Selasa, 20 Mei 2008

DEKONSTRUKSI CITRA ROKOK LEWAT MEDIA DAN OLAHRAGA

Oleh: Wilian Dalton, S. Pd. Jas
Rokok merupakan masalah kesehatan yang sangat serius, namun lebih dari itu, saat ini rokok juga telah berkembang menjadi sebuah patologi sosial yang bersifat laten. Diluar fakta obyektif tentang bahaya rokok, tak dapat dipungkiri rokok adalah barang kesayangan dari berjuta-juta orang di dunia. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan jika rokok telah terkonstruksi secara sosial sebagai bagian dari kebudayaan kita dan terstereotipkan dengan memiliki banyak citra positif.
Rokok bukanlah bagian dari budaya asli bangsa Indonesia. Tanaman tembakau sebagai bahan baku rokok bukanlah merupakan tanaman asli orang Indonesia. Dia dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (Romadhon: 2007). Namun seiring berjalannya waktu, dapatlah dikatakan bahwa rokok adalah kebudayaan asing yang paling sukses melakukan penetrasi dalam kebudayaan Indonesia, dan berkembang menjadi barang wajib yang telah diterima dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat disetiap aktivitas, melintasi umur, status sosial, pekerjaan, agama, dan etnis.
Sejak anak-anak rokok telah tersosialisasikan sebagai kebudayaan orang dewasa dan bersifat eksklusif. Lingkungan keluarga dan masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam memproduksi nilai ini. Dengan melihat orang tua merokok (khusunya ayah atau anggota keluarga laki-laki), dengan sendirinya mereka tersosialisasi bahwa tidak ada yang salah dengan merokok. Orang tua yang merokok memberi kesan bahwa rokok adalah budaya kedewasaan, hanya orang dewasa yang boleh merokok. Akhirnya terciptalah stereotip terhadap rokok bahwa merokok itu maskulin, dewasa, bijaksana, tangguh, dan bagian dari figur seorang pemimpin. Hal tersebut memberi stimulus pada anak-anak atau remaja untuk merokok agar dianggap telah dewasa atau telah memasuki dunia kedewasaan.
Satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Seseorang merokok karena menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Ketika seseorang memasuki suatu lingkungan sosial yang mayoritas merokok, tentu tak ada pilihan lain bagi orang tersebut kecuali ikut menjadi perokok agar bisa diterima dalam lingkungan sosialnya. Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Mu'tadin: 2002).
Tak dapat dipungkiri bahwa rokok adalah industri yang sangat besar. Bagi industri rokok, setiap mulut adalah lahan empuk bagi mereka. Sasaran mereka adalah para pecandu serta tentu saja anak-anak muda dalam masa pertumbuhan. Maka media massa dan ruang publik pun selalu digunakan para kapitalis rokok untuk dapat mensosialisasikan rokok beserta berbagai citra positifnya. Iklan rokok di media terus digencarkan, reklame bertebaran dimana-mana. Sosialisasi lewat media ini terus kita jumpai tiap harinya dan tanpa sadar mampu merubah konsep tentang rokok yang penuh bahaya menjadi sahabat sejati dalam menjalani tiap akivitas. Dauglas Kelner (1996), memberikan elaborasi bahwa budaya media menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Maka sebuah fakta obyektif jika salah satu proyek besar dalam iklan rokok adalah untuk mendekonstruksi citra rokok dan membentuk identitas anggota masyarakat untuk menjadi seorang perokok.
Iklan rokok dalam merepresentasikan produknya memiliki cara yang berbeda dengan produk lain, karena banyak aturan yang mengikat untuk mengiklankan produknya tidak seperti yang diperlakukan untuk produk selain rokok. Alhasil, iklan-iklan rokok tampil dengan citra-citra yang mencerminkan produknya, khalayak sasarannya atau perusahaannya. Ide-ide kreatif yang muncul di baik tekanan-tekanan tersebut ternyata malah membuat iklan-iklan rokok lebih sukses dalam mempengaruhi orang untuk merokok.
Jika kita cermati ada beberapa citra rokok yang coba disosialisasikan. Citra yang paling sering ditampilkan adalah merokok merupakan selera pria jantan dan pemberani. Iklan yang digunakan untuk memperkuat citra ini seringkali menampilkan seorang pria macho yang melakukan berbagai atraksi ekstrem seperti panjat tebing, terjun payung, berkawan dengan binatang buas, dan lain sebagainya. Konsep rokok yang jantan dan pemberani ini mendorong anak muda untuk merokok agar dianggap jantan dan pemberani. Di sisi lain, apabila remaja tidak melakukan kegiatan merokok layaknya anggota kelompok sosial lainnya, ia akan terancam mendapat sanksi sosial, yakni berupa anggapan bahwa remaja tersebut tidak jantan dan penakut.
