Selasa, 18 Maret 2008

Konstruksi Sosial, Interpretasi Alternatif dan Kedamaian.

Konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang lain terhadap dunia, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Khun bahwa semesta secara epostimologi merupakan hasil konstruksi sosial.
Pengetahuan/pandangan manusia dibentuk oleh—kemampuan tubuh inderawi dan intelektual—asumsi-asumsi kebudayaan dan bahasa tanpa kita sadari. Bahasa dan ilmu pengetahuan bukanlah cerminan semesta, melainkan bahasa membentuk semesta, bahwa setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek tertentu dari semesta dengan caranya sendiri. Peter Dahlgren mengatakan realitas sosial setidaknya sebagian, adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa.
Peter L. Berger dan Thomas Luckman memperkenalkan konsep konstruksionisme melalui tesisnya tentang konstruksi atas realitas. Teori konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa, realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Masyarakat merupakan produk manusia dan manusia merupakan produk masyarakat. Baik manusia dan masyarakat saling berdialektika diantara keduanya. Masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.
Menurut Berger dan Luckman konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya. Dalam hal ini pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif.
Dalam pemahaman konstruksi Berger, dalam memahami realitas/peristiwa terjadi dalam tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagi moment yaitu, pertama, tahap eksternalisasi yaitu usaha pencurahan diri manusia ke dalam dunia baik mental maupun fisik. Kedua, objektifasi yaitu hasil dari eksternalisasi yang berupa kenyataan objektif fisik ataupun mental. Ketiga, internalisasi, sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam rangka pemahan tentang realitas.
Framing salah satu cara untuk mengetahui sekaligus membuktikan bahwa realitas sesungguhnya merupakan hasil konstruksi (baik konstruksi individu, masyarakat dan media). Dalam pemahaman beberapa ahli, framing adalah cara untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksikan oleh media. Secara praktis framing dapat dipahami sebagai cara bagaimana peristiwa atau realitas disajikan oleh media. Cara penyajian tersebut secara umum memiliki dua dimensi dalam framing. Pertama, seleksi isu. Dalam menyajikan sebuah peristiwa wartawan atau awak media telah melakukan pemilihan terhadap fakta di lapangan, hal ini diasumsikan bahwa pekerja media tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, penekanan isu. Hal ini dapat teramati bagaimana pekerja media menuliskan fakta, proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih disajikan kepada khalayak. Seperti diungkapkan oleh Frank D. Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Dengan framing realitas yang begitu rumit dan kompleks disederhanakan oleh media sehingga mudah dipahami, diingat dan realitas tersebut lebih bermakna dan dimengerti.

Berdasarkan teori di atas tentu sejatinya kebenaran adalah sesuatu yang interpretif, dan interpretasi-interpretasi alternatif ataupun kritik interpretif adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan legal untuk dilakukan.
Karakteristik utama kritik interpretif adalah kritikus dengan metode sangat personal. Tindakannya bagaikan sebagai seorang interpreter atau pengamat tidak mengklaim satu doktrin, sistem, tipe atau ukuran sebagaimana yang terdapat pada kritik normatif. Kritik Interpretif punya kecenderungan karakteristik sebagai berikut :
· Bentuk kritik cenderung subjektif namun tanpa ditunggangi oleh klaim doktrin, klaim objektifitas melalui pengukuran yang terevaluasi.
· Kritikus melalui kesan yang dirasakannya terhadap sebuah bangunan diungkapkan untuk mempengaruhi pandangan orang lain bisa memandang sebagaimana yang dilihatnya.
· Menyajikan satu perspektif baru atas satu objek atau satu cara baru memandang bangunan (biasanya perubahan cara pandang dengan “metafor” terhadap bangunan yang kita lihat)
· Melalui rasa artistiknya disadari atau tidak kritikus mempengaruhi orang lain untuk merasakan sama sebagaimana yang ia alami ketika berhadapan dengan bangunan atau lingkungan kota.Membangun karya “bayangan” yang independen melalui bangunan sebagaimana miliknya, ibarat kendaraan.

Indonesia adalah negara yang sungguh plural, dimana terdapat berbagai macam agama, suku maupun kebudayaan yang sangat beraneka ragam. Dalam situasi seperti ini, tentu terjadinya perbedaan interpretasi tentang sesuatu hal adalah sesuatu yang wajar. Namun seringkali Indonesia belumlah bisa menjadi negara dewasa yang mau menerima interpretasi alternatif dari pihak lain. Akibatnya, situasi konflik, ketegangan, maupun kekerasan lah yang lebih sering jumpai. Di sisi, debat terbuka, musyawarah, maupun wacana-wacana ilmiah lain belumlah mendapat tempat.
Kiranya kedepan masayarakat Indonesia dapat melihat interpretasi orang lain bukan sebagai ancaman, melainkan sebuah alternatif bagi yang mau menerimanya, sehingga akan tercipta bangsa Indonesia yang dewasa, mau menghargai pendapat orang lain, dan yang terpenting, CINTA DAMAI.

Tidak ada komentar: