Jumat, 06 Februari 2009

PENGERTIAN TES, PENGUKURAN, EVALUASI DAN ASSESSMENT

A. Pengertian Tes

a. Menurut Riduwan ( 2006: 37) tes sebagai instrumen pengumpulan data adalah serangkaian pertanyaan / latihan yang digunakan untuk mengukur ketrampilan pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu / kelompok.
b. Menurut Allen Philips (1979: 1-2) A test is commonly difined as a tool or instrument of measurement that is used to obtain data about a specific trait or characteristic of an individual or group.( Test biasanya diartikan sebagai alat atau instrumen dari pengukuran yang digunakan untuk memperoleh data tentang suatu karakteristik atau ciri yang spesifik dari individu atau kelompok.)
c. Menurut Rusli Lutan (2000:21) tes adalah sebuah instrument yang dipakai untuk memperoleh informasi tentang seseorang atau obyek.

B. Pengertian Pengukuran

a. Menurut William Shockley ( id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran). Pengukuran adalah perbandingan dengan standar.
b. Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). Pengukuran adalah suatu kegiatan untuk mengetahui informasi atau data secara kuantitatif. Pengukuran tidak melibatkan pertimbangan mengenai baik-buruknya, tidak menentukan siapa yang lulus dan tidak lulus.
c. Menurut Rusli Lutan (2000:21) pengukuran ialah proses pengumpulan informasi.
d. Menurut Gronlund yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran : suatu kegiatan atau proses untuk memperoleh deskripsi numerik dan tingkatan atau derajat karakteristik khusus yang dimiliki individu.
e. Menurut Allen Philips (1979: 1-2) a measure is the score that has been assigned on the basis of a test. ( Pengukuran adalah mencetak prestasi yang telah ditugaskan atas dasar suatu perjanjian.)
f. Menurut Kerlinger yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran : sebagai pemberian angka-angka pada obyek atau kejadian-kejadian menurut suatu aturan tertentu.
g. Menurut id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran. Pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, atau kepercayaan konsumen.
h. Menurut Sridadi (2007) pengukuran adalah suatu prose yang dilakukan secara sistematis untuk memperoleh besaran kuantitatif dari suatu obyek tertentu dengan menggunakan alat ukur yang baku.
i. Menurut Wolf (1984: 7) Measurement is the act of process of measuring. (Pengukuran adalah tindakan dari proses dari mengukur.)

C. Pengertian Evaluasi

a. Menurut Rusli Lutan (2000:22) evaluasi merupakan proses penentuan nilai atau kelayakan data yang terhimpun.
b. Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). Evaluasi adalah suatu kegiatan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan seperti program pendidikan termasuk perencanaan suatu program, substansi pendidikan seperti kurikulum, pengadaan dan peningkatan kemampuan guru, pengelolaan pendidikan, dan lain-lain.
c. Menurut Sridadi (2007) evaluasi : suatu proses yang dirancang secara sistematis dan terencana dalam rangka untuk membuat alternatif-alternatif keputusan atas dasar pengukuran dan penilaian yang telah dilakukan sebelumnya.
d. Allen Philips (1979: 1-2) evaluation is a complex term that often is misused by both teachers and students. It involves making decicions or judgements about students based on the extent to which instructional objectives are achieved by them. (evaluasi adalah suatu istilah kompleks yang sering disalahgunakan oleh para guru dan para siswa. Evaluasi melibatkan pembuatan keputusan atau penghakiman tentang para siswa didasarkan pada tingkat sasaran hasil yang dicapai oleh mereka.
e. Menurut Sutarsih dan Kadarsih yang dikutip oleh Sridadi (2007) evaluasi : suatu proses untuk memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.

D. Pengertian Assessment

a. Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). assessment adalah alih-bahasa dari istilah penilaian. Penilaian digunakan dalam konteks yang lebih sempit daripada evaluasi dan biasanya dilaksanakan secara internal. Penilaian atau assessment adalah kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik-buruk, efektif-tidak efektif, berhasil-tidak berhasil, dan semacamnya sesuai dengan kriteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.
b. Menurut www.elook.org/dictionary/assessment.htm Definition of assessment: the classification of someone or something with respect to its worth.
( Definisi dari penilaian adalah penggolongan seseorang atau sesuatu berkenaan dengan harganya.)
c. Menurut Angelo (1991: 17) Classroom Assessment is a simple method faculty can use to collect feedback, early and often, on how well their students are learning what they are being taught. (Penilaian Kelas adalah suatu metode yang sederhana dapat menggunakan fakultas (sekolah) untuk mengumpulkan umpan balik, awal dan setelahnya, pada seberapa baik para siswa mereka belajar apa yang mereka ajarkan.)
d. Menurut Suharsimi yang dikutip oleh Sridadi(2007) penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk → bersifat kualitatif.
e. Menurut Depag yang dikutip Sridadi (2007) penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah selanjutnya.
f. Menurut Rusli Lutan (2000:9) assessment termasuk pelaksanaan tes dan evaluasi. Asessment bertujuan untuk menyediakan informasi yang selanjutkan digunakan untuk keperluan informasi.



DAFTAR PUSTAKA

Angelo, T.A., (1991). Ten easy pieces: Assessing higher learning in four dimensions. In Classroom research: Early lessons from success. New directions in teaching and learning (#46), Summer, 17-31.
Buana. (2005). Ujian Nasional: Penilaian atau Evaluasi. www.fajar.co.id/news.php?
Diakses tanggal 20 September 2007
Phillips, Allen D. (1979). Measurement and Evaluation in physical education. Canada: John Whiley & Sons, Inc.
Rusli Lutan. (2000). Pengukuran dan Evaluasi Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sridadi. (2007). Diktat Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Penjas. Yogyakarta: FIK UNY
William Shockley. id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran). Diakses tanggal 20 September 2007
Wolf, Richard, M. (1984). Evaluation in education. New York: Praeyer Publishers

www.elook.org/dictionary/assessment.html. Diakses tanggal 20 September 2007

PENILAIAN PENJAS


A. Pendahuluan

Guru tidak dapat bekerja secara efektif jika tidak dapat menilai secara akurat pencapaian siswanya. Menilai secara akurat sangat penting sebab guru tidak dapat membantu siswanya secara efektif jika tidak mengetahui pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai siswanya dan pelajaran apa yang masih menjadi masalah bagi siswanya. Hal yang sama pentingnya adalah guru tidak dapat memperbaiki jika tidak memperoleh indikasi efektifitas dalam mengajar.
Menurut Prof. Dr. Rusli Lutan penilaian (grading) merupakan salah satu bentuk pelaporan umpan balik tentang kemajuan belajar siswa. Penilaian mencakup komponen essensial dalam tujuan pendidikan jasmani. Fungsi penilaian yaitu:
1. Nilai memberi gambaran tentang kemajuan siswa yang bersangkutan baik untuk dirinya sendiri maupun orang tuanya.
2. Nilai dapat membangkitkan motivasi untuk menyempurnakan penampilannya.
3. Nilai merupakan dasar untuk kenaikan kelas maupun tingkat.
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Begitu banyak aspek yang dinilai dalam pendidikan, karena pendidikan jasmani adalah sebuah pelajaran dengan karakteristik yang unik karena menyangkut tiga ranah sekaligus, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik secara bersama-sama. Tentunya dibutuhkan sebuah sistem penilaian yang tepat agar segala prestasi yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran mampu dijabarkan dan disajikan secara gamblang dan sesuai realita dilapangan.
Pendidikan jasmani di SMP berisi berbagai macam materi pembelajaran, salah satunya adalah atletik nomor lempar. Terdapat berbagai model penilaian untuk menentukan nilai siswa. Dalam makalah ini akan disajikan berbagagai macam penilaian tersebut dengan harapan guru mampu memilih model yang sesuai dengan sekolah dan karakteristik siswanya.


B. Penilaian

Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka, deskripsi verbal) analisis, interpretasi informasi untuk membuat keputusan. Sedangkan penilaian kelas sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan & penggunaan informasi oleh guru melalui sejumlah bukti untuk buat keputusan ttg pencapaian hasil belajar.
Menurut Suharsimi (1995) penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk → bersifat kualitatif. Sedang menurut Depag (1992) penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah selanjutnya.
Unsur-unsur penilaian antara lain:
1. Ada proses pengukuran dengan standar yang ada.
2. Ada standar yang dijadikan pembanding.
3. Terjadi proses perbandingan dengan hasil.
4. Ada hasil penilaian yang bersifat kualitatif.
Guru perlu melakukan penilaian untuk:
1. Mengetahui tingkat keberhasilan siswa.
2. Mengetahui kesesuaian materi yang diajarkan.
3. Memberikan informasi kepada orang tua.
4. Memberikan informasi kepada sekolah.
5. Memberikan informasi kepada pihak luar, BP, atau staf pengajar yang lain.
Ciri-ciri penilaian antara lain:
1. Menggunakan acuan patokan/kriteria
2. Penilaian otentik:
- proses penilaian bagian integral dari proses pembelajaran,
- mencerminkan masalah dunia nyata bukan dunia sekolah,
- menggunakan berbagai cara dan kriteria,
- holistik (kognitif, afektif, psikomotor)
Kriteria penilaian kelas antara lain:
• Validitas: hasil penilaian dapat ditafsirkan sebagai apa yang akan dinilai.
• Realibilitas: hasil penilaian ajeg, menggambarkan kemampuan yang sesungguhnya.
• Fokus kompetensi: pencapaian kompetensi yang sesuai kurikulum, materi terkait langsung dengan indikator pencapaian.
• Komprehensif: informasi yang diperoleh cukup untuk buat keputusan.
• Objektif: adil, terencana, berkesinambungan
• Mendidik : penilaian untuk perbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan kualitas belajar
Langkah-langkah untuk menilai siswa yaitu:
• Menyesuaikan materi dengan kompetensi pada kurikulum.
• Alat penilaian sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
• Ketika penilaian berlangsung mempertimbangkan kondisi anak.
• Petunjuk pelaksanaan jelas, menggunakan bahasa yang mudah dipahami
• Kriteria penyekoran jelas
• Gunakan berbagai cara dan alat untuk nilai beragam kompetensi
• Lakukan rangkaian aktivitas penilaian melalui: pemberian tugas, PR, ulangan, pengamatan, dsb.
Sistem penilaian yang bisa digunakan adalah:
1. Unjuk Kerja (Performance) yaitu pengamatan terhadap aktivitas siswa sebagaimana terjadi (unjuk kerja, tingkah laku, interaksi)
2. Penugasan (project) adalah penilaian terhadap suatu tugas (mengandung investigasi) yang harus selesai dalam waktu tertentu
3. Hasil Kerja (Produk) adalah penilaian terhadap kemampuan membuat produk misalnya teknologi atau seni
4. Tertulis, misalnya memilih jawaban: Pilihan ganda, 2 pilihan (B-S; ya-tidak) mensuplai jawaban: Isian atau melengkap Jawaban singkat, uraian
5. Portofolio: : Menekankan penghargaan kepada seluruh pengalaman dan kemajuan siswa baik yang diperagakan disekolah maupun di luar sekolah.Bentuk bisa berupa laporan essai tertulis, maupun pengisian formulir yang tersedia.
6. Penilaian sikap yaitu penilaian berdasarkan pengamatan sehari hari yaitu penilaian terhadap perilaku dan keyakinan siswa terhadap obyek sikap
7. Metode Kesenjangan dalam distribusi. Sebuah distribusi skor tes biasanya ada kesenjangan skor (tak ada skor) beberapa guru menggunakannya untuk menilai siswa.
8. Metode persentase. Misalnya nilai A bila mampu menjawab minimal 90% soal dengan benar.
9. Metode himpunan angka / nilai.Yaitu menjumlahkan angka dari siswa berdasarkan komponen-komponen nilai.
10. Metode kurva normal. Yaitu membuat grading berdasar sistem kurva normal dan memasukkan nilai siswa kedalam tebel tersebut.
11. Penilaian berdasarkan kontrak. Yaitu penilaian berdasarkan kesepakatan guru dan murid.
Pelaporan penilaian pada siswa maupun orang tua dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Tipe-tipe dari pelaporan penilaian antara lain,
1. Deskriptif (kata-kata)
2. Persentase, misalnya 70% dari 100%
3. Nilai dengan skala, misalnya A B C D E atau skala 1-10.
4. Dikotomi, hasil dengan dua kategori penilaian, misalnya lulus dan tidak lulus.
5. Skor sebenarnya yang diperoleh dari test.

Disekolah, terutama di SMP tipe penilaian yang sering digunakan adalah tes unjuk kerja (performance) yaitu pengamatan terhadap aktivitas siswa sebagaimana terjadi dan disajikan dalam bentuk skala, misalnya 1-10. Namun sejalan dengan digunakannya kurikulum KTSP maka penilaian dengan model penilaian kelas pun digunakan. Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dapat dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar yang akan dinilai. Oleh sebab itu, penilaian lebih merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan, dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan belajarnya.
Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum. Penilaian merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.
Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri. Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik tidak dianjurkan untuk dibandingkan dengan peserta didik lainnya, tetapi dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelumnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu untuk mencapai apa yang diharapkan. Prinsip penilaian kelas, dalam melaksanakan penilaian, guru seyogianya:
a. Memandang penilaian dan kegiatan pembelajaran secara terpadu, sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses pembelajaran.
b. Mengembangkan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata.
c. Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin diri.
d. Melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.
e. Mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
f. Mengembangkan dan menyediakan penilaian pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
g. Menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.
h. Melakukan penilaian kelas secara berkesinambungan terhadap semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
i. Mengadakan ulangan harian bila sudah menyelesaikan satu atau beberapa indikator.

C. Kurikulum Pendidikan Jasmani SMP

Berikut adalah standar kompetensi serta kompetensi dasar pendidikan jasmani SMP berdasarkan KTSP untuk kelas VII semester 1.
Kelas VII, Semester 1
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1. Mempraktikkan berbagai teknik dasar permainan dan olahraga, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya

1.1 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan dan olahraga beregu bola besar lanjutan dengan koordinasi yang baik, serta nilai kerjasama, toleransi, percaya diri, keberanian, menghargai lawan, bersedia berbagi tempat dan peralatan**)
1.2 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan dan olahraga beregu bola kecil lanjutan dengan koordinasi yang baik , serta nilai kerjasama, toleransi, percaya diri, keberanian, menghargai lawan, bersedia berbagi tempat dan peralatan **)
1.3 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar atletik serta nilai toleransi, percaya diri, keberanian, menjaga keselamatan diri dan orang lain, bersedia berbagi tempat dan peralatan. **)
1.4 Mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar salah satu permainan olahraga bela diri dengan koordinasi yang baik serta nilai keberanian, kejujuran, menghormati lawan dan percaya diri **)

2. Mempraktikkan latihan kebugaran jasmani , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya

2.1 Mempraktikkan jenis latihan kekuatan dan daya tahan otot serta nilai disiplin dan tanggung jawab
2.2 Mempraktikkan latihan daya tahan jantung dan paru-paru , serta nilai disiplin dan tanggung jawab



3. Mempraktikkan senam dasar dengan teknik dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya

3.1 Mempraktikkan senam dasar dengan bentuk latihan keseimbangan bertumpu pada kaki , serta nilai disiplin, keberanian, dan tanggung jawab
3.2 Mempraktikkan senam dasar dengan bentuk latihan keseimbangan bertumpu selain kaki serta nilai disiplin, keberanian dan tanggung jawab

4 Mempraktikkan senam irama tanpa alat , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya
4.1 Mempraktikkan teknik dasar senam irama tanpa alat, gerak langkah kaki mengikuti irama , serta nilai disiplin, estetika, toleransi dan keluwesan
4.2 Mempraktikkan teknik dasar senam irama tanpa alat, gerak mengayun satu lengan mengikuti irama , serta nilai kedisiplinan, estetika, toleransi dan keluwesan

5. Mempraktikkan sebagian teknik dasar renang gaya dada , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya*)

5.1 Mempraktikkan teknik dasar gerakan kaki renang gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan
5.2 Mempraktikkan teknik dasar gerakan lengan renang gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan
5.3 Mempraktikkan teknik dasar gerakan kaki, gerakan lengan, dan pernapasan gaya dada serta nilai disiplin, keberanian dan kebersihan

6. Mempraktikkan perkemahan dan dasar-dasar penyelamatan di lingkungan sekolah , dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya***)

6.1 Mempraktikkan pemilihan tempat yang tepat untuk mendirikan tenda perkemahan, mempraktikkan teknik dasar pemasangan tenda untuk perkemahan di lingkungan sekolah secara beregu , serta nilai kerjasama, tanggung jawab dan tenggang rasa

6.2 Mempraktikkan penyelamatan dan P3K terhadap jenis luka ringan serta nilai kerja sama, tanggung jawab dan tenggang rasa

7. Menerapkan budaya hidup sehat
7.1 Memahami pola makan sehat
7.2 Memahami perlunya keseimbangan gizi


Untuk kelas VIII dan IX standar kompetesi dan kompetensi dasar serta hampir sama, namun penekanannya untuk kelas VIII semester I adalah mempraktikkan teknik dasar, kelas VIII semester II adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar. Sedang untuk kelas IX semester I adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar dengan konsisten, untuk kelas IX semester II adalah mempraktikkan variasi dan kombinasi teknik dasar lanjutan dengan tepat dan lancar. Untuk atletik nomor lempar, cabang yang bisa diberikan antara lain,
1. Lempar cakram.
2. Lempar lembing.
3. Tolak peluru.
4. Tolak martil ( Jarang dilakukan dalam pembelajaran disekolah, bisa diberikan jika sarana dan prasarananya mendukung.)

D. Sistem Penilaian Atletik Cabang Lempar
Penilaian untuk nomor lempar biasanya berdasarkan jarak lemparan serta teknik siswa saja, namun di dalam pembelajaran penjas, tentunya ada beberapa hal lain yang menjadi komponen penilaian, antara lain kognitif dan afektif siswa. Hal tersebut bisa dilihat dari kehadiran siswa, perilakunya saat pelajaran, keaktivan saat diskusi, dll.
Apabila cabang yang dinilai hanya satu cabang, maka penilaian yang lazim digunakan adalah sistem skala 1 sampai dengan 10. Sebelumnya ditentukan dahulu standar nilai untuk murid (nilai yang didapatkan siswa apabila melakukan unjuk kerja dalam level tertentu) Patokan tersebut harus diberitahukan pada murid. Misalnya untuk tolak peluru, nilai 8 didapat apabila mampu menolak sejauh 4 meter sampai 4,5 meter, nilai 9 jika mampu menolak sejauh 4,5 meter sampai dengan 5 meter, nilai 10 bila lebih dari 5 meter.
Bentuk tes yang biasa kita rancang adalah unjuk kerja melakukan lemparan sejauh-jauhnya per individu. Nilai dirangkum berdasarkan jarak yang lemparan siswa serta teknik yang dikuasai siswa ( berdasarkan pengamatan). Nilai kemudian dijumlah dan dijadikan satu hasilnya merupakan nilai aspek psikomotorik.
Penilaian diatas hanya mempedulikan kemampuan melempar siswa, padahal penilaian juga harus memperhatikan ranah kognitif dan afektif siswa. Lalu cara apa yang bisa kita gunakan agar nilai kognitif, afektif dan psikomotorik dapat teramgkum dalam satu nilai? Cara yang bisa gunakan adalah dengan melakukan rangkuman nilai kognitif dan afektif (bisa pula dilakukan tes) lalu digabungkan dengan nilai tes malempar. Bila nilai kasar telah disusun dalam tabel distribusi, rumus statistika yang bisa digunakan untuk mengolah data adalah standar score. Namun sebelumnya kita harus mencari standar deviasi terlebih dahulu, yaitu dengan rumus:
Setelah mendapatkan standar deviasi, langkah selanjutnya adalah mencari angka standar, dengan rumus:


Z = Angka standar (nilai siswa)
X = Angka kasar siswa
M = Mean distribusi
SD = Standar deviasi
Bila telah didapatkan Z selanjutnya nilai Z masing-masing siswa dijumlah. Nilai tertinggi adalah yang terbaik. Nilai kemudian diranking dan dimasukkan tabel kurva normal, selanjutnya tentukan nilai siswa tergantung tabel tersebut. Nilai tersebut adalah nilai kumulatif dari tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dan diharapkan mampu mengakomodasi ketiga ranah tersebut.



E. Teknik Penyajian Data
Setelah mendapat nilai dari siswa keseluruhan, data dapat disajikan dalam beberapa cara antara lain:
F. PENUTUP
Demikian makalah tentang penilaian pendidikan jasmani disekolah, khususnya atletik nomor lempar, semoga dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Pendidikan jasmani adalah pelajaran dengan karakteristik unik dan rumit karena melibatkan ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik secara bersama-sama. Tak ada sebuah sistem penilaian yang benar-benar tepat mampu menilai semua materi pelajaran. Hendaknya guru pendidikan jasmani mampu memilih sebuah sistem penilaian yang tepat berdasarkan materi pelajaran, kondisi sekolah, maupun karakteristik siswa, agar segala prestasi yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran mampu dijabarkan dan disajikan secara gamblang, obyektif dan sesuai realita dilapangan.


DAFTAR PUSTAKA

Hari A. Rahman. (2007). Diktat Kuliah Statistika. Yogyakarta: FIK UNY

Nitro. (2007). Penilaian Pendidikan Jasmani Tentang Senam. Yogyakarta: FIK UNY

Peraturan Menteri no.22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Rusli Lutan. (2000). Pengukuran dan Evaluasi Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. (2006). Sistem Penilaian. http://jip.pdkjateng.go.id/Data/PEDOMAN-KHUSUS
Diakses tanggal 14 mei 2007

GURU PENDIDIKAN JASMANI PROFESIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasional

Menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional tidak semudah yang dibayangkan orang selama ini. Salah jika ada yang menganggap mereka hanya dengan modal peluit bisa menjadi guru pendidikan jasmani di sekolah. Bahkan sebaliknya, bahwa untuk menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional akan lebih sulit dibanding menjadi guru mata pelajaran yang lain. Hal ini disebabkan bahwa mata pelajaran pendidikan jasmani lebih kompleks permasalahannya dibanding dengan mata pelajaran yang lain. Oleh sebab itu tidak bisa guru mata pelajaran lain diminta untuk mengajar mata pelajaran pendidikan jasmani atau sebaliknya.
Profesi guru pendidikan jasmani secara umum sama dengan guru mata pelajaran yang lain pada umumnya, namun secara khusus ada letak perbedaan yang prinsip dan ini merupakan ciri khas tersendiri. Profesionalisasi tenaga kependidikan menjadi kebutuhan yang utama dalam masyarakat jika masyarakat itu sendiri mengakuinya. Tenaga kependidikan khususnya guru sangat diakui oleh masyarakat jika guru tersebut mempunyai tingkat kredibilitas yang tinggi, yaitu komitmen, dapat dipercaya, dan profesional dalam bidangnya. Begitu pentingnya profesionalisasi, maka di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) ditawarkan matakuliah Persiapan Profesi Guru, sebagai salah satu matakuliah yang wajib diikuti oleh para mahasiswa calon guru.
Kebutuhan guru pendidikan jasmani yang profesional sangat tinggi, dalam rangka menanggapi tantangan zaman modern. Seiring dengan itu banyak dinyatakan beberapa praktisi bahwa guru pendidikan jasmani secara umum belum menunjukkan profesionalnya. Hal itu dapat diberikan beberapa contoh yaitu: guru mengajar hanya duduk di pinggir lapangan, sedangkan siswa suruh latihan sendiri tanpa ada motivasi, penghargaan, dan perhatian yang serius. Contoh yang lain guru mengajar hanya secara tradisional yaitu tanpa menggunakan media dan metode yang sesuai dengan yang seharusnya.
Guru pendidikan jasmani tugasnya tidak hanya menyampaikan materi yang bersifat fisik dan motorik saja, melainkan semua ranah harus tersampaikan pada siswanya melalui pembelajaran dan pendidikan yang utuh. Manajemen kelas merupakan kelemahan secara umum bagi guru pendidikan jasmani ketika mengajar. Padahal terkait dengan manajemen kelas merupakan salah satu syarat yang mutlak untuk keberhasilan pembelajaran. Untuk membekali calon guru pendidikan jasmani yang profesional, maka perlu mendapatkan bahan-bahan yang terkait dengan profesinya, salah satunya matakuliah Persiapan Profesi Guru Pendidikan Jasmani.

B. Definisi dan Makna
1. Tuntutan Profesionalisme
Seseorang guru pendidikan jasmani saat sekarang dan mendatang sangat dituntut profesionalismenya. Hal ini selaras dengan persaingan dalam beberapa aspek, yaitu aspek sosial, teknologi, dan kemanusiaan, karena persyaratan kemampuan seseorang yang profesional untuk melakukan pekerjaan semakin meningkat. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah ditanamkan oleh dosen kepada calon guru masih sangat terbatas, oleh sebab itu para mahasiswa calon guru agar selalu dapat meningkatkan kemandiri-annya untuk mengembangkan dan menuju ke arah profesional. Negara manapun di dunia ini pasti menginginkan guru dan SDM yang profesional, apalagi di negara maju. Di Indonesia saat sekarang sangat dituntut guru yang memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS ) juga guru yang beriman dan bertaqwa (IMTAQ)
Guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensinya baik ranah afektif, kognitif, maupun fisik dan psikomotorik. Guru juga orang yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didiknya dalam pertumbuhan dan perkembangannya agar dapat mencapai tingkat kedewasaan serta mampu mandiri dalam memenuhi tugas sebagai manusia hamba Tuhan.
Dalam buku berjudul Kiat Menjadi Guru Profesional karangan Muhammad Nurdin telah dijelaskan bahwa ada 9 syarat yang harus ditempuh untuk menjadi guru yang profesional yaitu: Pertama, sehat jasmani dan rokhani, ini akan membuat seorang guru dapat melaksanakan proses pembelajaran tanpa ada gangguan dari segi jasmani dan rokhani, apalagi untuk guru pendidikan jasmani hal ini merupakan syarat yang mutlak. Kedua, bertaqwa, yaitu bahwa guru yang bertaqwa akan memberikan keteladanan kepada para peserta didiknya, sehingga dapat ditiru oleh peserta didiknya. Ketiga, berpenge-tahuan yang luas, artinya wajib bagi guru untuk selalu mengikuti perkembangan IPTEKS, mengingat perkembangan pada masa sekarang begitu pesat. Keempat, berlaku adil, sehingga tidak membedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Sebagai guru pendidikan jasmani juga harus memberikan layanan kepada semua peserta didik, apakah peserta didik tersebut normal atau mengalami kecacatan. Jika ada peserta didik yang cacat maka pemberian layanannya disesuaikan dengan sifat kecacatannya, apakah tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, maupun tuna netra. Kelima, berwibawa, di sini dimaksudkan agar guru berpenampilan yang dapat menimbulkan wibawa dan rasa hormat sehingga peserta didik mendapat pengayoman dan perlindungan. Sekaligus para peserta didik tidak akan mengabaikan apa saja yang menjadi keputusan seorang guru. Keenam, ikhlas, sehingga pekerjaan yang dilakukan bukanlah sebuah sebuah beban melainkan merupakan amanah yang wajib dilaksanakan dengan tulus ikhlas agar mendapatkan pahala. Guru yang melaksanakan tugas dengan rasa ikhlas lahir batin akan dapat memudahkan untuk masuk sorga, karena manusia meninggal hanya ada tiga perkara yang dibawa, yaitu anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat, dan amal jariyah. Guru yang setiap hari menyampaikan ilmu yang bermanfaat kepada peserta didik akan memiliki bekal ilmu yang bermanfaat. Ketujuh, memiliki tujuan Rabbani, artinya segala sesuatu harus bersandar pada Allah swt. Tuhan yang Mahaesa dan selalu mentaatinya, mempunyai keyakinan bahwa manusia hanya dapat merencanakan dan melaksanakan, sedangkan semua keputusan dan takdir hanya dari Tuhan Allah swt.. Kedelapan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan. Seorang guru yang profesional harus dapat membuat rancangan sesuai kaidah yang berlaku dan dapat melaksanakannya dengan baik. Kesembilan, menguasai bidang yang ditekuni. Guru pendidikan jasmani harus benar-benar menguasai tentang hakikat pendidikan jasmani, baik aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikapnya.

2. Definisi Profesi
Istilah profesi semakin populer sejalan dengan semakin kuatnya tuntutan kemampuan profesional dalam pekerjaan. Apapun jenis maupun bentuk pekerjaannya, kemampuan profesional telah menjadi kebutuhan individu. Secara etimologi profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa Latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Penyandang profesi boleh menyatakan bahwa dia mampu atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu asalkan pengakuannya disertai bukti yang nyata bahwa dia benar-benar mampu melaksanakan suatu pekerjaan yang diklaim sebagai keahliannya. Namun pengakuan itu idealnya berasal dari masyarakat atau pengguna jasa penyandang profesi itu atau berangkat dari karya ilmiah atau produk lain yang dihasilkan oleh penyandang profesi tersebut. Pengakuan itu terutama didasari atas kemampuan konseptual-aplikatif dari penyandang profesi tersebut.
Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental yang dimaksudkan di sini adalah adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis. Merujuk pada definisi ini, pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan manual atau fisikal, meskipun levelnya tinggi, tidak digolongkan dalam profesi. Dengan demikian tidak muncul organisasi profesi, seperti Ikatan Tukang Becak Indonesia, Ikatan Tukang Kayu Indonesia, Ikatan Penganyam Rotan Indonesia, Ikatan Petani Indonesia, dsb. Namun yang ada adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).
Secara sosiologis menurut Vollmer & Mills (1972) bahwa profesi menunjuk pada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang dapat diperoleh, jika pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh. Istilah “ideal” itu hanya ada dalam kata, tidak atau sulit dalam realita, karena sifatnya hanya sebuah abstraksi. Kondisi ideal tidak lebih dari harapan yang tidak selesai karena fenomena yang ada hanya sebatas mendekati hal yang ideal tersebut.
Ada tiga pilar pokok yang ditunjukkan untuk suatu profesi, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Pengetahuan merupakan fenomena yang diketahui dan disistematisasikan sedemikian rupa sehingga memiliki daya prediksi, daya kontrol, dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat yang lebih tinggi, pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang dimiliki oleh seseorang melalui proses belajar. Keahlian bermakna penguasaan substansi keilmuan yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Keahlian juga bermakna kepakaran dalam cabang ilmu tertentu untuk dibedakan dengan kepakaran lainnya. Persiapan akademik mengandung makna bahwa untuk derajat profesional atau memasuki jenis profesi tertentu, diperlukan persyaratan pendidikan khusus, berupa pendidikan prajabatan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan formal, khususnya jenjang perguruan tinggi.

3. Profesional, Profesionalisme, dan Profesionalisasi
Kata profesional merujuk dua hal yaitu: Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, seperti “Agus adalah seorang profesional”. Orang yang profesional biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan dia mengabdi diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya itu. Istilah otonom yang berarti bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh seorang yang menyandang profesi benar-benar sesuai dengan keahliannya. Otonom itu adakalanya berseri, misalnya guru pendidikan jasmani melakukan pekerjaan mulai dari membuat program tahunan, program semester, membuat rancangan pembelajaran, melakukan proses pembelajaran, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran, selanjutnya menetapkan nilai akhir untuk siswanya. Kedua, kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkatan yang tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni yang menjadi ciri tampilan profesional seorang penyandang profesi. Kiat atau seni ini umumnya tidak dapat dipelajari secara khusus meskipun dapat saja diasah melalui latihan. Misalnya, seni guru dalam mengolah pertanyaan kepada siswa, memberikan umpan balik, dan mengemas humor secara tepat selama mengajar. Juga termasuk kemampuan intuitif, yaitu seorang profesional sungguhan seringkali tidak perlu mengumpulkan data terlalu banyak dan lama untuk mengambil kesimpulan atas sebuah fenomena yang dihadapinya.
Profesionalisme berasal dari kata bahasa Inggris profesionalism yang secara leksikal berarti sifat profesi. Orang-orang yang profesional sangat berbeda dengan orang-orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau bekerja dalam satu ruang yang sama. Tidak jarang ada orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dan bekerja pada instansi yang sama, namun kinerjanya berbeda, termasuk pengakuan dari masyarakat yang berbeda pula. Sifat profesional berbeda dengan sifat para profesional atau tidak profesional sama sekali. Sifat yang dimaksud adalah seperti yang dapat ditampilkan dalam perbuatan, bukan hanya dalam kata-kata saja. Untuk menunjukkan seseorang itu profesional adalah dengan perbuatan yang dilakukan bukan hanya dalam kata-kata yang diucapkan saja. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya tersebut.
Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifkasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksentasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan seprofesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik terkini, dsb. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, penataran, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi.

C. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang termaktub di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 1992 tanggal 17 Juli 1992. Dalam PP tersebut pasal 3 ayat 1 sampai 3) disebutkan beberapa jenis tenaga dalam lingkup ketenagaan kependidikan, sebagai berikut :
1. Tenaga kependidikan yang terdiri atas tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, dan penguji.
2. Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, pengajar, dan pelatih.
3. Pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, dan pimpinan satuan pendidikan luar sekolah.
Yang termasuk dalam jenis tenaga kependidikan adalah pengelola sistem pendidikan, seperti kepala kantor dinas pendidikan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Jika hendak diperluas, tenaga kependidikan sesungguhnya termasuk tenaga administratif bidang pendidikan yang berfungsi sebagai subjek yang menjalankan fungsi pendukung pelaksanaan pendidikan.
Secara umum tenaga kependidikan dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu :
Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, penguji, pengajar, dan pelatih.
Tenaga fungsional kependidikan terdiri atas penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang kependidikan, dan pustakawan.
Tenaga teknis kependidikan terdiri atas laboran dan teknisi sumber belajar.
Tenaga pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rector, dan pimpinnan satuan pendidikan luar sekolah.
Tenaga lain yang mengurusi masalah-masalah manajerial atau administrative kependidikan.
Guru pendidikan jasmani merupakan tenaga kependidikan yang sangat dibutuhkan dalam semua jenjang pendidikan yaitu dari pra sekolah hingga sekolah menengah atas, bahkan di perguruan tinggi. Hal ini karena manfaat pendidikan yang sudah diketahui hasilnya, yaitu dalam rangka mendewasakan anak atau siswa, yaitu pendidikan pada semua ranah, ranah afektif, kognitif, fisik, dan psikomotorik. Dalam rangka menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan jasmani sangat dibutuhkan pada semua jenjang pendidikan.

D. Multiperan Guru Pendidikan Jasmani
Tugas, fungsi, dan uraian tugas guru secara umu dapat dirangkum dalam matrik berikut:

TUGAS
FUNGSI
URAIAN TUGAS
I. Mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih

1. Sebagai Pendidik

1.1 Mengembangkan potensi/ kemampuan dasar peserta didik.
1.2 Mengembangkan kepribadian peserta didik.
1.3 Memberikan keteladanan.
1.4 Menciptakan suasana pendidikan yang kondusif.
2. Sebagai Pengajar
2.1 Merencanakan pembelajaran.
2.2 Melaksanakan pembelajaran yang mendidik.
2.3 Menilai proses dan hasil pembelajaran.
3. Sebagai Pembimbing
3.1 Mendorong berkembangnya perilaku positif dalam pembelajaran.
3.2 Membimbing peserta didik memecahkan masalah dalam pembelajaran.
4. Sebagai Pelatih
4.1 Melatih keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam pembelajaran.
4.2 Membiasakan peserta didik berperilaku positif dalam pembelajaran.
II. Membantu pengelolaan dan pengem-bangan program sekolah
5. Sebagai pengembang program
5.1 Membantu mengembangkan program pendidikan sekolah dan hubungan kerjasama intra sekolah.
6. Sebagai pengelola program
6.1 Membantu secara aktif dalam menjalin hubungan dan kerjasama antar sekolah dan masyarakat.
III. Mengembang-kan keprofe-sionalan
7. Sebagai tenaga profesional
7.1 Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional.

Sedangkan secara khusus tugas guru pendidikan jasmani secara nyata sangat kompleks antara lain:

1. Sebagai pengajar
Guru pendidikan jasmani sebagai pengajar tugasnya adalah lebih banyak memberikan ilmu pengetahuan yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah kognitif peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik mendapatkan banyak pengetahuan bagaimana hakikat masing-masing materi.

2. Sebagai pendidik
Guru pendidikan jasmani sebagi pendidik tugasnya adalah lebih banyak memberikan dan menanamkan sikap atau afektif ke peserta didik melalui pembelajaran pendidikan jasmani. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik ditanamkan sikap, agar benar-benar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dengan unsur-unsur sikap : tanggung jawab, jujur, menghargai orang lain, ikut berpartisipasi, rajin belajar, rajin hadir, dan lain-lain.


3. Sebagai pelatih
Guru pendidikan jasmani sebagai pelatih tugasnya adalah lebih banyak memberikan keterampilan dan fisik yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah fisik dan psikomotorik peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik fisik dan keterampilan gerak yang baik.

4. Sebagai pembimbing
Guru pendidikan jasmani sebagai pembimbing tugasnya adalah lebih banyak mengarahkan kepada peserta didik pada tambahan kemampuan para peserta didiknya. Sebagai contoh : membimbing baris berbaris, petugas upacara, mengelola UKS, mengelola koperasi, kegiatan pecinta alam, dan juga membimbing peserta didik yang memiliki masalah atau khusus.













BAB II
PROFESIONALISASI GURU PENDIDIKAN JASMANI

A. Profesionalisasi Guru Pendidikan Jasmani
Pendidikan merupakan salah satu instrumen utama pengembang sumber daya manusia (SDM), maka tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk mengemban tugas mengembangkan SDM. Oleh karena itu siapa saja yang mengemban tugas profesi tenaga kependidikan harus secara kontinyu menjalani profesionalisasi, baik secara formal maupun informal. Di Indonesia saat sekarang sudah dibentuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di setiap propinsi, yang bertugas secara umum bagaimana meningkatkan tenaga kependidikan menjadi bermutu dan profesional.
Menurut R.D. Lansbury dalam Profesionals and Management (1978) (Sudarman Danim, 2002), dalam konteks profesionalisasi, istilah profesionalisasi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik.

1. Pendekatan Karakteristik
Pendekatan ini memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan yang lain. Seorang penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti menjadi bagian integral dalam kehidupannya. Kesimpulan dari para ahli mengenai sifat atau karakteristik profesi sebagai berikut :
Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, termasuk di sini pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki seorang penyandang profesi.
Memiliki pengetahuan spesialisasi, yaitu sebuah kekhususan penguasaan bidang keilmuan tertentu. Contoh: siapa saja bisa menjadi guru, tetapi guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang diperoleh dalam pendidikan tinggi, yaitu guru pendidikan jasmani lulusan dari program studi pendidikan jasmani.
Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien. Jika guru maka kliennya adalah siswa.
Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable. Seorang guru harus memilik teknik berkomunikasi agar mudah dipahami oleh peserta didik, sehingga apa yang disampaikan dapt diserap dengan mudah.
Memiliki kapasitas mengorganisaskan kerja secara mandiri atau self-organization. Istilah mandiri berarti kewenangan akademik melekat pada dirinya, maksudnya bahwa pekerjaannya dapat dilakukan sendiri dengan tanpa harus minta bantuan kepada orang lain.
Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Seorang guru harus siap selalu memberikan layanan yang terbaik kepada para peserta didiknya pada saat diperlukan kapan saja dan di mana saja.
Memiliki kode etik. Guru Indonesia sudah memiliki kode etik guru yaitu :
” Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut :
1) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4) Guru menciptakan suasana sekola sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesionalnya.
7) Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.”
Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunita. Manakala terjadi “malpraktik”, seorang guru penjas harus siap menerima sanksi pidana, sanksi dari masyarakat, atau sanksi dari atasannya. Misalnya mengajar renang karena guru teledor, sehingga terjadi kecelakaan ada siswa yang tenggelam dan meninggal dunia, maka guru tersebut harus bertanggung jawab dan menerima sanksi.
Mempunyai sstem upah atau standar gaji. Guru penjas yang profesional supaya mempunyai sistem upah yang jelas.
Budaya profesional. Budaya profesi dapat berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol untuk profesi lain.

2. Pendekatan Institusional
Pendekatan institusional memandang bahwa profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Maksudnya adalah kemajuan suatu pekerjaan ke arah pencapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya. H.L. Wilensky (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima langkah untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan yaitu:
Memunculkan suatu pekerjaan yang penuh waktu atau full-time, bukan pekerjaan sambilan. Sebutan full-time mengandung arti bahwa penyandang profesi menjadikan suatu pekerjaan tertentu tertentu sebagai pekerjaan utamanya.
Menetapkan sekolah sebagai tempat untuk menjalani proses pendidikan atau pelatihan. Jenis profesi tertentu hanya dihasilkan oleh lembaga tertentu pula, misalnya guru penjas hanya dihasilkan oleh program studi penjas di FIK atau FPOK atau JPOK.
Mendirikan asosiasi profesi. Untuk profesi guru penjas adalah PGRI dan ISORI.
Melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan tersebut. PGRI, misalnya mempunyai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pendiriannya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap guru.
Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan seorang penyandang pekerjaan profesional dalam bekerja.
Sedangkan Wilensky T. Caplow (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan lima tahap memprofesionalkan suatu pekerjaan sebagai berikut:
Menetapkan perkumpulan profesi. Perkumpulan profesi merupakan sebuah organisasi yang keanggotaannya terdiri atas orang-orang yang seprofesi atau seminat.
Mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pekerjaan itu dibutuhkan oleh masyarakat, umumnya dalam bentuk jasa atau layanan khusus yang bersifat khas.
Menetapkan dan mengembangkan kode etik. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan perilaku. Kode etik bersifat mengikat bagi penyandang profesi, dalam makna bahwa pelanggaran kode etik berarti mereduksi martabat profesinya.
Melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dukungan di sini bermakna pengakuan. Tidak jarang pula suatu atau kelompok profesi mempunyai kekuatan khusus (bargaining power) yang diperhitungkan masyarakat, penguasa, dunia kerja, dll.
Secara bersama mengembangkan fasilitas latihan. Fasilitas latihan merupakan wahana bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju sosok profesi yang sesungguhnya.
Tahap-tahap untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan di atas tidak mutlak dilakukan secara rijid, artinya tidak mutlak harus menetapkan pekerjaan terlebih dahulu, melainkan dapat diawali dengan mendirikan sekolah-sekolah sebagai wahana pendidikan lebih dahulu.



3. Pendekatan Legalistik
Pendekatan legalistik yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh Negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan disebut profesi jika dilindungi undang-undang atau produk hokum yang ditetapkan pemerintah suatu Negara. Menurut M. Friedman (Sudarman Danim, 2002), pengakuan suatu pekerjaan agar menjadi suatu profesi sungguhan dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu:
Registrasi yaitu suatu aktivitas yang jika sesorang ingin melakuakn pekerjaan profesional, terlebh dahulu rencananya harus diregistrasikan pada kantor registrasi milik Negara, dengan persyaratan tertentu yang dibutuhkan oleh profesi tersebut.
Sertifikasi mengandung makna jika hasil penelitian atau persyaratan pendaftaran yang diajukan calon penyandang profesi dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Misalnya calon guru penjas sebelummenjadi guru diadakan tes kompetensi guru penjas, dan setelah lulus mendapatkan sertifikasi.
Lisensi mengandung makna bahwa atas dasar sertifkat yang dimiliki oleh seseorang, barulah orang tersebut memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

B. Tingkat Kemampuan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Untuk mengetahui seseorang guru penjas itu profesional atau tidak, dapat diketahui dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari latar belakang pendidikannya, guru tersebut lulusan dari program studi pendidikan jasmani atau bukan, jika bukan lulusan dari program studi pendidikan jasmani jelas tidak profesional. Jika lukusan dari program studi pendidikan jasmani, dari jenjang DII ; DIII ; atau S1/DIV, jika guru tersebut lulusan DII sesuai dengan PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka termasuk para-profesional. Jika guru tersebut lulusan dari DIII berarti termasuk semi profesional, dan jika guru tersebut lulusan dari DIV/S1 berarti termasuk profesional, baik itu untuk SD/MI ; SMP/MTs ; maupun SMA/MA/SMK. Kedua, penguasan guru terhadap materi ajar, merencanakan pembelajaran, mengelola proses, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, menilai, dan lain-lain lebih lengkap sesuai yang ada pada Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP) di halaman belakang. Dalam hal ini berarti guru pendidikan jasmani harus memiliki standar kompetensi minimal yang baik sesuai SKGP yang ada.
Merujuk pada konsep yang dianut oleh Depdiknas selain SKGP yang ada, maka guru harus memiliki sepuluh standar kompetensi sebagai berikut:
1. mengembangkan kepribadian
2. menguasai landasan kependidikan
3. menguasai bahan pelajaran
4. menyusun program pengajaran
5. melaksanakan program pengajaran
6. menilai hasil dan proses belajar-mengajar
7. menyelengarakan program bimbingan
8. menyelenggarakan administrasi sekolah
9. kerjasama dengan sejawat dan masyarakat
10. menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh guru pendidikan jasmani harus dikembangkan dan ditingkatkan dalam rangka untuk menuju unjuk kerja profesional yang penuh.

C. Guru Pendidikan Jasmani yang Profesional
Untuk menjadi guru pendidikan jasmani yang profesional, harus memenuhi persyaratan tertentu antara lain harus memiliki kompetensi pokok yaitu: kompetensi kepribadian; kompetensi pedagogik; kompetensi keprofesionalan; dan kompetensi sosial. Lebih detail dalam dilihat pada lampiran 1 halaman 29 tentang Standar Guru Pemula (SKGP) Guru Penjas jenjang S1 dan lampiran 2 halaman 52 tentang Standar Guru Pemula (SKGP) Guru Penjas jenjang DII PGSD Penjas. Guru pendidikan jasmani yang dinyatakan profesional dan akan mendapatkan sertifikat profesi adalah yang memenuhi syarat yaitu: memiliki ijazah S1 atau D4; mengikuti pendidikan profesi yang dinyatakan lulus; memiliki standar kompetensi yang dinyatakan dalam SKGP (lampiran 1).


E. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan
Ada dua jenis pendidikan tenaga kependidikan di Indonesia yaitu:
1. Pendidikan Prajabatan (Pre-service Education)
Pendidikan prajabatan tenaga guru merupakan pendidikan pendidikan persiapan mahasiswa untuk meniti karir dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Menurut Page & Thomas (Sudarman Danim, 2002), pendidikan prajabatan merupakan sebuah istilah yang paling lazim digunakan lembaga pendidikan keguruan, yang merujuk pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga jenjang universiter atau kolese (university or college) pendidikan untuk menyiapkan mahasiswa yang hendak meniti karir dalam bidang pengajaran. Pada intinya bahwa seseorang sebelum menjadi guru harus mengikuti pendidikan guru lebih dahulu melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
2. Pendidikan dalam Jabatan (In-service Education)
Pendidikan dalam jabatan juga disebut pendidikan, pelatihan, dan pengembangan. Pelembagaan pendidikan, pelatihan, dan pengembangan berangkat dari asumsi bahwa sungguhpun guru telah menjalani orientasi ketika meniti karir dan sudah lama bekerja serta memahami seluk beluk pekerjaan, dalam kenyataannya tidak jarang muncul kebiasan buruk dan produktivitas yang rendah. Menurut Siagian, Flippo, dan Handoko (Sudarman Danim, 2002), bahwa sangat perlunya pendidikan, pelatihan, dan pengembangan bagi para guru yang belum memiliki kualifikasi minimal. Selanjutnya Castetter (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan tiga manfaat pengembangan personalia, termasuk guru sbb:
i. peningkatan performansi personalia sesuai dengan posisinya saat sekarang,
ii. pengembangan keterampilan personalia untuk mengantisipasi tugas-tugas baru yang bersifat reformasi,
iii. merangsang pertumbuhan diri personalia bagi penciptaan kepuasan kerja secara individual.
Selain bermanfaat bagi kepentingan pribadi juga bermanfaat bagi kepentingan lembaga. Secara umum pengembangan personalia dilakukan dengan menempuh tahapan-tahapan tertentu, yaitu:
a. menganalisis kebutuhan,
b. merumuskan tujuan dan sasaran,
c. mendesain program,
d. mengimplementasikan dan mendeliverikan program
e. mengevaluasi program
Sedangkan secara umum komponen-komponen pelatihan adalah sbb:
a. penyajian teori,
b. peragaan dan pendemonstrasian keterampilan atau model,
c. praktik yang disimulasikan dan setting kelas,
d. umpan balik terstruktur,
e. umpan balik open-ended,
f. pembekalan untuk aplikasi.
Sudarman Danim (2002), menyatakan bahwa keunggulan dan kelemahan program pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sebagai berikut:
Metode/Teknik Pelatihan
Keunggulan
Kelemahan
Pelatihan instruksi pe-kerjaan
1. Memfasilitasi transfer belajar
2. Tidak memerlukan fasilitas terpisah
1. Terjadi pencampuradukan kinerja
2. Dapat merusak fasilitas
Pemagangan
1. Tidak menggangu pekerjaan nyata
2. Menuntut pelatihan intensif
1. Memerlukan waktu lama
2. Biayanya mahal
3. Dapat saja tak terkait dengan pekerjaan
Internsip/Asistensip
1. Memfasilitasi transfer belajar
2. Memberi gambaran pekerjaan nyata
1. Tidak seperti pekerjaan sesungguhnya
2. Belajar bersifat vikarius
Rotasi pekerjaan
1. Mendapatkan pengalaman tentang pekerjaan
2. Belajar nyata
1. Kurang rasa bertanggung jawab penuh
2. Adakalanya terlalu singkat berada pada pekerjaan tertentu
Perencaan Karir Pribadi
1. Karyawan berpartisipasi dalam pengem-bangan karir
2. Membantu perencanaan suksesi
1. Sangat mungkin kurang sesuai dengan harapan
2. Dapat saja minim manfaatnya
Pelatihan eksekutif
1. Melibatkan pengalaman tingkat tinggi
1. Tidak semua posisi memungkinkan
2. Sangat mungkin biayanya mahal
Asisten kepenyeliaan
1. Informal, terintegrasi dengan pekerjaan
2. Pengalaman yang baik
1. Keefektifan muncul dari penyelia
2. Tidak semua penyelia dapat melakukan-nya
Kursus formal
1. Tidak mahal jika pesertanya banyak
2. Tidak mengganggu pekerjaan
1. Mensyaratkan kemampuan verbal
2. Merintangi transfer belajar
Simulasi
1. Membantu transfer pengalaman dan keterampilan
2. Mengkreasi situasi kerja lebih hidup
1. Tidak selalu dapat meniru situasi riil
Bermain peran
1. Baik untuk keterampilan interpersonal
2. Memberi wawasan kepada yang lain
1. Tidak dapat mengkreasi situasi nyata selama bermain peran

Pelatihan sensitivitas
1. Meningkatkan kesadaran diri
2. Memberi wawasan kepada yang lain
1. Boleh jadi tidak dapat ditransfer dalam pekerjaan
2. Boleh jadi tidak terkait dengan pekerjaan
BAB III
PENGEMBANGAN PROFESIONAL GURU PENDIDIKAN JASMANI

A. Tujuan Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Tujuan pengembangan profesional guru penjas adalah untuk memenuhi tiga kebutuhan yang pokok yaitu: Pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi, serta melakukan adaptasi untuk penyusunan kebutuhan-kebutuhan kemasyarakatan. Hal ini terkait dengan kebutuhan kemasyarakatan guru di tempat mereka berdomisili. Kedua, kebutuhan untuk menemukan cara-cara membantu staf pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Hal ini terkait dengan spirit dan moral guru di sekolah tempat bekerja. Ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong keinginan guru dalam menikmati dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti halnya guru membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan untuk memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.Hal ini sebagai proses seleksi untuk menentukan mutu guru yang akan disertakan dalam berbagai kegiatan pelatihan dan penjenjangan jabatan.
Pengembangan profesional guru dapat diketahui berdasarkan orientasi kebutuhan kemasyarakatan, sekolah, dan individual/perorangan. Pengembangan profesional gurumerasa dibutuhkan manakala para guru itu sendiri belum siap dalam melaksanakan tugas secara profesional, baik guru yang melalui prajabatan maupun guru yang melalui dalam jabatan. Guru yang melalui prajabatan jika masih lemah dalam hal kompetensi yang terkait dengan tugas, maka guru tersebut juga memerlukan program pengembangan profesional.

B. Inisiatif Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani
Inisiatif pengembangan profesional guru pendidikan jasmani dapat timbul dari dua sebab : Pertama, karena dorongan atau inisiatif dari luar individu guru itu sendiri (ekstrinsik) yaitu dorongan yang berasal dari orang lain. Hal ini kadang-kadang bahkan sering karena keterpaksaan, sehingga kurang baik. Kedua, karena dorongan atau inisiatif dari dalam individu guru itu sendiri (intrinsik), dan inisiatif ini lebih bagus karena akan lebih kuat dan lebih tahan lama dalam hal motivasi dibandingkan dengan dorongan dari luar, karena guru memiliki kesadaran sendiri untuk mengembangkan profesinya.

