Tiap kali membicarakan tentang wacana home schooling, kita hampir selalu mengawalinya dengan melakukan analisis terhadap kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik. Home schooling kemudian dianggap sebagai jawaban dari merosotnya kualitas sistem pendidikan di Indonesia . Benarkah demikian?
Tulisan ini akan mencoba membahas tentang wacana home schooling dikaitkan dengan kemampuan dan kelayakannya dalam mengembangkan potensi anak. Karena idealnya, pendidikan haruslah di kembangkan melalui interaksi sistemik yang memungkinkan terjadinya transformasi multi nilai (Suyanto: 2008). Institusi pendidikan haruslah mampu menjadi sebuah ruang sosial kompleks, yang memungkinkan untuk membangun individu lengkap, tidak hanya secara kognitif. Namun jauh lebih penting, institusi pendidikan haruslah memiliki dan mensosialisasikan norma yang mengatur berbagai proses dinamika sosial-kultural masyarakat. Disinilah institusi pendidikan berfungsi menjadi medium yang menjembatani relasi komunikasi, dimana terjadi perkawinan kepentingan yang memicu berkembangnya sistem sosial baru di dalam konteks hubungan antar individu.
Sejatinya tujuan utama pendidikan jauh lebih besar daripada hanya sekedar menciptakan individu-individu yang memiliki kapasitas intelektual yang baik. Karena pada kenyataannya, keberhasilan seseorang dalam kehidupan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Individu yang berpotensi sukses adalah individu yang mampu menghadapi berbagai situasi dan masalah sosial kompleks yang tidak terprediksi, individu yang mampu bekerjasama dalam tim, serta individu yang tahu posisi kultural dan strukturalnya di masyarakat. Lebih dari hanya sekedar tingginya nilai IQ orang tersebut, namun keberhasilan juga dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut untuk melakukan konformitas sosial, kemampuan manajerial, dan kemampuan memimpin (leadership). Kontribusi IQ paling banyak sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup, sehingga sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain: sehimpunan faktor yang disebut kecerdasan emosional (Goleman: 1995).
Maka benarlah kiranya jika sekolah formal saja memang tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan jika pendidikan formal tidak lagi dibutuhkan. Pendidikan formal masih menjadi bagian yang integral dalam menciptakan individu-individu yang berkualitas, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Dalam pendidikan formal, siswa akan mengalami proses internalisasi terhadap realitas obyektif yang ada lingkungan sekolah. Jauh lebih penting dari hanya sekedar menguasai materi pembelajaran, namun pendidikan formal menawarkan sebuah pengalaman sosial yang unik, khas dan tak bisa ditemukan di tempat lain. Pengalaman ini terbentuk lewat interaksi, baik antara siswa, guru, maupun warga sekolah lainnya. Interaksi dan sosialisasi akan menciptakan konstruksi sosial yang berpangkal pada keteraturan. Siswa akan belajar berdisiplin, menghormati orang lain, berempati, berlatih berorganisasi, pengembangan kemampuan memimpin (leadership), pengenalan terhadap norma-norma, bahkan pengalaman ketertarikan kepada lawan jenis pun seringkali pertama kali dialami di sekolah. Pengalaman-pengalaman sosial ini menjadi bekal yang sangat berharga bagi siswa untuk mampu memenuhi tantangan kehidupan kelak.
Ketika orang tua memilih mendidik anaknya lewat jalur home schooling, maka anak tersebut tentu tidak akan memiliki pengalaman-pengalaman sosial diatas. Akibatnya, anak akan beresiko menerima efek samping berupa rendahnya keterampilan dan dinamika bersosialisasi. Di sisi lain, bisa jadi anak tersebut memang akan memiliki kapasitas intelektual yang lebih baik daripada anak yang menempuh pendidikan di jalur formal. Namun, apalah artinya kapasitas intelektual yang baik, jika kemampuan tersebut tak bisa diaplikasikan dalam kehidupan yang riil.
Banyak orangtua yang memilih mendidik anaknya lewat jalur home schooling berargumentasi bahwa keamanan dan pergaulan di sekolah formal tidak kondusif bagi perkembangan anak. Namun, jikalaupun argumentasi tersebut benar, hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa pendidikan formal merupakan sistem yang perlu dihindari. Karena memang dalam setiap ruang sosial, seseorang pastilah tidak akan terhindarkan untuk menjumpai berbagai situasi, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Disinilah perlunya pendidikan di dalam keluarga oleh orang tua untuk menutup kekurangan-kekurangan dan memproteksi anak dari situasi negatif yang didapatkan dari sekolah formal. Sekolah formal dan pendidikan di dalam keluarga bukanlah sebuah dikotomi, melainkan sebuah bagian integral yang saling melengkapi.
Akhir-akhir ini home schooling diidentikkan sebagai pendidikan alternatif bagi kaum berada. Bagi artis-artis cilik yang tak sempat sekolah karena manggung dan syuting tiap hari, atau bagi anak-anak pejabat yang takut anaknya terjerumus dalam pergaulan yang salah di sekolah (over protected?). Sungguh realitas ini jauh bertentangan dari cita-cita awal terciptanya home schooling yang dirancang untuk membantu anak-anak kurang mampu, atau untuk mengadaptasi kebutuhan anak dan kondisi keluarga yang memang memerlukan perlakuan khusus.
Pendidikan lewat jalur home schooling telah melenceng dari cita-cita luhur pendidikan. Para pendiri home schooling melihat wacana ini tak lebih dari hanya sekedar sebagai sebuah lahan bisnis yang menggiurkan. Penulis merasa sangat sedih ketika dalam sebuah wawancara di televisi, seorang pemilik usaha home schooling mengatakan ”home schooling adalah lahan bisnis yang sangat bagus, karena pendidikan adalah sebuah kebutuhan”. Sungguh, apakah pendidikan yang dilandasi ideologi kapitalisme seperti ini akan menghasilkan individu-individu yang bermartabat? Ataukah home schooling hanya akan menambah kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia dan berpotensi menjadi poisonous pedagogies bagi tunas-tunas muda penerus bangsa? Jawabannya ada pada anda, para orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar