dimensions of interest. Given that this process determined face
validity, a research assistant (RA) piloted it among 15 PETE students who were
not part of the study. Thus we substantiated that the questions were clearly and
unambiguously written. The RA administered the inventory at unit-beginning and
at unit-end. One absent participant failed to complete the pre-course questionnaire
and therefore was not part of the pertaining data analysis.
Table 1 Continued
Lesson
no
Tactical Group—tactical game, followed by
skills (in parenthesis) then another tactical game
Technical Group—skills only
or followed by tactical game
11 Focus—What kind of tactic will assist in
breaking down a defence?
Attacking the basket, 2v2, passing, dribbling,
shooting (give and go, jump shot) 2v2 scoring
3v1 passing drill, emphasis on
support, (2v2 possession)
12 Focus—Besides the ‘give-and-go’, what other
tactics might support team play?
Station work pertaining to
skills previously taught
Creating space and attacking the basket, 2v2,
passing, dribbling, shooting (pick and roll)
2v2 scoring off the pick
13 Focus—How can we prevent scoring?
Defending space, 2v2, passing, dribbling,
shooting (defending against pick and roll) 2v2
preventing scoring
(2v2, creating space and
attacking the basket with
pick and roll)
14 Focus—Do we know enough tactics to break
down a defence time after time?
(2v2, pick and roll, and
defence against it)
Creating space and attacking the basket, 3v3,
passing, dribbling, shooting (pass and pick
away from ball) 3v3 scoring off the pick
15 Focus—What alternatives do extra players
offer?
Maintaining possession, 4v4, passing,
cutting, picking (post/guard play off ball) 4v4
possession
Defensive and offensive
rebounding (3v3 pass and
pick away)
16 Focus—How well can we cover our opponents?
Creating space and attacking the basket, 5v5
man-to-man offence and defence, full court
(4v4 passing, pick away and
shooting, no dribbling)
17 Focus—Is the alternative to man-to man
effective?
(5v5 full court, man defence
and offence)
Creating space and attacking the basket, 5v5,
2-1-2 zone offence and defence, full court
18 Focus—How can we create advantageous
numbers by attacking quickly after a steal?
Using space in attack, 5v5, transition (fast
break 2v1 and 3v2) 4v4 half court game
[video]
(5v5 full court, zone defence
and offence), [4v4 half court
game video]
Teaching teachers to play and teach games 69
Third, the planning assignment was submitted on the last day of instruction. From
students’ responses we determined their preferences for and ability to plan a basketball
unit through either a TGTor TGfU approach.
Data analysis
Pre- and post unit videotaped games play were analysed using the Game Performance
Assessment Instrument (GPAI; Oslin et al., 1998) in order to determine the participants’
abilities to perform three tasks within a games framework, namely, proficiently
execute skills, make apt decisions, and offer off-the-ball support to team mates. A
cluster of eight randomly selected players from each cohort (Tn ¼ 16) had their
games play performance analyzed. Each game lasted 15 minutes. The pre- and post
unit GPAI results were also compared using t tests. The Bonferroni error adjustment
was used, and the resulting significance level was set at p ¼ .0125.
Participants were rated according to Oslin et al.’s (1998) criteria. Apt decisions
pertained to whether a player appropriately or inappropriately either passed to an
open team mate or attempted a shot at the basket. Support categories were similar
and pertained to whether the focus player made an effort to move into an open position
that created a passing lane for the team mate with the ball. The skill execution
component included passing, receiving and shooting. A pass was considered efficient
if the ball reached its target. An efficient reception was coded if the player controlled
the pass. Oslin et al. (1998) explicated their GPAI assessment criteria in the context of
soccer, but the skills execution criteria for shooting are slightly different in basketball.
Therefore, Richard and Griffin’s (2001) definitions were used for this component. A
shot was considered efficient if either the basket was made or the ball hit the rim.
Because dribbling gives basketball its unique character and is central to some strategies
such as the ‘triple threat position’, we added a dribbling component that was
considered efficient if the player gained an advantage over the guarding opponent.
The GPAI also provides an overall game performance score by averaging the sum
of the Decisions Made Index (DMI), the Skill Execution Index (SEI) and the
Support Index (SI) (Oslin et al., 1998). The two lead authors and the RA were
familiar with the GPAI and all independently coded multiple 5-minute segments of
videotape. Categorizing DMI and SEI components was straightforward, with little
or no discrepancies between coders.
However, discriminating the SI category was initially more challenging.We decided
that not only could there be either appropriate or inappropriate determinations for
when an offensive player was off the ball, but also a neutral coding was possible.
This occurred when the player in question was in an open supportive position but
did not move to that position and did not receive the ball. Furthermore, there were
times when the coded player was not supporting the ball but was not one pass away
from the team mate with the ball and therefore could have obstructed a team mate
who was moving into a position to support. As Oslin et al. (1998) pointed out,
when a basketball game is played with more than two players on a team, there is
always an opportunity for a player not to support the ball: when we coded support
70 S. Wright et al.
as ‘neutral’, it simply did not enter into the appropriate/inappropriate equation for the
SI calculation. Following the trial coding phase, the three analysts proceeded to
analyse six 5-minute segments of videotape, and were in 90% agreement across all
three components. This provided an acceptable level of inter-coder reliability as
Oslin et al. (1998) had determined that above 80% was the threshold for reliability.
For each cohort, the pre- and post-questionnaires’ data relating to perceived confidence
levels of demonstrating, explaining and teaching the skills, strategies and tactics
of basketball were analyzed using paired sample t tests. This method was chosen
because we took the pre- and post-data summary statistics for within-group comparisons.
To reduce error, a Bonferroni adjustment was again used. In this instance the
significance level tightened from p ¼ .05 to p ¼ .0083.
Lesson plans from the assignment were categorized as either ‘technical’ or ‘tactical’.
It was easy to determine the approach used because participants had been provided
with tactical and technical lesson-plan templates and were allowed to choose which
one they preferred. The PETE students had also been asked to justify why they
had selected their respective approach. Such information was coded to determine
emergent themes in their rationales through constant comparison (Glaser &
Strauss, 1967). The authors completed this exercise independently and achieved
100% agreement on the emergent themes.
Results
Games play performance
Videotaped 4 versus 4 games enabled us to determine games play performance. Refer
to Table 2 for GPAI summary statistics of each cohort.
The t tests revealed that the GCA group significantly improved in skill execution
(p ¼ 0.006), but gained neither in decision-making nor support. However, the
overall GPAI index of games play showed significant gains among the tactical group
(p ¼ .002). See Table 2 which also indicates that the TGT group participants did
not improve significantly in any games dimension, or overall on their games playing
index.
Table 2. Pre- and post-unit games playing ability scores1
Tactically-taught group Technically-taught group
GPAI
component
Pre-unit
(SD)
Post-unit
(SD) P value
Pre-unit
(SD)
Post-unit
(SD) P value
Skill 3.38 (2.31) 5.87 (1.29) .006_ 5.52 (1.51) 10.81 (7.34) .098
Decision
Providing
2.30 (1.87) 3.94 (1.24) .017 3.69 (1.41) 8.81 (7.11) .086
Support 2.15 (1.75) 4.15 (2.31) .045 3.86 (4.25) 7.81 (3.46) .020
Overall Index 2.60 (1.90) 4.64 (1.28) .002_ 4.35 (1.72) 9.14 (5.59) .020
1Means (SDs); _significant with p _ .0125
Teaching teachers to play and teach games 71
Perceived ability to teach
Initial data analysis examined the differences in perceived abilities within each group
in terms of using skills, demonstrating skills to pupils, knowing strategies, explaining
strategies to pupils, knowing tactics, and explaining tactics to pupils. The results of
the t tests revealed that both groups improved significantly in their perceived use of
skills, but only the tactical group improved significantly in any other area. The tactical
participants’ perceptions of their knowing tactics, explaining tactics and explaining
strategies significantly improved. Please refer to Table 3.
Teaching approach preference
When asked if they would rather use a technical or tactical approach for teaching
basketball in their upcoming teaching practicum, both groups claimed a preference
for the GCA. This inclination grew from pre- to post-instruction. The tactical
group’s final preference was greater with a mean score of 1.97 (pre-unit
mean ¼ 1.73), compared with a post-unit mean score of 1.73 (pre-unit ¼ 1.50) for
the technical group. Interestingly, on their initial questionnaire 27% (n ¼ 4) of the
GCA cohort stated a preference for teaching basketball through a technical perspective.
Although no respondent later re-stated that preference, one did indicate that the
approach choice would depend on pupils’ abilities and aptitude for the game. On the
preliminary survey, nominations for each of the teaching approaches were evenly split
(2 _ n ¼ 7) among participants in the TGT cohort. One student was absent during
administration of the questionnaire and so did not contribute pre- or post-module
data for this area. The post-module results also varied for the TGT class. Only
23% indicated that their preference would be to teach basketball using a traditional
approach compared with the 50% prior to the unit.
Our analysis of their planning assignments revealed that both groups preferred to
teach basketball from a tactical perspective. All members of the tactical group
designed lesson plans with a GCA emphasis, although that result might not be
surprising, given that they were taught using this approach. However, contrary to
Table 3. Pre- and post-unit questionnaire scores pertaining to perceived abilities1
Tactically-taught group Technically-taught group
Perceived ability Pre-unit Post-unit P value Pre-test Post-unit P value
Using Skills 2.33 (1.11) 3.93 (.70) .000_ 3.31 (1.03) 3.77 (1.30) .002_
Demonstrating Skills 3.20 (1.26) 3.87 (.91) .086 3.54 (.88) 3.92 (1.19) .272
Knowing Strategy 2.33 (1.11) 3.80 (.68) .442 2.92 (.86) 3.54 (.97) .710
Explaining Strategy 2.53 (1.30) 3.87 (.91) .001_ 3.23 (.83) 3.61 (1.04) .272
Knowing Tactics 2.20 (1.26) 3.80 (.68) .000_ 3.00 (1.08) 3.46 (1.13) .213
Explaining Tactics 2.47 (1.25) 3.87 (.64) .001_ 3.00 (1.00) 3.46 (1.13) .111
1Means (SDs); _significant with p _ .0083
72 S. Wright et al.
their method of basketball instruction, most TGT students (77%) also designed
tactically-oriented lesson plans. Because the participants’ reasons for choosing one
or the other approach were open-ended, some provided multiple explanations that
aided in our understanding their motives. The tactical group highlighted 42
reasons for using the GCA approach, but the technical group only provided 24.
Collectively, the most popular reason for choosing the TGfU-related approach was
the (perceived) attraction of involving pupils more in cognitive processes related to
games play, in other words in developing their ‘games sense’ (Kirk, 2001; Launder,
2001). Sixteen responses (52%) that pertained to pupils’ benefiting from thinking
more, understanding the game better, and/or solving problems during games play
were collectively categorized. As one explained:
Students are given more ownership in the learning process. This is a move away from a
teacher-centred lesson (skills-based approach) to one that encourages high levels of contributions
and involvement from pupils, which fosters the development of independent
thought. The [GCA] approach also enables pupils to have a greater appreciation of
when to pass, shoot or dribble, and consider factors that influence decision-making,
such as the position of team-mates and the opposition.
The assumption that a tactical approach to teaching basketball would stimulate
greater interest in playing was the second most common motive (42%) for using a
games understanding model. So wrote a GCA participant:
I have chosen the [TGfU] approach, not so much because it is being practiced in courses
here [at the university], but because it benefits students. As a student, I have enjoyed this
approach more and put more effort into participating, as compared to the mundane traditional
approach.
The third most prevalent response (32%) implied that pupils would be more interested
in playing basketball if games play, rather than skills development, were the
common focus. According to a participant:
Games provide a more lively, interesting, and exciting alternative to learning skills, than
through drills. Games provide the link between skills and tactics as they provide a context
for utilizing skills to solve tactical problems.
Also worth noting was that eight respondents (26%) mentioned that the GCA
might be beneficial because their pupils would be able to transfer concepts from
one game to another. In agreement with Bunker and Thorpe (1986), their claim
was that if pupils understood the concept of ball possession in basketball they
would be able to transfer that knowledge to another invasion game, say soccer. A
further six respondents (19%) mentioned that using a tactical approach would
enable them to contextualize skills development activities in games situations and
so enable pupils to understand why skills practice was needed.
Of the three TGT participants who elected not to use the GCA approach in their
lesson plans, two used a traditional approach. Perhaps hedging her bets, the other
chose to use a technical approach for the first three lessons to ensure basic skill acquisition
and then took up a tactical approach in planning the final five lessons of her unit.
The two technicists mentioned that they were more comfortable with this approach
Teaching teachers to play and teach games 73
than with the GCA and that they believed that teaching basic skills was essential. As
one stated:
I have chosen the Skills approach for the method of conducting my lessons as I am more
familiar with this style. It is important for pupils to acquire some essential, basic skills
which will enable them to play and appreciate the game.
Discussion
Perceived ability to teach—tactical group
The results from the questionnaires demonstrated that the tactically-taught participants’
perceptions of their abilities to use skills and explain strategies, as well as to
understand and explain tactics pertaining to basketball improved significantly over
the length of the study. This finding is not surprising given that the GCA group spent
most of its lesson time in situational games activities, and was also regularly challenged
in questioning sessions that repeatedly focused on finding games-related solutions.
The more we study and teach through a tactical approach for games, the more valuable
appears questioning (McNeill et al., 2004). Each 50-minute GCA lesson had
both an initial and a concluding situational game with a conceptual focus; and both
were succeeded by whole-class questioning sessions that typically lasted about five
minutes. Across all lessons, Steve’s whole-class questioning of the GCA cohort
totalled three hours. As pedagogues, we see questioning as critical to developing
games players because cognition is an integral component of ‘games sense’ (Macdonald,
2004). In the current context, we valued a conceptual focus being made before
the game as ‘leading’ bodily learning, as Steve regularly encouraged the students to
reference what was occurring during play. Subsequent whole-class questioning
around a scenario that occurred during play was equally valuable for ‘trailing’
bodily learning as it enhanced deep understanding through encouraging the players
to reflect on, analyse and resolve the situational problem. Without pre-setting the
conceptual focus in order to scaffold the subsequent after-play, questioning about a
relevant games scenario within the GCA approach is potentially less effective.
Additionally, questioning participants during a game about what is transpiring and
why requires them to use higher-order thinking skills that are essential for developing
games-sense. We agree with Kirk and MacPhail (2002), in their proposed revision to
the TGfU model, that students need to ‘think strategically’ while playing games.
Steve’s questioning sessions during real games time gave players an immediate opportunity
to reflect on their decisions, actions, thoughts and feelings and importantly
enabled them to connect such cognition and emotion to their bodily activity. Here,
the bodily action is central to games understanding (Cheville, 2001). The postopening
game’s questioning also gave relevance to the games skills development
phase which followed, in that Steve created playing conditions which provided
context. We suggest that is why the tactical participants of this study expressed confidence
not only for teaching tactics and strategies but also in using skills necessary
for playing the game of basketball.
74 S. Wright et al.
Another aspect of the questioning sessions that warrants discussion was Steve’s
decision to probe understanding either in the class as a whole or in small groups.
We also agree with Kirk and MacPhail’s (2002) suggestion that teachers who use a
TGfU approach should modify games to meet the needs of individual students
because they have varying experiences, understandings and abilities related to the
game being played. In this study, the needs of participants greatly varied. Therefore,
Steve decided that it would be more appropriate to question them in their small-sided
games groups, because overall, individuals and groups varied in their abilities to play
situational games. Moreover, within small-sided play, questioning becomes more
personally relevant than is whole-class questioning, because it is targeted specifically
at the games performance of particular players and their opponents.
Game play performance—tactical group
Tactical participants also improved significantly overall in their games playing
performance (skill execution, decision making and support) as established by the
GPAI. The two situational games that were featured in every session on average
totalled 30 minutes. Taken over time, the participants engaged in nine hours of
games playing activity. Given this process aspect of GCA teaching, we reasonably
expected that they would improve significantly in their abilities to play the game as
the focus of the unit was games play. Again, it seemed that questioning helped in
that, as a teaching strategy, it is complementary to games play; that is, developing
‘games sense’ is not merely about developing understanding about games play, but
rather it is about helping students become players who embody that understanding.
In other words, becoming games players involves doing, not just thinking, but
players have to think about their learning to play (Launder, 2001), not just mindlessly
‘going through the motions’. Probing learners’ thinking is important, especially when
that thought is embedded in play. Then, the GCA-taught learners have taken on
games play in a body–mind sense; this is what Cheville (2001) and others refer to
as embodied practice. Although Cheville argues that the body is important for all learners,
it is especially so for games learner-players, and games learner-teachers. For
example, a strategy to help maintain possession of the ball is for ‘off-the-ball’ team
mates to support their player with the ball; when Steve asked, ‘Why were you successful
in maintaining possession?’, one response was related to the quality of their
‘support off the ball’. This cognitive processing therefore reinforces ‘knowing’ this
strategy and subsequently engendering that knowing in action.
Perceived ability to teach—technical group
Questionnaire responses analysis revealed that the TGT participants’ perceptions of
their ability to use skills pertaining to basketball improved significantly over the length
of the study. Scrutiny of the unit content (Table 1) for the technical group reveals that
the first 12 lessons were taught almost exclusively through technical drills. Roughly
70% of the overall engaged time with this group was spent in Steve’s explaining
Teaching teachers to play and teach games 75
and/or demonstrating techniques and participants’ engaging in technical drills.
Therefore, we were not surprised that the TGT student-players responded with a significant
increase in their perceived ability to use skills. Discussions and questions
related to tactics and strategies for them did not occur in the first 12 lessons and
Steve only used these interactive strategies thereafter in a content-centred,
‘knowing that’ way. On the other hand, comparative statistics substantiated the
expectation that TGT participants would not improve significantly in their perceived
abilities of understanding and explaining tactics and strategies.
Game play performance—technical group
The TGT participants did improve significantly in their ability to execute skills as
measured by the GPAI. However, they did not improve significantly overall in their
games play index. As games play and related discussions were featured in approximately
30% of the time for this group, this result could perhaps be anticipated. A
likely key component in explaining these results lies in Steve’s questioning that augmented
practice for the TGT participants. These sessions are not a key characteristic
of a teacher-centred, technical pedagogy, but nevertheless Steve questioned at least
once every session, invariably after play had concluded. However, the questions typically
engaged lower-order thinking skills, because he usually asked for recalling ‘how’
something was done: ‘What are the components of a cross-over dribble?’ Even when
questions were related to the strategy of a ‘give and go’, for instance, Steve’s emphasis
was not on how using this strategy could create and utilize space in attack, but rather
on “When do you cut in front or behind the defender?” Thus, this post-game discussion
exemplified questioning as a ‘trailing’ strategy—important, but less powerful than
the questioning that occurred during games play with its immediate reference and
significance.
Care was taken to go from skills development drills to small-sided games, such as 2
versus 2, 3 versus 3 and 4 versus 4, before the regulation-sized 5 versus 5.We planned
thus because we view basketball as a complicated game that is difficult to play in the
regulation, 5-aside setting. Furthermore, in small-sided games, such as 2 versus 2, all
participants are guaranteed involvement in the play, and multiple ‘touches’ of the ball
are unavoidable, at least for the team in possession. In short, whatever the way of
teaching, using modified and conditioned small-sided games are an important basis
for the progression to regulation play.
Teaching preference—tactical and technical groups
The result that at unit-end all but one of the 15 participants in the tactical group
stated a preference for teaching basketball through the GCA was not a surprise.
Graber (1989) identified a studentship characteristic called ‘fronting’ (pp. 66–67).
With fronting, it is not uncommon for students to display selected behaviours in
the hope of being favourably perceived by their lecturer(s). In the local context, this
impression management is known as ‘giving face’, a mark of showing respect.
76 S. Wright et al.
Accepting that the tactical group was so taught, we might assume that the students
would have been influenced to answer with a preferred tactical response, so seeking
to give the impression that they had taken on an institutional or lecturer-held belief
as their own.
Perhaps more difficult to explain was the TGT group’s expression of their preferences
for teaching basketball. The pre-unit result revealed that 50% of the technical
participants preferred a tactical approach, yet this increased to 71% by unit-end. Possibly
that group viewed their traditional experience more critically than usual; as their
counterparts were engaged in a tactical approach and, because students in each
cohort sometimes socialized together, there could have been a degree of crossgroup
‘contamination’. We might speculate that this favoured perception arose
from discussion between participants of both groups regarding how they were being
taught by Steve. One TGT participant, whose post-unit preference changed in
favour of the GCA, wrote that the tactical approach ‘enables students to see the
relevance of the skills in game situations, unlike the traditional approach.’ Of interest
to us was a passage from another technical participant who chose the technical
approach for pre- as well as post-instruction surveys. As she wrote in her second
questionnaire,
Personally I amstill not very familiar with basketball strategies so I won’t attempt to use it
[a tactical approach] to teach strategies. If given a choice, I will choose to teach more
skills and fewer strategies.
This response highlights the point that if university faculty model their teaching of
activity classes through a technical approach, then there is increased likelihood that
PETE graduates will follow suit when they teach in schools, particularly when they
would not have previously experienced a tactical approach in their own games
schooling.
Teaching preference pertaining to lesson plans
The most common reason in justifying the teaching approach adopted in their basketball
planning assignment, that a tactical approach would have cognitive benefits to
pupils, is generally consistent with findings from comparable research. Rink et al.’s
review (1996) of tactical and technical teaching studies indicated that tacticallytaught
students perform better on tests of tactical knowledge than do their technically-
taught peers. Other studies by Turner (1996) and Turner and Martinek (1999)
have shown that tactical pupils make better decisions during games than do their technical
peers. As the latter researchers stated,
The trend toward better decision making and enhanced declarative and procedural
knowledge by the ‘games for understanding’ group suggests that a cognitive benefit is
derived from using this approach in teaching games to children (Turner & Martinek,
1999, p. 293).
Although research in this area is not definitive, the possibility for cognitive benefits
exists and certainly these PETE students saw them to be important.
Teaching teachers to play and teach games 77
The second most common reason for choosing a tactical approach for teaching
basketball was motivation, in that respondents believed pupils would be more interested
in this alternative to a traditional approach. This is another outcome supported
by findings from several other studies (Lawton, 1989; Griffin et al., 1995; Turner,
1996). The participants’ third reason for choosing a tactical approach, an increase
in game activity, is closely related to the previous argument: games activity tends to
stimulate students: ‘They constantly ask, “When can we play a game?”’ (Chandler,
1996, p. 49). He also wrote about pupils and the ‘self-propelling’ motivation of understanding
and wanting to play better which,
. . . motivates us to return to the game. Because the TGfU approach is both game[s]-
dependent and student-centered, rather than being content-centered or teachercentered,
it provides such self-propelling motivation’ (p. 49).
The participants’ responses as to why they chose to plan lessons using a tactical
approach demonstrated, what seemed to be, a clear understanding of perceived
benefits of the approach. We can only speculate how those responses were derived
because we did not directly ask. All students in this study had been exposed to the
tactical approach through a games principles module and a pedagogical module that
focused on indirect methods of teaching. The latter academic unit also included
opportunities for participants to teach using a tactical approach to pupils in schools.
The theory related to perceived benefits of the GCA was taught in both modules
and participants themselves had an opportunity to experience teaching using the
approach in the real-world setting of schools. These modules and experiences surely
have had an impact on the PETE students’ beliefs about teaching games to pupils.
Situated learning for adults
Returning to a situated learning perspective for adult PE student teachers, we believe
that their learning to teach games through a combination of tactics and techniques is
important. Therefore, more extensive use of a tactical approach as a model when
teaching within the undergraduate PETE programme will reinforce the link
between tactics and techniques in contextualized settings. If student teachers can
be taught within situations that challenge their intellectual as well as psychomotor
abilities, there will be a greater likelihood that they will apply that learning to their
working environment (Lankard, 1995); such is Cheville’s notion of embodied practice.
The regular questioning phases used by the teacher in this study encouraged
the tactical participants to solve problems, reflect on their skill execution and
decision-making, and evaluate overall games performance through strategic thinking.
As a result, the tactical approach promoted more of the cognitive apprenticeship
model alluded to earlier, whereas the technical approach was lacking in the quantity
of games-centred instruction and therefore offered less to the students. A key component
of this difference appears to be not just the quantity of games play, but even
more importantly the type of questioning that was facilitated for both groups. Regardless
of the approach that PETE students eventually choose for teaching games,
exposure to a tactical approach will broaden their professional outlook and this will
78 S. Wright et al.
ultimately enhance their pupils’ games sense, transforming pupils into informed
players who are better tactical decision-makers.
The question of whether to teach games solely through tactics still has to be
addressed. There is some concern among physical educators, especially PETE
students in our local context (McNeill et al., 2004), that understanding without
pupils’ having basic technical skills is no less frustrating than their having technical
ability without understanding. We agree with Holt et al. (2002) when they wrote,
Skill development is explicitly included in tactical approaches, just as games play is a part
of technical approaches. The crucial point is when to introduce tactical or technical skills’
(p. 164).
Further Launder’s (2001, p. 14) justification for play practice promoting experimentation
where learners are encouraged ‘to try out moves and tactics, to try on
roles, all without the threat of criticism’ is an important consideration for legitimizing
failure and keeping a balanced perspective in our pedagogy.
Conclusion
The purpose of this study was to determine if the use of different teaching approaches
affected the game playing ability, perceived ability to teach, teaching approach preference
and lesson plan designs of final-year PETE students. The results suggest that the
tactical group improved significantly in overall games play performance, and perceptions
of their abilities to teach tactics and strategies and use of basketball skills significantly
improved. Alternatively, the technical group participants notably improved in
their skill execution during games play as did their perception of their ability to use
basketball skills in games situations. Tactical participants were unanimous in their
choice of tactical lesson plans for their module assignment, whereas 80% (n ¼ 15)
of the technical group also chose tactical lesson plans. When providing their rationale(
s) for choosing tactical plans, the most popular reasons were: engaging pupils
cognitively; stimulating pupil interest; allowing for more game play; and providing
pupils the opportunity to transfer concepts from one game to another.
The overriding preference of participants from both groups to teach basketball
through a tactical approach was an unanticipated finding. Although there have
been numerous studies that examined the tactical approach to teaching games, no
research has been published pertaining to the crucial population of PETE students.
If these potential facilitators of learning in schools’ PE are not empowered with this
knowledge, there is little chance of their developing a constructivist pedagogy. Socialization
research suggests that there are many obstacles in the path of novice teachers
who may choose a tactical approach to teach games. Therefore, more research is
needed to determine what support structures in the professional and occupational
socialization of physical educators will lead to effective teaching through a tactical
approach. A follow-up investigation with the participants in this study could
provide valuable information about the ‘wash out’ effect (Wright, 2001). The
question begs as to the extent these PETE students will choose to teach games
Teaching teachers to play and teach games 79
through a tactical approach when they operate in schools. Or, will they revert to and
maintain the status quo by teaching games through a technical approach? In regard to
the technical approach, what can be done to address the concerns about poor practices
that have been highlighted by Bunker and Thorpe (1986)? Surely such a longstanding
approach, hegemonic in the teaching of games, does have important and
positive qualities. What are these and how might the weaker features be reduced or
eliminated?
Given that games play is such a critical part of school physical education curricula,
its importance in PETE cannot be overstated. Prospective teachers should be given
ample opportunities to study and practice various approaches to teaching games.
Instead of trying to determine which is best, efforts should be made to determine
the strengths of each approach. Continued examination of the technical and tactical
approaches related to games teaching to PETE students is warranted and follow-up
studies to determine styles used by participants while teaching in schools would be
valuable.
References
Almond, L. (1986) Reflecting on themes: a games classification, in: R. Thorpe, D. Bunker &
L. Almond (Eds) Rethinking games teaching (Loughborough, Loughborough University),
71–72.
Almond, L. (2001) A historical perspective, keynote address presented at the International
Conference for Teaching Games for Understanding in Physical Education and Sport, Waterville
Valley, New Hampshire, 1 August.
Berkowitz, R. (1996) A practitioner’s journey: from skill to tactics, Journal of Physical Education,
Recreation and Dance, 67(4), 44–45.
Brown, J. S., Collins, A. & Duguid, P. (1989) Situated cognition and the culture of learning,
Educational Researcher, 18(1), 32–41.
Bunker, D. & Thorpe, R. (1982) A model for the teaching of games in secondary schools, Bulletin of
Physical Education, 18(1), 5–8.
Bunker, D. & Thorpe, R. (1986) The curriculum model, in: R. Thorpe, D. Bunker & L. Almond
(Eds) Rethinking games teaching (Loughborough, Loughborough University), 7–10.
Butler, J. (1996) Teacher responses to teaching games for understanding, Journal of Physical
Education, Recreation and Dance, 67(9), 17–20.
Chandler, T. (1996) Teaching games for understanding: reflections and further questions, Journal of
Physical Education, Recreation and Dance, 67(4), 49–51.
Cheville, J. (2001) Minding the body: what student athletes know about learning (Portsmouth, NH,
Boynton/Cook).
Dewar, A. M. (1989) Recruitment in physical education teaching: toward a critical approach,
in: T. Templin & P. Schempp (Eds) Socialization into physical education: learning to teach (Indianapolis,
IN, Benchmark), 39–58.
Ennis, C. D. (1996) Students’ experiences in sport-based physical education: [more than] apologies
are necessary, Quest, 48, 453–456.
French, K. E., Werner, P. H., Rink, J. E., Taylor, K. & Hussey, K. (1996) The effects of a 3-week
unit of tactical, skill, or combined tactical and skill instruction on badminton performance of
ninth grade students, Journal of Teaching in Physical Education, 15, 418–438.
French, K. E.,Werner, P. H., Taylor, K., Hussey, K. & Jones, J. (1996) The effects of a 6-week unit
of tactical, skill, or combined tactical and skill instruction on badminton performance of ninth
grade students, Journal of Teaching in Physical Education, 15, 439–463.
80 S. Wright et al.
Glaser, B. G. & Strauss, A. L. (1967) The discovery of grounded theory: strategies for qualitative research
(New York, Aldine).
Graber, K. (1989) Teaching tomorrow’s teachers: professional preparation as an agent of socialization,
in: T. Templin & P. Schempp (Eds) Socialization into physical education: learning to teach
(Indianapolis, IN, Benchmark), 68–69.
Griffin, L. L., Mitchell, S. A. & Oslin, J. L. (1997) Teaching sport concepts and skills: a tactical games
approach (Champaign, IL, Human Kinetics).
Griffin, L. L., Oslin, J. L. & Mitchell, S. A. (1995) An analysis of two instructional approaches to
teaching net games [Abstract], Research Quarterly for Exercise and Sport, 66 (Suppl.), A–64.
Griffin, L. L. & Placek, J. H. (2001) The understanding and development of learners’
domain-specific knowledge [Monograph], Journal of Teaching in Physical Education, 20,
299–416.
Griffin, L. L. & Sheehy, D. (2004) Using the tactical games model to develop problem-solvers in
physical education, in: J. Wright, D. Macdonald & L. Burrows (Eds) Critical inquiry and
problem-solving in physical education (London, Routledge), 33–48.
Holt, N. L., Strean, W. B. & Bengoechea, E. G. (2002) Expanding the teaching games for understanding
model: new avenues for future research and practice, Journal of Teaching in Physical
Education, 21, 162–176.
Hopper, T. (2002) Teaching games for understanding: the importance of student emphasis over
content emphasis, Journal of Physical Education, Recreation and Dance, 73(7), 44–48.
Kirk, D. (1986) Critical pedagogy for teacher education: toward an inquiry-oriented approach,
Quest, 5, 236–246.
Kirk, D. (2001) Future directions for teaching games for understanding/game sense, keynote
address presented at the International Conference on Teaching Games for Understanding in
Physical Education and Sport, Waterville Valley, New Hampshire, 1 August.
Kirk, D., Brooker, R. & Braiuka, S. (2000) Teaching games for understanding: a situated perspective
on student learning, paper presented at the meeting of the American Educational Research
Association, New Orleans, 1–5 April.
Kirk,D. & MacPhail, A. (2002) Teaching games for understanding and situated learning: rethinking
the Bunker-Thorpe model, Journal of Teaching in Physical Education, 21, 177–192.
Langley,D. J. & Knight, S. M. (1996) Exploring practical knowledge: a case study of an experienced
senior tennis performer, Research Quarterly for Exercise and Sport, 67, 433–447.
Lankard, B. A. (1995) New ways of learning in the workplace (Columbus, OH, ERIC Clearinghouse on
Adult Career and Vocational Education) (ED 385 778).
Launder, A. (2001) Play practice: the games approach to teaching and coaching sports (Adelaide, SA,
Human Kinetics).
Lawton, J. (1989) Comparison of two teaching methods in games, Bulletin of Physical Education,
25(1), 35–38.
Macdonald, D. (2004) Understanding learning in physical education, in: J. Wright, D. Macdonald
& L. Burrows (Eds) Critical inquiry and problem-solving in physical education (London,
Routledge), 16–29.
McMorris, T. (1998) Teaching games for understanding: its contribution to the knowledge of skill
acquisition from a motor learning perspective, European Journal of Physical Education, 3(1),
65–74.
McNeill, M. C., Fry, J. M., Wright, S. C., Tan, W. C., Tan, K. S. & Schempp, P. G. (2004) ‘In the
local context’: Singaporean challenges to teaching games on practicum, Sport, Education and
Society, 9, 3–32.
McPherson, S. L. & French, K. E. (1991) Changes in cognitive strategies and motor skill in tennis,
Journal of Sport and Exercise Psychology, 13, 26–41.
Ministry of Education (1999) Revised physical education syllabus for primary, secondary, and preuniversity
levels (Singapore, Curriculum Planning and Development Division).
Teaching teachers to play and teach games 81
Mitchell, S. A., Griffin, L. L. & Oslin, J. L. (1995) The effects of two instructional approaches on
game performance, Pedagogy in Practice: Teaching and Coaching in Physical Education and
Sports, 1(1), 36–48.
Mitchell, S. A. & Oslin, J. L. (1999) An investigation of tactical transfer in net games, European
Journal of Physical Education, 4, 162–172.
Mosston, M. (1966) Teaching physical education (Columbus, OH, Merrill).
Mosston, M. & Ashworth, S. (2002) Teaching physical education (5th edn) (San Francisco, CA,
Benjamin Cummings).
Oslin, J. L. (1996) Tactical approaches to teaching games [Feature Ed], Journal of Physical
Education, Recreation and Dance, 67, 27.
Oslin, J. L, Mitchell, S. A. & Griffin, L. L. (1998) The game performance assessment instrument:
development and preliminary validation, Journal of Teaching in Physical Education, 17,
231–243.
Plymouth State College (2001) International Conference 2001: Teaching Games for Understanding in
Physical Education and Sport, Waterville Valley, New Hampshire, 1–4 August.
Richard, J. F. & Griffin, L. (2001) Assessing game performance: an introduction to using the TSAP
and GPAI, paper presented at the International Conference on Teaching Games for Understanding
in Physical Education and Sport, Waterville Valley, New Hampshire, 1–4 August.
Rink, J. E. (2001) Investigating the assumptions of pedagogy, Journal of Teaching in Physical
Education, 20, 112–128.
Rink, J. E., French, K. E. & Tjeerdsma, B. L. (1996) Foundations for the learning and instruction of
sport and games, Journal of Teaching in Physical Education, 15, 399–417.
Rovegno, I., Nevett, M. & Babiarz, M. (2001) Learning and teaching invasion-game tactics in 4th
grade: introduction and theoretical perspective, Journal of Teaching in Physical Education, 20,
341–351.
Stein, D. (1998) Situated learning in adult education (Columbus, OH, ERIC Clearinghouse on Adult
Career and Vocational Education) (ED 418 250).
Tan, K. S. S. & Tan, E. K. H. (2000) Managing change within the physical education curriculum:
issues, opportunities and challenges, in: J. Tan, S. Gopinathan & W. K. Ho (Eds) Challenges
facing the Singapore education system today (Singapore, Prentice Hall), 50–70.
Turner, A. (1996) Teaching for understanding: myth or reality, Journal of Physical Education,
Recreation and Dance, 67(4), 46–47, 55.
Turner, A. P. & Martinek, T. J. (1992) A comparative analysis of two models for teaching
games (technique approach and game-centered–tactical focus–approach), International
Journal of Physical Education, 29(4), 15–31.
Turner, A. P. & Martinek, T. J. (1999) An investigation into teaching games for understanding:
effects on skill, knowledge, and game play, Research Quarterly for Exercise and Sport, 70(3),
286–296.
Turner, A. P., Allison, P. C. & Pissanos, B. W. (2001) Constructing a concept of skillfulness in
invasion games within a games for understanding context, European Journal of Physical
Education, 6(1), 38–54.
University of Melbourne (2003) 2nd International Conference: Teaching Sport and Physical Education
for Understanding, Melbourne, Australia, 11–14 December.
Werner, P., Thorpe, R. & Bunker, D. (1996) Teaching games for understanding: evolution of a
model, Journal of Physical Education, Recreation and Dance, 67(1), 28–33.
Wilson, G. (2002) A framework for teaching tactical game knowledge, Journal of Physical Education,
Recreation and Dance, 73(1), 20–26.
Wright, S. (2001) Implementation of the games concept approach from the cooperating teachers’
perspective, paper presented at the Australian Association for Research in Education, Fremantle,
Australia, December.
82 S. Wright et al.