C. Pandangan Praktisi Pendidikan Terhadap Jabatan Guru Pendidikan Jasmani
Para praktisi pendidikan menyatakan bahwa profesi guru pendidikan jasmani merupakan profesi yang mulia, sehingga harus para guru harus benar-benar bersedia untuk mengembangkan profesinya dalam rangka memenuhi kebutuhan minimal dalam tugasnya sebagai guru. Perlunya para guru saling berkunjung ke sekolah untuk memperoleh tambahan pengalaman dalam hal pembelajaran pendidikan jasmani secara khusus, maupun tugas guru pendidikan jasmani secara umum. Para guru yang mengikuti kegiatan pengembangan profesi masih banyak yang tidak nampak perbedaannya, karena mereka kurang peduli dan kurang merasa butuh. Hal ini dapat berakibat pada kinerja guru itu sendiri yaitu kurang profesionalnya kualitas guru tersebut.
Ada beberapa hal untuk meningkatkan mutu pengembangan profesional guru pendidikan jasmani yaitu :
Tugas-tugas atau kegiatan pendidikan dalam jabatan yang berkelanjutan dapat mengembankan kompetensi profesional guru secara reguler, meningkatkan mutu sekolah, dan memperkaya khasanah kehidupan individual guru.
Banyak hasil penelitian bidang pendidikan dalam jabatan yang bermutu sehingga dapat diaplikasikan oleh para guru.
Latihan meneliti merupakan salah satu langkah awal bagi guru untuk mengembangkan profesionalitasnya.
Guru merupakan peserta pelatihan pengembangan yang lebih efektif dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan secara umum.
Lingkungan sekolah yang kondusif merupakan factor utama dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.
Adanya hubungan yang baik antara sekolah, masyarakat, dan orang tua siswa, sehingga kehidupan sekolah benar-benar sehat.
Guru yang aktif dan kreatif akan lebih berhasil dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikannya.

D. Pengembangan Profesional Guru Pendidikan Jasmani di Pedesaan
Tujuan utama pengembangan profesional guru pendidikan jasmani di pedesaan atau daerah pinggiran adalah untuk meningkatkan kualitas proses pembuatan keputusan pendidikan dengan berbagai cara yaitu:
Guru penjas di pedesaan agar dapat mengurangi atau meghilangkan keterasingan dengan cara salah satunya adalah dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lingkungan sekolah pedesaan.
2. Guru penjas di pedesaan agar dapat mengembangkan kemanjuran sistem sosial, artinya bagaimana supaya guru penjas di pedesaan bisa berbaur dengan masyarakat luas di lingkungan sekolah pedesaan.
3. Agar dapat memperluas hubungan dengan masyarakat di lingkungan sekolah pedesaan.
4. Melakukan kegiatan-kegiatan yang terintegrasi antara sekolah dengan masyarakat, sehingga masyarakat merasa dilibatkan dalam kegiatan sekolah.
5. Menciptakan kebutuhan-kebutuhan local yang sesuai dengan focus dan tindakan yang akan dilakukannya.















BAB IV
PROFESIONALISASI CALON KEPALA SEKOLAH

Kepala sekolah merupakan jabatan yang mengandung konsekuensi tanggung jawab dalam lingkungan keberadaan suatu sekolah. Seseorang akan menjadi kepala sekolah ada dua cara, yaitu pertama melalui pendidikan formal calon kepala sekolah, dan yang kedua karena menduduki pangkat dan golongan tertentu serta mampu sehingga diangkat menjadi kepala sekolah. Menurut Harbison & Myers (Sudarman Danim, 2002), ada empat jalur pengembangan SDM, yaitu: Pertama, jalur pendidikan formal menurut jenjang dan jenisnya. Kedua, pelatihan dalam jabatan pelatihan informal yang dilembagakan. Ketiga, jalur pengembangan diri (self-development) untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan kapasitas kerja yang lebih besar. Keempat, melalui peningkatan mutu kesehatan populasi, seperti program layanan medis, layanan kesehatan publik, perbaikan nutrisi, dan sebagainya. Sampai dengan saat ini di Indonesia belum mengacu salah satu pendekatan yang di atas. Lagi pula belum dilakukannya pengangkatan kepala sekolah yang secara khusus menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh negara dengan menempuh langkah-langkah sistematis seperti registrasi, sertifikasi, dan lisensi.
Sesuai dengan PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan, kebijakan pengangkatan kepala sekolah semakin jelas. Selanjutnya diperkuat dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 085//1994 tanggal 14 April 1994 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Sekolah di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Kemendikbud tersebut antara lain berisi:
syarat-syarat pengangkatan kepala sekolah;
masa jabatan kepala sekolah ;
proses identifikasi lowongan kepala sekolah, pengadaan calon dan pengangkatannya.
Selanjutnya Kepmendikbud juga menetapkan tentang :
tata cara penilaian kepala sekolah;
tata cara pemberhentian dan perpanjangan masa jabatan kepala sekolah ;
kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah.

A. Pendidikan Khusus Calon Kepala Sekolah
Pengangkatan kepala sekolah di Indonesia pada awalnya menonjolkan proses pembiakan daripada didasarkan atas pendekatan karir atas dasar pendidikan yang dikhususkan untuk jabatan itu. Kepala sekolah dipilih dan diangkat dari tenaga guru yang memiliki masa kerja dan pangkat/golongan tertentu, tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan yang dikhususkan sebagai kepala sekolah. Pembinaan dan pengembangan itu sendiri hanya dilakukan secara insidental melalui pelatihan, penataran, lokakarya, rapat dinas, dan yang lain.
Persiapan untuk menjadi kepala sekolah dan pengawas telah diatur dalam PP No. 30 Tahun 1992 Pasal 20 ayat (1) sampai dengan (3) yang berbunyi sbb:
Tenaga kependidikan yang ditugaskan untuk bekerja sebagai pengelola satuan pendidikan dan pengawas pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipilih dari kalangan guru.
Tenaga kependidikan yang akan ditugaskan untuk bekerja sebagai pengelola satuan pendidikan dan penilik di jalur pendidikan luar sekolah dipilih dari kalangan tenaga pendidik.
Calon tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipersiapkan melalui pendidikan khusus.

B. Kepala Sekolah yang Profesional
Tugas kepala sekolah sangatlah kompleks, sehingga tidak mungkin berjalan dengan baik jika tidak dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang profesional. Dengan kata lain kepala sekolah yang profesional sangat diperlukan dalam memimpin sekolah agar dapat berjalan dengan baik. Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), mengemukakan beberapa kemampuan profesional yang harus ditunjukkan oleh kepala sekolah, yaitu :
Kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya selaku unit kehadiran siswa.
Kemampuan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan konseptual, manusiawi, dan teknis pada kedudukan dari jenis ini.
Kemampuan untuk memotivasi para bawahan untuk bekerja sama secara sukarela dalam mencapai maksud-maksud unit dan organisasi.
Kemampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan sosial, ekonomis, politik, dan educational ; arti yang mereka sumbangkan kepada unit ; untuk memulai dan memimpin perubahan-perubahan yang cocok di dalam unit didasarkan atas perubahan-perubahan sosial yang luas.
Banyak kepala sekolah karena tidak dipersiapkan dengan baik untuk menjadi kepala sekolah, sehingga sangat rendah pemahamannya dalam menghadapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan. Mereka melakukan pola hubungan cenderung bersifat bapakisme, feodalisme, dan otoritatif. Selanjutnya selain ke empat kemampuan profesional tersebut, untuk menjadi kepala sekolah yang profesional juga harus memiliki tiga jenis keterampilan yaitu:
Keterampilan teknis (technical skill), ini paling penting bagi administrator level bawah atau sekolah. Keterampilan ini mencakup pemahaman menyeluruh seorang kepala sekolah dan kepiawaiannya dalam hal metode, proses, prosedur, dan teknik-teknik pendidikan. Dilihat dari segi non-instruksional, keterampilan teknis meliputi pengetahuan khusus tentang keuangan, akuntansi, penjadwalan, pembelajaran, konstruksi, dan pemeliharaan fasilitas. Keterampilan teknis keadministrasian yang harus dimiliki oleh kepala sekolah ada dua yaitu keterampilan manajerial dan keterampilan teknis operasional. Keterampilan teknis manajerial terdiri atas:
a. pemahaman yang luas terhadap seluruh operasi sekolah dalam hubungan dengan semua tuntutan teknis yang dihadapi,
b. pemahaman terhadap manajemen keorganisasian,
c. pemahaman yang luas tentang berbagai teknologi pendidikan dan organisasi.
Sedangkan keterampilan teknis operasional, kepala sekolah dituntut untuk memiliki pemahaman yang luas mengenai masalah ketatalaksanaan, proses dan prosedur manajemen kelas, menciptakan disiplin siswa, dan teknik membuat keputusan yang efektif. Keterampilan ini biasanya diperoleh melalui pendidikan dan latihan, pengalaman kerja, dan ketekunan atau motivasi untuk berkembang.
Keterampilan melakukan hubungan-hubungan kemanusiaan (human skill). Keterampilan diperlukan oleh administrator sekolah, mengingat adminitrasi merupakan proses sosial yang memadukan dimensi kelembagaan dengan dimensi pribadi. Dimensi kelembagaan mengandung makna unsur-unsur formal yang melekat pada status kepala sekolah yang memang berhubungan. Sedangkan dimensi pribadi mengandung makna unsur-unsur pribadi tempat kepala sekolah yang dikaitkan dengan unsur-unsur pribadi tempat kepala sekolah itu berhubungan. Dalam kaitannya dengan hubungan manusiawi, kepala sekolah dituntut untuk dapat melakukan secara efisien dan efektif, sehingga kinerja di sekolah benar-benar menjadi nyaman dan lancar.
Keterampilan konseptual (conceptual skill). Keterampilan ini berkaitan dengan cara kepala sekolah memandang sekolah, keterkaitan sekolah dengan struktur di atasnya dan dengan masyarakat, serta program kerja sekolah secara keseluruhan. Pekerjaan kepala sekolah di sini adalah bagaimana membuat konsep, sebagai suatu proses kerja, administrasi sekolah yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan dengan initi kegiatan membuat keputusan.
Kepala sekolah harus memiliki sifat komitmen dalam menjalankan tugas teknis manajerial yaitu tentang:
a. interpersonal, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin, dan juru runding;
b. informational, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar, dan perantara;
c. decisional, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, disturbance-hander, pengalokasi sumber-sumber, dan negosiator.