Ada beberapa citra rokok lain yang ingin disosialisasikan, seperti rokok yang identik dengan dunia glamor dan kelas atas, rokok yang identik dengan dunia seni, rokok yang merupakan simbol kerjasama dan persahabatan, dan lain sebagainya.
Dengan melihat upaya-upaya dekonstruksi citra rokok diatas, maka dengan jelas dapat disimpulkan bahwa media sebagai manifestasi ruang publik yang menampilkan lalu lintas opini atau wacana yang berkembang dalam sebuah masyarakat memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memproduksi pengetahuan atau konstruksi sosial. Melalui iklan rokok yang di ekspose media, sesungguhnya telah terjadi produksi pengetahuan atau budaya. Bahkan bisa dikatakan media cenderung ‘menghegemoni’ ruang kesadaran penontonnya sehingga ‘produksi’ dan ‘reproduksi’ opini itu menjadi ‘pandangan dunia’ yang menceminkan persepsi masyarakat terhadap “dunia luar”. Penonton dalam industri media diposisikan menjadi ‘audiens pasif’ sehingga cenderung menerima produksi pengetahuan secara given. Kesadaran kritis masyarakat atau audiens dimampatkan sedemikian rupa sehingga mereka ‘dijejali’ opini yang sesungguhnya – meminjam bahasa Teori Kritis- tidak bebas nilai. Berdasar argumentasi diatas, maka sesungguhnya dapatlah kita fahami bahwa persoalan rokok adalah merupakan bagian dari konstruksi sosial yang coba dibudayakan di masyarakat.
Jika kita perhatikan lebih cermat ternyata upaya pencitraan identitas rokok tak hanya terbatas lewat media dengan berbagai citra yang dipaparkan diatas. Ada sebuah ruang sosial lain yang terus dimanfaatkan para kapitalis rokok untuk mendekonstruksi citra rokok tanpa kita sadari, dan hal ini jauh lebih berbabahaya, yakni dekonstruksi citra rokok lewat olahraga.
Di Indonesia olahraga dan rokok menikmati hubungan yang sangat mesra. Hal ini tentu merupakan sebuah ironi dimana sejatinya kedua identitas sosial ini memiliki fakta obyektif yang jauh bertentangan. Rokok sebagai barang penuh racun dan berbahaya untuk kesehatan, sedangkan di sisi lain olahraga adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan.
Olahraga sebagai sebuah identitas sosial sungguh memiliki banyak stereotip positif di dalam masyarakat. Di dalam olahraga melekat ungkapan sloganistik yang mengaburkan aspek negatif yang dibawanya. Contohnya, olahraga dianggap mampu membangun karakter bangsa, jiwa sportif dan ksatria, mencegah kenakalan remaja, dan seterusnya, sehingga justru mengabaikan kekerasan suporter, penjarahan, vandalisme, ketidaksetaraan kesempatan, dominasi, dan pelecehan seksual. Selain itu, meskipun cenderung dianggap remeh, kenyataannya olahraga diterima dan dilakukan secara luas oleh masyarakat, melintasi umur, jenis kelamin, agama, dan etnis (Setiawan, 2004).
Identitas olahraga yang begitu positif tentunya merupakan sasaran empuk bagi para kapitalis rokok untuk menjadi sarana promosi sekaligus upaya mendekonstruksi citra negatif rokok. Sasaran utamanya tentu saja mengaburkan citra negatif rokok dengan citra positif yang dimiliki olahraga. Maka bukan suatu hal yang janggal lagi jika rokok menjadi sponsor utama mayoritas kegiatan olahraga di Indonesia. Simak saja, kasta tertinggi sepakbola Indonesia, kedua kompetisinya yakni liga dan copa, semuanya disponsori oleh produk rokok. Begitu pula dengan kompetisi bola voli terbaik di Indonesia, nama brand rokok secara gagah disambungkan dengan kata Proliga sebagai nama resmi kejuaraan tersebut. Belum lagi berbagai cabang bola basket, bulutangkis, balap sepeda, hingga berbagai kejuaraan otomotif.
Proyek raksasa mensponsori berbagai kompetisi olahraga tersebut tentu memiliki sasaran strategis yang sangat jelas, yakni; jika kita membicarakan olahraga, maka kita akan ingat dengan rokok. Hingga sasaran utama yang ingin dicapai adalah terciptanya stereotip bahwa ”merokok itu sehat”.
Dekonstruksi citra rokok lewat olahraga sungguh sangat efektif. Suatu kompetisi olahraga selalu mampu menyedot animo beribu-ribu bahkan jutaan manusia. Terlebih, kompetisi olahraga populer seperti sepakbola ataupun bolavoli selalu di blow up oleh media. Ketika suatu brand rokok menjadi sponsor utama suatu kompetisi, maka jika sebuah media memberitakan tentang pertandingan dalam kompetisi tersebut, mau tak mau media yang bersangkutan juga harus ikut menyebutkan brand rokok yang menjadi sponsor utama. Ini tentu sebuah situasi yang sangat menguntungkan bagi para kapitalis rokok.
Dari fakta-fakta diatas, dapatlah disimpulkan bahwa sosialisasi terbukti secara meyakinkan mampu mempengaruhi eksperimen awal remaja dalam merokok, namun ternyata di sisi lain sosialisasi juga ternyata mampu menghalangi seseorang untuk merokok. Dalam masyarakat Indonesia, rokok terkonstruksi secara sosial sebagai barang yang tabu bagi perempuan. Apabila perempuan merokok, ia terancam mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat. Perempuan yang merokok akan dianggap sebagai perempuan nakal. Bandingkan dengan situasi jika laki-laki yang merokok, secara umum bisa dikatakan tak ada sanksi sosial bagi para laki-laki yang merokok.
Apakah konsep sanksi sosial semacam ini bisa diterapkan pada laki-laki? Jika kita bisa secara kolektif menciptakan sebuah konstruksi sosial dimana seorang laki-laki yang merokok akan mendapatkan sanksi sosial (misalnya pengucilan), bisa jadi konsep sanksi sosial ini akan mampu secara efektif meminimalisasikan budaya merokok di indonesia.
Terakhir, sungguh jika melihat seseorang merokok, janganlah kita langsung menjudge orang tersebut merokok karena secara inheren memang ingin merokok. Namun lebih bijaksana jika kita meihat permasalahan ini secara lebih luas; orang tersebut merokok karena memang sedang terjangkit sebuah patologi sosial yang sedang mewabah saat ini. Tugas kita bersama lah untuk menanggulangi wabah ini.

RESIKO HOME SCHOOLING MENJADI POISONOUS PEDAGOGIES

Oleh: Wilian Dalton S. Pd. Jas

Tiap kali membicarakan tentang wacana home schooling, kita hampir selalu mengawalinya dengan melakukan analisis terhadap kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik. Home schooling kemudian dianggap sebagai jawaban dari merosotnya kualitas sistem pendidikan di Indonesia . Benarkah demikian?
Tulisan ini akan mencoba membahas tentang wacana home schooling dikaitkan dengan kemampuan dan kelayakannya dalam mengembangkan potensi anak. Karena idealnya, pendidikan haruslah di kembangkan melalui interaksi sistemik yang memungkinkan terjadinya transformasi multi nilai (Suyanto: 2008). Institusi pendidikan haruslah mampu menjadi sebuah ruang sosial kompleks, yang memungkinkan untuk membangun individu lengkap, tidak hanya secara kognitif. Namun jauh lebih penting, institusi pendidikan haruslah memiliki dan mensosialisasikan norma yang mengatur berbagai proses dinamika sosial-kultural masyarakat. Disinilah institusi pendidikan berfungsi menjadi medium yang menjembatani relasi komunikasi, dimana terjadi perkawinan kepentingan yang memicu berkembangnya sistem sosial baru di dalam konteks hubungan antar individu.
Sejatinya tujuan utama pendidikan jauh lebih besar daripada hanya sekedar menciptakan individu-individu yang memiliki kapasitas intelektual yang baik. Karena pada kenyataannya, keberhasilan seseorang dalam kehidupan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Individu yang berpotensi sukses adalah individu yang mampu menghadapi berbagai situasi dan masalah sosial kompleks yang tidak terprediksi, individu yang mampu bekerjasama dalam tim, serta individu yang tahu posisi kultural dan strukturalnya di masyarakat. Lebih dari hanya sekedar tingginya nilai IQ orang tersebut, namun keberhasilan juga dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut untuk melakukan konformitas sosial, kemampuan manajerial, dan kemampuan memimpin (leadership). Kontribusi IQ paling banyak sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup, sehingga sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain: sehimpunan faktor yang disebut kecerdasan emosional (Goleman: 1995).
Maka benarlah kiranya jika sekolah formal saja memang tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan jika pendidikan formal tidak lagi dibutuhkan. Pendidikan formal masih menjadi bagian yang integral dalam menciptakan individu-individu yang berkualitas, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Dalam pendidikan formal, siswa akan mengalami proses internalisasi terhadap realitas obyektif yang ada lingkungan sekolah. Jauh lebih penting dari hanya sekedar menguasai materi pembelajaran, namun pendidikan formal menawarkan sebuah pengalaman sosial yang unik, khas dan tak bisa ditemukan di tempat lain. Pengalaman ini terbentuk lewat interaksi, baik antara siswa, guru, maupun warga sekolah lainnya. Interaksi dan sosialisasi akan menciptakan konstruksi sosial yang berpangkal pada keteraturan. Siswa akan belajar berdisiplin, menghormati orang lain, berempati, berlatih berorganisasi, pengembangan kemampuan memimpin (leadership), pengenalan terhadap norma-norma, bahkan pengalaman ketertarikan kepada lawan jenis pun seringkali pertama kali dialami di sekolah. Pengalaman-pengalaman sosial ini menjadi bekal yang sangat berharga bagi siswa untuk mampu memenuhi tantangan kehidupan kelak.
Ketika orang tua memilih mendidik anaknya lewat jalur home schooling, maka anak tersebut tentu tidak akan memiliki pengalaman-pengalaman sosial diatas. Akibatnya, anak akan beresiko menerima efek samping berupa rendahnya keterampilan dan dinamika bersosialisasi. Di sisi lain, bisa jadi anak tersebut memang akan memiliki kapasitas intelektual yang lebih baik daripada anak yang menempuh pendidikan di jalur formal. Namun, apalah artinya kapasitas intelektual yang baik, jika kemampuan tersebut tak bisa diaplikasikan dalam kehidupan yang riil.
Banyak orangtua yang memilih mendidik anaknya lewat jalur home schooling berargumentasi bahwa keamanan dan pergaulan di sekolah formal tidak kondusif bagi perkembangan anak. Namun, jikalaupun argumentasi tersebut benar, hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa pendidikan formal merupakan sistem yang perlu dihindari. Karena memang dalam setiap ruang sosial, seseorang pastilah tidak akan terhindarkan untuk menjumpai berbagai situasi, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Disinilah perlunya pendidikan di dalam keluarga oleh orang tua untuk menutup kekurangan-kekurangan dan memproteksi anak dari situasi negatif yang didapatkan dari sekolah formal. Sekolah formal dan pendidikan di dalam keluarga bukanlah sebuah dikotomi, melainkan sebuah bagian integral yang saling melengkapi.
Akhir-akhir ini home schooling diidentikkan sebagai pendidikan alternatif bagi kaum berada. Bagi artis-artis cilik yang tak sempat sekolah karena manggung dan syuting tiap hari, atau bagi anak-anak pejabat yang takut anaknya terjerumus dalam pergaulan yang salah di sekolah (over protected?). Sungguh realitas ini jauh bertentangan dari cita-cita awal terciptanya home schooling yang dirancang untuk membantu anak-anak kurang mampu, atau untuk mengadaptasi kebutuhan anak dan kondisi keluarga yang memang memerlukan perlakuan khusus.
Pendidikan lewat jalur home schooling telah melenceng dari cita-cita luhur pendidikan. Para pendiri home schooling melihat wacana ini tak lebih dari hanya sekedar sebagai sebuah lahan bisnis yang menggiurkan. Penulis merasa sangat sedih ketika dalam sebuah wawancara di televisi, seorang pemilik usaha home schooling mengatakan ”home schooling adalah lahan bisnis yang sangat bagus, karena pendidikan adalah sebuah kebutuhan”. Sungguh, apakah pendidikan yang dilandasi ideologi kapitalisme seperti ini akan menghasilkan individu-individu yang bermartabat? Ataukah home schooling hanya akan menambah kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia dan berpotensi menjadi poisonous pedagogies bagi tunas-tunas muda penerus bangsa? Jawabannya ada pada anda, para orang tua.