C. Alternatif Program dan Kurikulum
Menurut Gibson dan Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), pendidikan prajabatan minimal bagi kepala sekolah adalah Strata dua (Magister) dengan spesialisasi administrasi/manajemen pendidikan, bahkan sampai Strata tiga (Doktor). Sedangkan di Indonesia persyaratan menjadi guru saja menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan minimal S1/D4, yang diharapkan bisa terealisir paling lambat 15 tahun mendatang. Saat sekarang menurut Standar Sekolah Nasional (SSN), seorang kepala sekolah minimal berlatar belakang pendidikan Strata satu (Sarjana).
Pendidikan kekepalasekolahan penyetaraan diprioritaskan bagi kepala sekolah pendidikan dasar dan menengah yang masih aktif (belum memasuki masa pensiun/masa kerja masih lama), dan juga diprioritaskan kepada kepala sekolah di pedesaan mengingat relatif jauh tertinggal dibanding yang ada di perkotaan. Program penyetaraan bagi para kepala sekolah pendidikan dasar dapat dilakukan secara penuh dan juga secara berjenjang. Secara penuh artinya blocking time system, sedang berjenjang artinya ada tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat lanjut, dan tingkat profesional.
Kurikulum yang ditawarkan dalam kurikulum prajabatan menurut Sanusi, dkk. (Sudarman Danim, 2002), sebagai berikut:
Program Inti yang terdiri atas mata kuliah-matakuliah:
a. Konsep-konsep Administrasi
b. Teori dan Organisasi Pendidikan Nasional
c. Kurikulum dan Supervisi Pengajaran
d. Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan
e. Manajemen Pelayanan Siswa
f. Manajemen Gedung dan Fasilitas
g. Manajemen Ketatalaksanaan Pendidikan
h. Pembiayaan Pendidikan
i. Hubungan Sekolah-Masyarakat
j. Orientasi Profesional dan Penyuluhan
k. Landasan Hukum dan Kebijakan Pendidikan
l. Perencanaan Kelembagaan
m. Kepemimpinan Pendidikan
Komponen Ilmu Penunjang terdiri atas matakuliah-matakuliah:
a. Penelitian Pendidikan
b. Statistika Pendidikan
c. Psikologi Pendidikan
d. Inovasi Pendidikan
e. Evaluasi Pendidikan
f. Ekonomi Pendidikan
Intership terdiri atas:
a. Magang di sekolah dasar bagi calon kepala sekolah dasar
b. Magang di SMP/MTs bagi calon kepala SMP/MTs
c. Magang di SMA/MAN/SMK bagi calon kepala SMA/MAN/SMK
d. Magang di SMA/MAN bagi calon kepala SMA/MAN
e. Magang di SMK bagi calon kepala SMK
Karya Ilmiah terdiri atas:
a. Filsafat Ilmu
b. Skripsi/Tesis/Disertasi

D. Kepala Sekolah dan Inovasi Administrasi Pendidikan
Kepala sekolah adalah guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Untuk melaksanakan tugas kepala sekolah agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat berjalan dengan lancar dan maju, maka harus dilakukan oleh kepala sekolah yang profesional dan berjiwa inovatif, karena tugas kepala sekolah sangat kompleks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh kepala sekolah dalam kepemimpinannya, dan dibantu oleh para guru yang kompeten dan komitmen di sekolah tersebut. Meskipun jabatan kepala sekolah merupakan tugas tambahan, namun kepala sekolah merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap aplikasi prinsip-prinsip administrasi pendidikan yang inovatif di sekolah. Kepala sekolah juga orang yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan sekolah yang dipumpunnya.
Kemajuan dalam administrasi pendidikan dapat dicapai jika administrasi pendidikan tersebut dkelola secara inovatif oleh orang-orang yang senang dan berjiwa inovatif. Di Indonesia secara umum terjadi keterlambatan dalam inovasi pendidikan, sehingga menunda proses menuju lembaga yang efisen dan efektif baik dalam pengeloaan SDM, fasilitas, maupun proses pembelajarannya. Menurut Coombs (Sudarman Danim, 2002), berpendapat bahwa revolusi dalam pendidikan harus diawali dengan revolusi dalam bidang administrasi pendidikan, yang berarti lembaga pendidikan harus dikelola secara administrasi yang inovatif. Sekolah yang dikelola dengan administrasi pendidikan secara inovatif akan mampu menampung dinamika perkembangan yang terjadi di luar sistem pendidikan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat. Hal ini disebabkan karena administrasi pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur lain dalam lembaga pendidikan, misalnya : guru, sarana dan prasarana, keuangan, hubungan sekolah dengan orang tua siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, perencanaan perkembangan sekolah, dll.
























BAB V
JENJANG KEPANGKATAN DAN JABATAN GURU

Guru di Indonesia memiliki kepangkatan dan jabatan tertentu sesuai dengan latar belakang pendidikan (jenjang pendidikan) dan masa kerja, serta kenaikan pangkat yang mereka usulkan. Guru yang rajin dan ulet dalam bekerja, baik dalam bidang pengajaran/pendidikan, penelitian/kara ilmiah, pengabdian masyarakat, dan unsur pendukung/penunjang. Guru dapat mengusulkan kenaikan pangkat pada setiap 2 tahun sekali jika angka kredit yang diperoleh telah memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Dalam kenaikan jabatan/pangkat, seorang guru harus mengumpulkan angka kredit yang diperoleh dari bidang pengajaran/pendidikan berupa mengajar yang ditunjukkan dengan SK mengajar dari Kepala Sekolah, penelitian/kara ilmiah ditunjukkan dengan hasil penelitian atau artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, pengabdian masyarakat dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang telah ditunjukkan dengan SK atau surat tugas, dan unsur pendukung/penunjang dapat ditunjukkan dengan SK panitia atau sertifikat/piagam.

DAFTAR KEPANGKATAN DAN JABATAN GURU DI INDONESIA
PANGKAT DAN GOLONGAN RUANG
JABATAN FUNGSIONAL
KETERANGAN
Pengatur Muda/IIa

Guru Pratama
Lulusan D1
Pengatur Muda Tingkat I/IIb
Guru Pratama Tingkat I
Lulusan D2
Pengatur/IIc
Guru Muda
Lulusan D3
Pengatur Tingkat I/IId
Guru Muda Tingkat I

Penata Muda/IIIa
Guru Madya
Lulusan S1
Penata Muda Tingkat I/IIIb
Guru Madya Tingkat I
Lulusan S2
Penata/IIIc
Guru Dewasa
Lulusan S3
Penata Tingkat I/IIId
Guru Dewasa Tingkat I

Pembina/IVa
Guru Pembina

Pembina Tingkat I/IVb
Guru Pembina Tingkat I

Pembina Utama Muda/IVc
Guru Utama Muda

Pembina Utama Madya/IVd
Guru Utama Madya

Pembina Utama/IVe
Guru Utama


Lebih jelas dan detail dapat dilihat pada lampiran 3 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dikti Depdiknas. (2004). Standar Kompetensi Guru Pemula Prgram Studi Pendidikan Jasmani Jenjang Strata 1. Jakarta: Dikti Depdiknas.

________ .(2005). Standar Kompetensi Guru Pemula Jenjang DI1 Pendidikan Jasmani. Jakarta: Depdiknas.

Hadi Setia Tunggal. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Harvarindo.

Sudarwan Danim. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Mendikbud dan Menpan. (1993). Keputusan Menpan Nomor 84/1993 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Depdikbud.

Nurkolis. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Oemar Hamalik.(2003). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Presiden RI. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Naional Pendidikan. Jakarta: Presiden RI.

_________. (2005). Undang-undang Guru dan Dosen. Jakarta: Sekretaris Presiden RI.

Soeninggjo. (t.t.). Persiapan Profesi Olahraga Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan STO.